Zahra Kamila ( HST)
Islam ( dari akar kata aslama) , secara bahasa sering diartikan dengan kepasrahan. Islam juga bermakna tunduk ( khudu’) dan patuh ( inqiyad). Karena itu, tidak ada Islam tanpa adanya kepasrahan, ketundukan dan kepatuhan.
Ciri utama keislaman seseorang tentu saja adalah kepasrahan, ketundukan dan kepatuhannya pada syariah Islam. Ini antara lain tercermin dari firman Allah SWT yang artinya:
Demi Tuhanmu, mereka pada hakikatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu ( Muhammad) sebagai hakim dalam perkara apa saja yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerimanya dengan penuh kepasrahan/ ketundukan/ kepatuhan ( TQS An- Nisa {14}: 65).
Ciri utama keislaman seseorang juga tercermin dari kesediaannya untuk menerima dan mengikuti apa saja yang dibawa oleh Rasulullah SAW sebagaimana sabda Rasulullah yang artinya:
Demi Zat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, tidaklah beriman seseorang di antara kalian hingga hawa nafsunya tunduk ( dengan penuh kepasrahan) pada apa saja yang aku bawa. ( HR Muslim).
Firman Allah SWT dan sabda Nabi SAW di atas secara jelas dan tegas menolak keberimanan/ keberislaman seorang Muslim yang tidak menunjukkan kepasrahan, ketundukkan dan kepatuhannya secara total kepada hukum-hukum Allah atau apa saja yang dibawa oleh Rasul-Nya.
Dalam kehidupan keseharian seorang Muslim, sikap pasrah, tunduk dan patuh ini biasanya sangat tampak pada berbagai ritual ibadah yang dilakukannya . Salah satunya adalah dalam ritual ibadah haji, yang dijalankan oleh para jamaah haji di Tanah Suci. Sebagaimana halnya shalat dan ibadah-ibadah ritual lainnya. Ibadah haji sesungguhnya mengajarkan satu hal: kepasrahan, ketundukan dan kepatuhan secara total kepada Allah SWT.
Seorang Muslim, yang mungkin di negerinya terbiasa berpakaian mahal dan warna-warni dengan berbagai model, saat berhaji di Tanah Suci dia rela dan pasrah untuk hanya mengenakan pakaian ihram yang serba putih, sederhana dan bahkan tidak berjahit. Ia juga, yang di negerinya mungkin terbiasa berkendaraan mewah dan ber-AC, saat berhaji rela dan pasrah untuk berjalan kaki atau berlari-lari ketika tawaf atau sa’i di atas padang pasir yang sangat panas dan dibawah terik matahari yang menyengat. Ia juga, yang mungkin terbiasa hidup serba nyaman dan tenang, rela dan pasrah untuk ikut berdesak-desakan dengan jamah haji lainnya saat melempar jumrah atau sekedar untuk mencium Hajar Aswad.
Berkaitan dengan mencium Hajar Aswad ini, Umar bin Al- Khaththab pernah berkata, “ Kamu ini ( Hajar Aswad) hanyalah sebongkah batu hitam. Andai saja aku tidak melihat Rasulullah SAW melakukannya, aku tidak akan melakukannya .”
Demikianlah, kata-kata Umar ra ini bukan menunjukkan keengganannya untuk mencium Hajar Aswad, tetapi justru menunjukkan kepasrahan, ketundukan dan kepatuhannya pada apa yang memang diperintahkan oleh Rasulullah SAW. Sikap ini pula yang ditunjukkan oleh setiap jamaah haji di Tanah Suci, mereka tidak pernah memprotes atau membenci bagian ritual haji manapun yang memang disyariatkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya, meskipun mungkin terasa memberatkan serta memerlukan perjuangan dan banyak pengorbanan. Bahkan mereka sangat ingin menyempurnakan perjuangan dan pengorbanan tersebut. Mereka sangat berhati-hati dalam menjalankan rangkaian ritual haji, dengan cara melaksanakan seluruh rukun haji sebaik mungkin, karena khawatir hajinya tidak diterima Allah SWT atau tidak mabrur. Semua ini tentu saja mencerminkan kepasrahan, ketundukan dan kepatuhan total mereka pada hukum- hukum Allah, yang terkait dengan ibadah haji.
Sayang, sikap yang sama sering tidak muncul ketika mereka dihadapkan pada hukum-hukum Allah yang lain. Misalnya, mereka tidak bersikap pasrah, tunduk dan patuh pada hukum Allah yang mewajibkan jihad melawan orang-orang kafir. Mereka melarang poligami bahkan terkesan membencinya. Sebaliknya, mereka begitu pasrah terhadap maraknya kasus pornografi, pornoaksi, perselingkuhan dan perzinaan yang nyata-nyata diharamkan oleh Allah SWT. Mereka tidak mau diatur oleh syariat Islam yang notabene hukum Allah SWT.
Marilah kita instrospeksi diri sejenak. Kita, manusia , bukanlah siapa-siapa. Kita hanyalah makhluk, yang berasal dari setetes airmani yang hina, sementara Allah SWT, adalah Khalik, Zat Yang Maha Mulia. Tak selayaknya makhluk yang hina menantang Khalik Yang Maha Mulia. Sebab, jika Dia menghendaki, bisa saja Dia tidak nenciptakan kita, atau menjadikan kita hanya seonggok tanah atau segenggam lumpur hitam. Kita ini kecil di hadapan kemahabesaran-Nya. Tak selayaknya ‘si kecil’ menantang Zat Yang Mahabesar. Kita hanyalah makhluk bodoh di hadapan Allah Yang Mahatahu. Tak selayaknya ‘si bodoh’ membantah Zat Yang Mahatahu. Kita hanyalah makhluk lemah di hadapan kemahaperkasaan-Nya. Tak selayaknya ‘si lemah’ bersikap kurang ajar terhadap Zat Yang Mahaperkasa. Kita hanyalah seorang hamba, sementara Allah adalah Tuhan kita. Tak selayaknya seorang hamba menentang aturan tuannya.
Hendaklah kita sadar. Kita ini diciptakan oleh Allah, diberi kesempatan hidup oleh Allah, dikaruniai berbagai kenikmatan oleh Allah, serta dijaga dan dipelihara setiap detik oleh Allah. Rasanya, sudah sepantasnyalah kita bersikap pasrah, tunduk dan patuh secara total pada berbagai aturan dan hukum syariat Islam.