Oleh: Jalidah, S.Pd (Guru di Batola)
Pertamina secara resmi mengumumkan kenaikan harga BBM nonsubsidi per 10 Juli 2022. Harga Pertamax Turbo (RON 98) naik dari Rp14.500 per liter menjadi Rp16.200 per liter. Dexlite naik dari Rp12.950 per liter menjadi Rp15.000 per liter. Sementara itu, Pertamina Dex naik dari Rp13.700 per liter menjadi Rp16.500.
Adapun untuk LPG nonsubsidi yang harganya naik adalah Bright Gas dan LPG 12 kg, yakni Rp2.000 per kilogram. Kenaikan harga ini berlaku untuk wilayah pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara. Sementara untuk wilayah lainnya beda lagi.
Padahal, menaikkan harga BBM dan LPG serta mengurangi subsidi pada kondisi saat ini jelas akan berdampak luas bagi ekonomi masyarakat banyak. Inflasi pasti terjadi. Harga-harga barang dan jasa dipastikan ikut naik.
Kenaikan ini juga akan berdampak buruk secara makro ekonomi, karena kedua komoditas ini paling tinggi digunakan oleh sektor industri, transportasi, dan kelistrikan. ketiganya berkontribusi besar terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia.
Dampak lanjutannya adalah bertambahnya tingkat pengangguran dan kemiskinan. Keduanya sudah lama menjadi problem krusial yang sulit diselesaikan. Per Februari 2022 saja, tingkat pengangguran terbuka mencapai 5,83%, sedangkan angka kemiskinan pada 2022 diprediksi mencapai 10,81%. Padahal, beban rakyat selama ini sudah sedemikian berat. Apalagi pada situasi pandemi yang dampaknya berkepanjangan.
Akar Masalah
Akar masalah mahalnya harga BBM dan LPG ini sejatinya terkait dengan soal sistem dan paradigma riayah (pengurusan) umat. Dalam sistem kapitalisme neoliberal saat ini, riba dan liberalisasi adalah penopang ekonomi, sedangkan hubungan negara dengan rakyatnya hanyalah hubungan penjual dengan pembeli.
Oleh sebab itu, lumrah jika negara memperlakukan sumber daya milik umat sebagaimana maunya. Pilihannya, ambil fee dari “asingisasi” dan margin dari importasi yang terikat sistem moneter ribawi. Kalau rakyat perlu, mereka harus membeli, tentu dengan margin keuntungan yang lebih tinggi.
Paham sekularisme yang mendasarinya jelas tidak mengenal konsep halal/haram dan moral kasih sayang. Tidak heran jika semua aturan yang lahir darinya jadi serba liberal. Muncullah slogan, “Siapa kuat, ia yang menang.” Adapun negara atau penguasa hanya bertindak sebagai wasitnya, atau bahkan bersama para pemodal, menjadi lawan bagi rakyatnya.
Solusi Islam
Terkait energi, Islam menetapkannya sebagai milik umat sebagaimana sumber daya air dan padang gembala (termasuk sumber daya hutan). Adapun pengaturannya adalah Islam memasukkannya dalam kerangka kewajiban negara mengurus dan menjaga umat, yakni dalam strategi politik ekonomi yang diterapkan.
Dalam Islam, kesejahteraan rakyat orang per orang benar-benar menjadi perhatian utama. Tugas pemimpin atau negara adalah mewujudkannya dengan sempurna. Tidak boleh ada satu pun rakyat yang tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya, mulai dari pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan, keamanan, dan sebagainya. Juga kebutuhan atas sumber-sumber energi untuk memenuhi bekal hidup sehari-hari.
Selain itu, Islam menetapkan sumber-sumber energi tidak boleh dikuasai swasta, apalagi asing, mulai hulu hingga hilir. Negara sebagai wakil umat diwajibkan mengelolanya dengan baik dan memberikan manfaatnya kepada rakyat sebagai pemiliknya yang hakiki secara mudah dan murah, bahkan gratis.
Dalam hal ini, selain kemudahan akses bagi seluruh rakyat, prinsip pengelolaan energi juga tidak boleh bertabrakan dengan amanah penciptaan manusia di muka bumi, yakni sebagai khalifah yang wajib melestarikan dan menjaga bumi dari kerusakan dan kebinasaan.
Dengan demikian, eksplorasi sumber-sumber energi oleh pemerintahan Islam tidak akan menimbulkan kemudaratan sebagaimana dalam paradigma kapitalisme saat ini. Selain sangat eksploitatif, sistem kapitalisme juga sangat destruktif. Wajar jika dalam sistem ini muncul berbagai isu lingkungan, seperti efek rumah kaca, polusi, perubahan iklim, dan sejenisnya.
Negara dalam Islam pun akan menyediakan semua hal yang dibutuhkan untuk merealisasikan ketahanan dan kedaulatan energi ini. Dengan demikian, negara Islam akan terhindar dari ketergantungan pada negara asing dan tidak bisa didikte dengan isu energi.
Misalnya, menjamin ketersediaan tenaga ahli melalui sistem pendidikan yang mumpuni. Juga menyediakan infrastruktur dan teknologi canggih beserta lembaga riset yang produktif dan inovatif sehingga sumber-sumber energi yang lebih beragam bisa terus dikembangkan, dan lain-lain.
Semua itu tentu ditopang dengan sistem-sistem aturan Islam yang lain, terutama sistem pemerintahan Islam yang berdaulat dan mandiri, terbebas dari intervensi asing. Juga oleh sistem ekonomi yang antiriba dan berkeadilan, serta sistem keuangan Islam (baitulmal) yang kukuh dan stabil.
Negara dalam hal ini akan memiliki sumber-sumber pemasukan yang sedemikian beragam sehingga negara punya banyak modal untuk menyejahterakan rakyatnya serta melakukan apa pun demi merealisasikan kedaulatan energi tadi. Apalagi ditopang pula oleh sistem moneter berbasis emas-perak yang antiinflasi dan kuat, termasuk di hadapan mata uang asing.