
Pengajar Pembelajaran Sastra Anak dan Wakil Rektor Institut Islam Nahdlatul Ulama Temanggung, Pengurus Lembaga Pendidikan Ma’arif NU Jawa Tengah
Viralnya video lagu Ojo Dibandingke yang dinyanyikan Farel Prayoga di Istana Merdeka yang membuat Presiden Jokowi dan para menteri berjoget adalah fenomena yang menegaskan anak-anak sah dan boleh menyanyikan lagu orang dewasa. Hal ini merupakan realitas baru. Sebab, sebelumnya Istana Merdeka selalu dihiasi dengan lagu-lagu tradisional khas daerah Indonesia, lagu patriotisme, lagu sakral lainnya untuk mengenang jasa pahlawan. Namun, kini istana “digoyang” lagu dangdut yang dinyanyikan anak SD.
Farel merupakan bocah berusia 12 tahun yang masih duduk di kelas 6 SDN Kepundungan 2 Banyuwangi. Belakangan ia viral di Youtube. Jejak digital di Youtube membuktikan kemampuannya menyanyikan lagu orang dewasa bertemakan jatuh cinta, kasih sayang, dan patah hati seperti Pecah Seribu, Cinta Tak Terpisahkan, Luka Sekerat Rasa, Tepung Kanji, Sakit Gigi, Lewung, Dermaga Biru, Tiara, Joko Tingkir, dan lainnya. Hal inilah yang membuat dia diundang di Istana Merdeka yang akhirnya viral.
Hilangnya Lagu Anak?
Di negara demokrasi, semua orang bebas menyanyikan lagu tanpa batas. Melalui Youtube, semua orang bisa mengekspresikan karya lagu baik ciptaan sendiri atau cover. Bahkan, industri musik di Youtube mengalahkan mayor label rekaman yang penuh syarat dan aturan ketat. Seorang yang awalnya hobi nyanyi bisa menjadi artis dadakan dan menjadi profesi ketika viral dan ditonton jutaan orang di Youtube.
Dalam konteks ini, Farel menjadi penyanyi Youtube yang tergolong kreatif dan menyesuaikan selera pasar Youtube. Namun dalam kacamata sastra, budaya, seni, dan pedagogi, seolah tidak ada lagi lagu anak atau lagu anak-anak. Secara usia, lagu anak-anak menurut Wijayanti (2022) adalah lagu untuk anak-anak usia 0-6 tahun. Sedangkan lagu anak adalah untuk anak usai SD yaitu 7-13 tahun, dan setelahnya lagu remaja dan dewasa.
Secara konten, lagu anak sama seperti sastra anak, berisi tentang dunia anak, cerita hewan, perjuangan, pengalaman, perasaan, kehidupan, dan imajinasi anak. Dalam konteks ini, lagu anak identil pula dengan tembang dolanan, permainan, dan lagu tradisional dari daerah seluruh Nusantara. Keller (1984:100) menyebut lagu anak lahir dari konstruksi kebudayaan masyarakat, bahasa tradisional, narasi, musik, lagu, tarian, drama, seni dan kerajinan, dan sistem kepercayaan.
Mengacu konsep di atas, hari ini hampir tidak ada lagu atau sastra anak. Mereka direnggut dan dicekoki dengan lagu-lagu orang dewasa bertemakan perselingkuhan, percintaan, patah hati, bahkan pornografi. Banyaknya platform media baru dan media sosial seperti Youtube, TikTok, Instagram, Bigo Live yang banyak diakses anak-anak menjadikan mereka akrab dengan lagu dewasa. Maka wajar jika lagu anak-anak, lagu tradisional, lagu kebangsaan tidak populis karena dikalahkan dengan lagu orang dewasa tersebut.
Secara semantik, lagu Ojo Dibandingke karya Abah Lala merupakan ungkapan hati seorang kepada kekasih untuk tidak membanding-bandingkannya dengan orang lain. Lagu ini berisi dunia hati orang dewasa yang belum tepat dinyanyikan anak-anak. Efek panjangnya, pembiasaan, pembudayaan, dan keteladanan dari publik figur seperti Farel akan ditiru anak sedunia. Hal ini semakin membumikan lagu dewasa dengan lagu anak tidak ada bedanya.
Kita tentu masih ingat dengan sosok Josua Suherman penyanyi lagu Air (Diobok-obok), Tina Toon penyanyi lagu Bolo-Bolo, Tasya dengan lagu Anak Gembala, Enno Lerian penyanyi lagu Du Di Dam, Sherina dengan lagu Pelangi dan Kembali ke Sekolah, Dhea Ananda dengan lagu Baju Baru dan Surga di Telapak Kaki Ibu, dan lainnya. Meski mereka kini sudah dewasa, namun memori masyarakat masih melabeli mereka adalah penyanyi lagu anak, bukan penyanyi lagu dewasa.
Kembali pada Kodrat Anak
Lagu, puisi, cerpen, drama, dan karya sastra lainnya harus disesuaikan dengan anak. Kodrat anak adalah menjadi anak yang paripurna, bukan dewasa dini. Maka perlu formula agar anak-anak menikmati kehidupan sesuai usianya.
Pertama, orang tua harus mendidik anaknya laiknya anak, bukan seperti orang dewasa. Anak-anak memiliki sifat dasar meniru, imajinatif, dan usil. Ketika tidak diberi pembiasaan, pembudayaan, dan keteladanan yang sesuai usianya, mereka akan dewasa dini. Sangat tidak humanis ketika anak-anak dididik menjadi “dewasa dini” sehingga mereka terenggut masa anak-anaknya. Maka wajar jika anak-anak SD sekarang sudah pacaran, akrab dengan percintaan, kata-kata I Love You, I Miss You, dan lainnya.
Kedua, penguatan pendidikan karakter berbasis local knowledge (pengetahuan lokal), local genius (kecerdasan lokal), dan local wisdom (kearifan lokal) melalui pembiasaan dan pembudayaan lagu-lagu tradisional, lagu-lagu daerah, dan lagu-lagu religi. Sangat lebih baik anak-anak dibiasakan menyanyi lagu Lir Ilir, Tamba Ati, Lihat Kebunku, Garuda Pancasila, Indonesia Raya, Soleram, Rek Ayo Rek, Gambang Suling, Ampar Ampar Pisang, Sajojo, Indung Indung, Yamko Rambe Yamko, dan lainnya daripada lagu Ojo Dibandingke, Cinta Tak Terpisahkan, dan lainnya.
Ketiga, penambahkan materi sastra anak secara komprehensif. Selama ini, sastra anak yang di dalamnya terkandung lagu, tembang, dan musik hanya menjadi suplemen materi Bahasa Indonesia, baik pada Kurikulum 2013 maupun Kurikulum Merdeka. Padahal, bahasa dan sastra sangat berbeda. Maka sudah saatnya sastra anak harus dipisahkan dan diberi porsi lebih banyak di jenjang SD/MI.
Keempat, guru harus kreatif dan inovatif dalam pembelajaran. Perlu pemilihan multimedia berbasis lagu anak, lagu tradisional, melalui Youtube, TikTok, Instagram, Facebook, yang mengajak anak menyanyikan lagu anak. Kelima, habituasi perlombaan lagu anak. Selama bulan Agustus ini, banyak lomba nyanyi untuk anak-anak namun lagunya orang dewasa. Padahal, momentum Agustusan harusnya membangkitkan nasionalisme dan patriotisme anak, bukan mengarjarkan percintaan pada anak lewat lagu dewasa.
Lagu bukan sekadar musik, lirik, partitur, namun ia berisi muatan pitutur, pesan, ajaran, dan nilai-nilai. Jika nilai-nilainya orang dewasa, soal cinta, perselingkuhan, maka sama saja mendewasakan anak sejak dini. Hal inilah yang harus diputus mata rantainya. Lagu anak adalah lagu anak, bukan lagu dewasa, ojo dibanding-bandingke, saing-saingke, yo mesti kalah. Bukankah demikian?