
Indonesia terdiri dari 17.000-an pulau yang saling disambung oleh laut, laut dirumuskan oleh bangsa ini sebagai penyatu bukan pemisah. Perlu diingat kembali nama gagasan tersebut adalah “Deklarasi Djuanda” pada tanggal 13 Desember 1957 yang diinisiasi oleh Perdana Menteri Indonesia waktu itu, Djuanda Kartawidjaja dengan tiga point penegasan. Pertama, bahwa Indonesia adalah negara kepulauan dan khas. Kedua, bahwa sejarah mengatakan kepulauan Nusantara sejak dahulu adalah satu kesatuan. Ketiga, bahwa ketentuan Ordonansi 1939 berpotensi besar memecah keutuhan wilayah Indonesia. Setelah mengalami proses tarik ulur yang lama, pada tahun 1982 akhirnya deklarasi tersebut diterima dan ditetapkan dalam konvensi laut PBB ke-III (United Nations Convention On The Law of The Sea/UNCLOS 1982) serta diperkuat dengan UU no 17 tahun 1985 bahwa Indonesia adalah negara kepulauan.
Point ketiga dari deklarasi Djuanda menerangkan bahwa deklarasi tersebut diusulkan sebagai bentuk penentangan atas penjajahan dan bentuk aturan lama yang dibuat oleh kolonialis untuk memecah kesatuan bangsa Indonesia. Bunyi aturan dari Hindia Belanda tahun 1939 yaitu Teritoriale Zeeën en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 (TZMKO 1939). Mengatur bahwa pulau-pulau Nusantara dipisahkan oleh laut sekelilingnya dan laut untuk masing-masing pulau sejauh 3 mil dari garis pantai, maknanya kapal asing dengan bebas dapat melakukan apa saja di luar 3 mil tersebut. Berlayar atau menetap, berdagang atau membeli barang, merusak laut atau menjaganya, bahkan dengan kapal kosong atau kapal perang bersenjata lengkap. Namun, sangat disayangkan kemenangan atas pertarungan hukum maritim tersebut, dalam dua dekade ini seolah tidak molek lagi, kita kehilangan momen dan fokus terhadap potensi maritim Indonesia.
Deklarasi tersebut menunjukkan sebuah ekspresi bahwa setiap negara adalah spesial. Konteks tulisan ini bahwa tidak ada satupun negara yang serupa dengan indonesia. Model pembangunan China, Amerika, Eropa semua adalah Kontinental, artinya tidak dapat disamakan cara pembangunan dengan indonesia yang memiliki kepulauan yang besar. Menjiplak gaya pembangunan kontinental akan melukai sendi bangsa ini, bisa jadi sendi itu mulai menunjukkan simtom (gejala penyakit) “rematik akut” akibat salah makan formula untuk menggemukkan “pembangunan” Indonesia. Kita ingatkan kembali kekuatan laut adalah hal yang selama ini terabaikan oleh bangsa ini yang mengakibatkan kondisi Indonesia tidak terintegrasi secara fisik, sendi utamanya berpenyakit namun sampai sekarang belum juga diobati, akibatnya tergopoh-gopoh kita menjalani kehidupan bernegara di negara tercinta ini.
Membayangkan ongkos angkut dari Jarkarta ke papua lebih besar lima kali lipat lebih mahal dibandingkan ongkos angkut daripada Jakarta ke Shanghai. Jadi Indonesia lebih terintegrasi dengan Tiongkok ketimbang dengan Papua. Lagi di Bengkulu pepaya di hargai Rp.500-1000 per kg di Papua bisa jadi Rp.20.000 per kg. Belum lagi bicara tentang harga minyak, tepung, minyak sawit, sayuran, daging, bahkan pakaian yang disparitas (kesenjangan) harga antar pulau terlalu tinggi. Akibatnya barang-barang di Indonesia itu non-traded (tak terdagangkan). Sebagai pembanding di Serawak dengan kuala Lumpur harga barang itu sama karena biaya transportasinya hampir “Nol”. Perlu diingat pula tidak ada negara yang terintegrasi memiliki disparitas (kesenjangan) harga yang tinggi antar daerah.
Konklusinya Ekonomi laut adalah hal yang bisa membuat Indonesia terintegrasi yaitu kekuatan laut yang ditopang oleh transportasi laut. Mengimajinasikan pulau besar seperti Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Nusatenggara, dan Papua memiliki akses transportasi laut yang mudah dan ekonomis, kemudian berimplikasi dengan meningkatkan intensitas hubungan yang sangat tinggi antar pulau di Indonesia, selanjutnya menjadikan ongkos logistik menjadi sangat murah hal ini bisa disebut sebagai “Integrasi Indonesia”.
Berimajinasi kembali, kalau pelabuhan mudah diakses dan ongkos yang murah antar pulau di Indonesia, karena transportasi laut menjadi sangat murah maka terjadilah pertukaran barang yang dinamis. berapa banyak komoditas dagang yang dapat diangkut untuk memenuhi kebutuhan satu pulau dengan pulau lainnya, akan terbentuk national suply chain atau rantai suplai lokal. Cabai yang mahal di pulau jawa bisa dipasok dengan harga murah dari Bengkulu, Bukittinggi, dan Medan, atau daging yang terbatas di Jawa, Sumatera, dan Kalimantan bisa dipasok oleh Nusatenggara sebagai wilayah yang sangat potensial dengan peternakan, ataupun kayu yang tidak mudah didapat di pulau jawa dapat dipasok oleh Kalimantan, Papua, dan Sumatera.
Kemudian dengan murahnya ongkos barang atar pulau atau kita sebut sebagai Integrasi Indonesia, maka diperlukan pengelolaan sumber daya oleh masing-masing pulau di Indonesia. Demi pengelolaan yang tepat dan efisien maka kita perlukan konsep otonomi untuk daerah, karena yang mengetahui potensi dan bagaimana wilyah itu adalah daerah sendiri. Dengan dukungan pemerintah pusat daerah dapat dikembangkan dengan lebih maksimal. Pemerataan pembangunan dan kesejahteraan dapat diakomodir dengan terjalinnya pertukaran barang antar pulau yang tinggi intensitasnya. Konteks tulisan ini otonomi dalam artian pembangunan berbasis potensi daerah dan memaksimalkannya.Tidak seperti yang terjadi belakangan ini semua serba sentralistik dan fokus pembangunan transportasi darat (tol, kereta cepat dll) yang maju terpusat juga di Jawa sebagi pusat pemerintahan.
Selaras dengan pemikiran itu ketergantungan dengan impor barang setidaknya dapat berkurang sebagai dampak dari suplai yang banyak serta bisa diproduksi diberbagai tempat di Indonesia dan terjangkau pula harganya. Dalam posisi inilah nanti Indonesia dapat membangun kembali peradaban yang lebih sejahtera. Kembali menuju jati diri “Nenek Moyangku Seorang Pelaut”. Dengan memaksimalkan laut sebagai pemersatu bangsa bukan dinina-bobokkan oleh jalan tol, kereta api cepat, batu-bara dan kelapa sawit sahaja.
Menciptakan iklim yang kondusif dengan memaksimalkan kekuatan laut Indonesia dan pembangunan Otonomi dengan pemerataan kesejahteraannya. Karena kita semua sepakat ingin melihat indonesia sebagai negara besar, bukan sebagai negeri yang memakai standar negara maju namun dalam kenyataan masih dan dipandang orang lain sebagai “Paria”.