Oleh: Aiza Islami (Pegiat Pena Banua, Aktivis Dakwah)
Sederet permasalahan anak dan remaja nampak masih menjadi keresahan besar hari ini. Siapa yang tidak dibuat beristigfar melihat tingkat perundungan parah yang dilakukan anak-anak kepada salah seorang anak lain dengan memaksanya menyetubuhi kucing. Kejadian ini direkam dan disebarluaskan. Sang anak pun menjadi depresi hingga meninggal dunia. Belum lagi para remaja yang berduyun-duyun memadati jalanan Sudirman, bukannya menyibukkan diri di tempat yang layak untuk mereka. Justru berbangga dengan outfit yang tidak sedikit mengumbar aurat bahkan bangga dengan maksiat (pacaran).
Bagaimana respon pejabat? Terkait perundungan diharapkan semua elemen dapat menjaga dunia bermain anak dari perundungan. Kerjasama dibutuhkan dari orang tua, sekolah, tenaga pendidik, hingga masyarakat agar kasus serupa tak terulang (Kompas.com, 23/7). Terkait CFW, tak sedikit yang mendukung sebagai bagian dari kreatifitas dan peningkatan ekonomi kreatif. Banyak juga yang mempermasalahkan bahwa kreatifitas tetap harus ditempatkan pada wadah yang tepat (bukan di zebra cross), hingga akhirnya memfasilitasi dengan kawasan tertentu tanpa mengganggu pengguna jalan, bahkan pihak yang kontra juga menghubungkan perihal sampah yang dihasilkan.
Sejatinya, asal muasal perilaku anak dan remaja sangat dipengaruhi oleh bagaimana cara pandang mereka terhadap dunia. Setiap manusia memang diberikan naluri berupa gharizah baqo yakni naluri untuk bisa eksis dan bertahan dalam pertarungan hidup dan mendapat pengakuan. Jika pola pikir keliru, maka tentu saja pemenuhan naluri ini akan keliru atau bahkan jauh dari koridor syariat. Tidak heran ketika seorang remaja di CFW ditawari beasiswa untuk melanjutkan sekolah lantas menolak karena hanya ingin fokus berkonten saja. Mungkin kasarnya ngapain sekolah kalau ujung-ujungnya buat nyari uang juga. Toh sekarang bisa cari uang tanpa sekolah.
Pola pikir seperti ini tidak seperti petir di siang bolong yang datang tiba-tiba. Semua ini merupakan buah dari sekularisme yang memberikan mimbar kebebasan dalam dunia remaja agar mereka bisa mengekspresikan diri tanpa memahami rambu-rambu norma dan agama. Individu dibiarkan sebebas-bebasnya mengimpor gaya pemikiran liberal barat yang individualis dan pragmatis demi meraih kebahagiaan semu berupa materi. Anak-anak dan remaja menjadi objek bagi membesarnya sayap-sayap kapitalisme dengan gaya hedonis dan materialis mereka.
Belum lagi, fokus pendidikan dengan link and match industri telah menggeser misi membentuk generasi yang berkarakter dan bervisi besar menuju siap kerja semata. Akhirnya anak-anak dan remaja yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara untuk dididik dan dibentuk menjadi berkepribadian luhur malah terperosok menjadi objek kapitalis yang harus dimanfaatkan demi menghasilkan cuan.
Memang melihat anak dan remaja, sejatinya mereka sedang berada pada fase yang memerlukan pendampingan dan role model kehidupan. Sulit adanya anak-anak atau remaja taat lahir dari sistem kehidupan yang menghalalkan kemaksiatan. Maka hujatan terhadap individu anak dan remaja takkan pernah bisa menjadi obat yang manjur untuk mengatasi kerusakan pola pikir. Oleh karena itu, tak salah memang peran orang tua sangat penting. Hanya saja pertanyaannya sekarang. Bagaimana orang tua akan bisa fokus mendidik anak, jika orang tua pun tersibukkan hari-harinya bekerja agar dapur tetap mengepul? Bahkan pula siapa seharusnya yang bertanggungjawab membentuk pola pikir orang tua yang benar?
Jika ada satu anak yang mengalami perundungan atau satu remaja memilih tidak sekolah mungkin ini masalah individu. Namun, jika terdapat banyak anak yang mengalami perundungan atau banyak remaja memilih tidak sekolah. Berarti? Inilah peran penting negara sebagai bagian dari pilar penegak syariat. Kasus yang kembali berulang telah nyata menunjukkan bahwa permasalahan ini adalah permasalahan sistemik. Negaralah yang harus serius dan menjadi problem solver utama. Negaralah yang harusnya bervisi cemerlang mendidik dan membina generasi untuk mencapai visi yang tepat, yakni berkepribadian baik yang taat agama. Negara adalah pengontrol media dan asupan informasi bagi anak dan remaja sehingga terhindar dari kerusakan akidah dan moral.
Negaralah yang harus mendukung terpenuhinya segala kebutuhan mendasar keluarga sehingga orang tua bisa berfokus untuk mendidik anak. Negara pula yang seharusnya membentuk kurikulum yang berfokus pada pembentukan kepribadian yang bermoral berlandaskan agama, bukan justru semakin membuat anak-anak dan remaja jauh dari Islam kaffah. Orangtua dan anak tak selayaknya phobia mengkaji Islam dan memilih Islam moderat. Masjid dan tongkrongan Islami harusnya diberi ruang untuk diperluas bukan justru dicap sebagai sarang tempat lahirnya teroris dan radikalis.
Secara otomatis, jika negara hadir dengan membawa pensuasanaan Islam yang ideal. Jangankan siap kerja, anak dan remaja bahkan akan sangat siap untuk menjadi pahlawan negara dengan memberikan kontribusi terbaiknya. Pola pikirnya akan memahami keridhoan Allah SWT adalah cita-cita terbesar (mafahim), menjadikan Islam sebagai standar (maqayis) dan rela dengan pakaian takwa sebagai pakaian eksis mereka (qana’ah).
Anak-anak dan remaja akan hidup nuansa pertemanan yang sehat. Saling menyayangi sebagai sesama muslim. Jikapun bersaing maka fastabiqul khoirot adalah namanya. Kebanggaan akan mewujud tersebab merasa keren menjadi pejuang Islam.
Inilah sebuah refleksi fungsi kenegaraan yang patut menjadi fokus. Fungsi kenegaraan yang akan tegak dengan basis ketaatan secara total pada perintah Allah dan RasulNya. Karena kepemimpinan adalah amanah.
Rasulullah saw. bersabda:
Imam (pemimpin) itu pengurus rakyat dan akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus (HR al-Bukhari dan Ahmad).