Tidak hanya itu, perilaku ini kerap dilakukan berulang-ulang. Oleh sebab itu, pohon-pohon korupsi Indonesia harus segera kita bongkar akarnya. Jika tidak, pohon–pohon itu akan menjadi bahan utama dalam membangun NKRI (Negara Korupsi Republik Indonesia). Pertanyaannya, bagaimana membongkar akar pohon korupsi Indonesia?
Klasifikasi Korupsi
Korupsi merupakan perbuatan keji, busuk, bejat, tidak jujur dan konotasi negatif lainnya. Bahkan, korupsi dapat dikatakan sebagai extra ordinary crime. Secara sederhana, korupsi dapat dimaknai sebagai perilaku penyalahgunaan jabatan untuk kepentingan pribadi, kejahatan yang merugikan negara, perusahaan dan lembaga ataupun instansi lainnya.
Berbicara mengenai perkara korupsi, sebetulnya banyak bentuk perbuatan menyimpang yang tergolong perilaku korupsi. Setidaknya, jika berpijak pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, dapat dipahami secara jelas dari perilaku-perilaku berikut. Pertama, merugikan uang negara, ialah perilaku melawan hukum yang dapat merugikan perekonomian negara, serta merugikan kepentingan rakyat. Kedua, suap-menyuap, ialah perilaku memberikan uang, barang ataupun berbentuk hal lain, dengan tujuan meminta sikap kepada penerima, untuk kepentingan tertentu.
Ketiga, penggelapan dalam jabatan, ialah perilaku menggelapkan, menyembunyikan, menghilangkan laporan keuangan, ataupun membiarkan orang lain melakukannya, untuk kepentingan tertentu. Keempat, pemerasan, ialah perilaku memaksa orang lain untuk memberikan uang, barang ataupun berbentuk hal lain, sebagai syarat melakukan sesuatu. Kelima, perbuatan curang, ialah perilaku mengurangi takaran uang, barang ataupun berbentuk hal lain, untuk diambil dan dimanfaatkan.
Keenam, benturan kepentingan dalam pengadaan, ialah perilaku menghadirkan barang dan terlibat dalam pemborongan, persewaan yang cenderung untuk kepentingan pribadi. Ketujuh, gratifikasi, ialah pemberian hadiah berupa uang, barang atau hal lain yang berkaitan dengan jabatannya,
Petaka Korupsi
Korupsi di Indonesia yang sudah bak pohon yang berakar kuat ini, sudah terlalu banyak membawa petaka bagi kehidupan. Tidak sedikit lagi fakta empirik yang menjelaskan bahwasanya, korupsi membawa pengaruh negatif yang besar bagi keadilan sosial, standar moral dan intelektual masyarakat.
Menurut M. Umer Chapra dalam Islam and Economic Challenge (1995), jika seandainya korupsi telah merajalela dan menjadi makanan pokok dalam masyarakat, maka masyarakat tersebut akan kacau hingga tidak ada lagi sistem yang berjalan baik, individu dalam masyarakat cenderung egois, tidak memikirkan orang lain. Jika suasana iklim masyarakat seperti itu sudah terbangun, maka keinginan berkorban demi kebaikan perkembangan masyarakat akan hilang begitu saja.
Tidak hanya itu, suasana iklim masyarakat demikian akan juga menghancurkan generasi muda, yang sebetulnya agen perubahan di masa depan, justru rusak, karena tumbuh dan berkembang dalam masyarakat yang terbiasa dengan perilaku tidak jujur dan bertanggung jawab. Kemudian, yang lebih mengkhawatirkan saya, ialah terpicunya instabilitas sosial politik dan integrasi sosial. Tentu ini akan menjadi penyebab jatuhnya kekuasan pemerintahan secara tidak terhormat.
Sebagaimana penjelasan Mahathir Mohamad dalam The Challenge (1999), masyarakat tidak akan patuh dan tunduk kepada otoritas pemerintahan, jika seandainya kekuasaan politik dicapai dengan jalan korupsi. Selanjutnya, korupsi juga akan menjadi petaka besar bagi ekonomi bangsa serta pelayanan publik. Keadaan ini membuat saya resah dan geram, tentu ini juga membuat keresahan sosial. Bahkan, ini akan menyulut api kemarahan sosial.
Pupuk Pohon Korupsi
Saya mengerti bahwa memberantas korupsi, bukanlah perkara sepele. Meskipun sudah berbagai cara yang dilakukan, namun masih saja belum terselesaikan. Ironisnya, ada beberapa faktor yang mendasari sulitnya menyelesaikan perkara korupsi ini, bahkan malah menjadi pupuk tumbuh suburnya pohon korupsi Indonesia. Faktornya dapat diklasifikasikan sebagai berikut. Pertama, faktor struktural, ialah faktor tidak berjalannya tindak pidana korupsi yang bersumber dari lembaga yang berwewenang mengawasi korupsi.
Kedua, faktor kultural, ialah faktor yang bersumber dari perilaku buruk yang telah berkembang lama di masyarakat. Misalnya, adanya sikap sungkan, tentu ini akan menutup pintu ketegasan individu aparatur yang berwewenang dalam menindak perkara korupsi. Ketiga, faktor instrumental, ialah faktor yang bersumber dari lemahnya instrument pendukung, dalam bentuk perundang-undangan. Misalnya, peraturan yang tumpang tindih.
Barangkali ini akan berdampak pada sulitnya pembuktian tindak pidana korupsi, sebab penanganan perkara tidak berjalan semestinya. Keempat, faktor manajemen, ialah faktor yang bersumber dari tidak diterapkannya prinsip-prinsip manajemen yang baik. Misalnya, lemahnya koordinasi antara pihak penegak hukum dengan pengawas perkara korupsi, serta kurangnya sistem dan prosedur pengawasan.
Membongkar Akar Pohon Korupsi
Melihat kondisi seperti ini, dimana pohon korupsi sudah tersebar, tumbuh berakar kuat di berbagai lini kehidupan. Bukan berarti kita boleh pasrah dengan apa yang akan terjadi. Saya tidak rela sedikitpun, jika seandainya pohon-pohon itu disulap menjadi sebuah bangunan NKRI ( Negara Korupsi Republik Indonesia). Artinya, kita harus membuka alternatif lain sebagai tindakan preventif untuk membongkar akar pohon korupsi di Indonesia.
Terlepas dari korupsi yang bersifat multidimensional, serta berbagai faktor yang menimbulkan niat seseorang untuk korupsi. Baik itu faktor ekonomi, budaya, ataupun politik, tidak perlu di hiraukan. Singkatnya, apapun motif yang melatar belakangi terjadinya korupsi, yang jelas korupsi harus dibongkar dengan akarnya. Pohon korupsi tidak cukup jika hanya dipotong saja.
Selanjutnya, untuk membongkar pohon korupsi tersebut, kita harus melakukan suatu reformasi sumber daya manusia. Reformasi ini, secara garis besar lebih terfokus pada integritas dan etika penyelenggara negara, pematangan dan melajukan reformasi birokrasi, untuk menata ulang pemerintahan secara kelembagaan dan tata kelolanya. Kemudian, pembangunan budaya anti korupsi masyarakat, serta penegakan hukum yang tegas dan konsisten.
Kemudian, untuk mengimplementasikan serta menggerakkan reformasi sumber daya manusia itu, maka reformasi tersebut harus digarap secara simultan dengan pendidikan. Menurut Dr. Eko Handoyo, M.Si. dalam Pendidikan Anti Korupsi (2013), untuk membudayakan perilaku anti korupsi, sekolah dan perguruan tinggi mempunyai peran yang strategis, dalam pengembangan kultur tersebut kepada siswa dan mahasiswa.
Sebagai penutup, meskipun membongkar akar pohon korupsi di Indonesia menghadapi berbagai kendala. Namun, kita harus juga menggarap berbagai alternatif untuk membongkar akar pohon korupsi tersebut, salah satunya dengan reformasi sumber daya manusia yang disimultankan dengan pendidikan. Dengan adanya alternatif demikian, saya berharap Indonesia tetap berbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, bukan malah berganti menjadi Negara Korupsi Republik Indonesia. SEMOGA***