Oleh: Rusmiatun ( Pemerhati sosial masyarakat )
Keputusan Kementerian Agama yang tidak menggunakan 10 ribu kuota haji tambahan dari Saudi, masih menuai pertanyaan. Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah, Prof Hilman Latief, menegaskan menerbangkan jemaah haji tidak seperti penerbangan domestik.
“Saat ini memang terus muncul di publik mengenai 10 ribu kuota, ini nampaknya harus sampaikan lagi. Berangkatkan 10 ribu dengan waktu 10 hari bukan hal mudah, bukan berangkatkan dari Jakarta ke Yogyakarta,” ucap Hilman kepada wartawan di Makkah, Sabtu (6/7) malam.
Kemenag menerima surat pemberitahuan soal kuota tambahan itu pada 21 Juni 2022 malam, sementara batas akhir proses pemvisaan jemaah haji regular adalah 29 Juni 2022. Kemudian penerbangan terakhir jemaah reguler ke Saudi besok.
Saudi meminta kuota tambahan itu masuk ke dalam sistem, sehingga harus diberikan kepada jemaah haji reguler. Jemaah haji khusus tidak bisa terbang sebelum jemaah reguler dipastikan terbang. Karena itu kuota ini juga tiba bisa diberikan pada jemaah haji khusus.
Hal lain yang jadi pertimbangan mempersiapkan akomodasi untuk penginapan jemaah, katering, dan transportasi selama di Arab Saudi. Lalu perlu ada pembahasan dengan DPR karena butuh anggaran baru, terutama biaya masyair (biaya yang diminta Saudi untuk di Arafah, Muzdalifah, Mina).
Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid (HNW) mengingatkan Kementerian Agama (Kemenag) agar tidak buru-buru menolak tambahan kuota haji sebanyak 10.000 bagi jemaah Indonesia. Menurutnya, tambahan kuota tersebut merupakan niat baik Pemerintah Saudi yang harus diapresiasi. Menurutnya, tambahan kuota tersebut merupakan niat baik Pemerintah Saudi yang harus diapresiasi.
“Seharusnya tambahan kuota haji untuk Indonesia diapresiasi dengan baik dan tidak secara sepihak ditolak tanpa dimusyawarahkan secara formal dengan para wakil rakyat di DPR. Apalagi ternyata persetujuan penambahan dari pihak Saudi itu sudah cukup lama disampaikan secara resmi, yaitu sejak tanggal 21 Juni 2022. Sehingga kalau dianggap mepet dari sisi waktu, mestinya sejak saat itu bisa segera dibahas bersama Komisi VIII DPR-RI. Tapi sayangnya, rapat yang sudah diagendakan, malah dibatalkan,” ujar HNW dalam keterangannya, Jumat (1/7/2022).
Dia mengatakan jika alasan penolakan karena mepetnya waktu dan teknis terkait visa serta akomodasi di Saudi, mestinya hal itu sejak hari pertama sesudah persetujuan pada Rabu (22/6) langsung dimusyawarahkan dan disampaikan kepada pihak Saudi. Dengan harapan pihak Saudi bisa membantu menyelesaikannya dengan mempercepat proses Visa maupun akomodasi selama di Saudi Arabia.
Pihak Kemenag menjelaskan bahwa penentuan kuota haji tahun ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Tahun ini, Pemerintah Arab Saudi menetapkan besaran kuota regular dan khusus melalui e-Haj Saudi, bukan lagi melalui penandatanganan MoU antara dua negara. Walhasil, kuota diberikan secara langsung oleh Pemerintah Arab Saudi sehingga tidak ada ruang untuk bernegosiasi dalam penentuan kuota.
Oleh karenanya, banyak pihak menyayangkan tidak diambilnya tambahan kuota tersebut. Padahal, tambahan ini setidaknya bisa mengurangi antrean panjang haji. Misalnya, Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid (HNW) yang menyayangkan penolakan tambahan kuota oleh Kemenag. Terlebih lagi, keputusan tersebut tidak dimusyawarahkan secara formal dengan DPR. Padahal, selama ini komisi VIII DPR RI mengusulkan agar Pemerintah melobi tingkat tinggi pihak Arab Saudi agar mendapatkan kuota.
Terlepas ada atau tidaknya penyelewengan dana haji, alasan menolak kuota tambahan karena mepet seharusnya tidak terjadi. Pelaksanaan haji adalah agenda rutin tahunan, bukan hal yang baru, seharusnya pemerintah sudah mampu mengatasi berbagai kesulitan yang ada untuk memudahkan urusan haji.
Selain persoalan ketaksiapan, lemahnya diplomasi Indonesia di hadapan Arab Saudi turut menjadi persoalan. Persoalan kuota 10 ribu, misalnya, jika memang haji reguler tidak bisa berangkat sebab persoalan birokrasi, seharusnya pemerintah bisa melobi Arab Saudi untuk melimpahkannya pada haji khusus yang kini sebagian besarnya gagal berangkat. Ataupun persoalan visa, seharusnya pemerintah bisa melobi untuk mempercepat keluarnya visa. Namun, diplomasi Indonesia yang seolah lemah menjadikan semua itu tidak bisa terselesaikan.
Pengurusan haji termasuk pemberangkatannya seharusnya bukan hanya dipandang sebagai persoalan teknis. Lebih dari itu, pelayanan prima pada jemaah haji merupakan Langkah pemerintah untuk memfasilitasi warganya yang akan beribadah. ini agar mereka khusyuk menjalankannya tanpa dibebankan permasalahan teknis lainnya.
Oleh karena itu, penguasa yang amanah dan menginginkan rakyatnya bisa beribadah dengan khusyuk akan serta-merta membuat regulasi yang memudahkan umat menjalankan ibadah. Misalnya dengan memperbaiki administrasi, seperti prosedur keberangkatan haji yang diatur sedemikian rupa agar yang diprioritaskan adalah yang sudah mampu.
Selain itu, tidak boleh ada dana talangan haji. Selain berbasis riba, dana talangan haji menyebabkan daftar antrean haji makin panjang. Padahal, mereka yang belum mampu belum jatuh kewajiban berhaji. Oleh sebab itu, harus ada departemen khusus yang mengurus urusan haji yang terintegrasi dari daerah hingga pusat.
Ongkos naik haji (ONH) yang kini terus naik pun seharusnya disesuaikan dengan biaya kebutuhan para jemaah, bukan berdasarkan untung/rugi. Apalagi menggunakan dana haji untuk bisnis, investasi dll.. Alat transportasi, biaya hotel, dan lainnya yang begitu mahal juga menyebabkan ONH makin tinggi.
Rumitnya birokrasi dan tingginya ONH sebenarnya akan selesai jika ada kesatuan politik, seluruh negeri memiliki paradigma yang sama, yaitu mempermudah urusan berhaji. Begitu pun rumitnya pengurusan visa, sebenarnya bisa terselesaikan dengan penghapusan visa haji dan umrah. Namun, sudah menjadi ketentuan Arab Saudi, juga negara-negara setiap dunia, visa dibutuhkan seseorang untuk masuk ke sebuah negara.
Andai saja negeri-negeri muslim bersatu di bawah satu institusi, niscaya problem visa akan selesai. Faktor terbesar rumitnya permasalahan birokrasi haji sesungguhnya adalah nasionalisme. Kaum muslim tersekat-sekat oleh batas imajiner negara yang merumitkan urusan haji.
ONH yang besar pun salah satu akibatnya adalah biaya transportasi yang begitu mahal. Andai saja kaum muslim berada pada satu kepemimpinan, niscaya pembangunan infrastruktur transportasi untuk memudahkan para jemaah akan terwujud.
Pada masa Kekhalifahan Utsmani, Khalifah Sultan Abdul Hamid II membangun sarana transportasi massal dari Istanbul, Damaskus, hingga Madinah untuk mengangkut jemaah haji. Jemaah haji dari berbagai pelosok dapat dengan mudah melaksanakan ibadah haji.
Begitu pun Khalifah pada masa Abbasiyah, Khalifah Harun ar-Rasyid, membangun jalur haji dari Irak hingga Hijaz (Mekkah—Madinah). Di masing-masing titiknya dibangun pos layanan umum yang menyediakan logistik, termasuk dana zakat bagi yang kehabisan bekal.
Oleh karenanya, panjangnya antrean haji, rumitnya regulasi pelaksanaan ibadah haji, serta posisi diplomasi Saudi-Indonesia menegaskan bahwa urusan haji sangat membutuhkan kesatuan politik umat Islam.