Oleh: Muhammad Habibi Ezyoni, Ketua Umum HMI Komisariat ISIP Unand
Belakangan ini menjadi perbincangan hangat di berbagai media persoalan pemerintah dan DPR yang berencana mengesahkan Rancangan KUHP (RKUHP) dalam waktu dekat. Jika kita mundur sejenak, tepat pada Rabu tanggal 25 Mei 2022 Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Eddy.OS. Hiariej menyampaikan 14 poin terkait isu-isu yang kontroversi terhadap Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP).
Pertama, penjelasan mengenai The Living Law. Yakni pada Pasal 2 yang dimaksud hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana adalah hukum pidana adat. Kedua, terkait pidana mati. Pidana mati ditempatkan paling terakhir untuk mencegah dilakukannya tindak pidana. Ketiga, tentang penyerangan terhadap harkat martabat presiden dan wakil presiden. Keempat, tindak pidana karena memiliki kekuatan gaib. Kelima, dokter atau dokter gigi yang melaksanakan pekerjaan tanpa ijin. Keenam, unggas dan ternak yang merusak kebun yang ditaburi benih.
Ketujuh, Contempt of Court berkaitan dengan dipublikasikan secara langsung tidak diperkenankan. Kedelapan, Advokat curang dapat berpotensi bias terhadap salah satu profesi penegak hukum saja yang di atur. Kedelapan, terkait isu penodaan agama. Kesembilan, penganiayaan hewan. Kesepuluh, tentang penggelandangan. Kesebelas, tentang aborsi ditambahkan satu ayat yang menyatakan memberikan pengecualian apabila keterdaruratan medis atau korban perkosaan. Keduabelas, mencakup perzinahan melanggar nilai agama dan budaya. Ketiga belas tentang kohabitasi dan keempat belas tentang perkosaan dalam perkawinan.
Penulis menyebutkan empat belas poin tersebut untuk merefleksikan kembali khazanah kita terkait isu-isu kontroversi dari RKUHP yang telah dirancang sejak lama. Namun, terdapat poin yang sangat kontroversial, jika kita perhatikan seksama pada draf RKUHP Pasal 240 yang menyatakan “Setiap orang yang di muka umum melakukan penghinaan terhadap pemerintah yang sah yang berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV”. Bukan hanya itu, pasal 240 merupakan gambaran umum terkait pidana bagi orang yang melakukan penghinaan terhadap pemerintah dan masih terdapat beberapa pasal lainnya.
Kemudian yang menjadi persoalan pada pasal 220 ayat 2 menjelaskan “Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat dilakukan secara tertulis oleh Presiden atau Wakil Presiden. Penulis beranggapan hal ini telah mencederai hukum dalam sistem pemerintahan demokratis. Dimana pengaduan disampaikan langsung oleh penguasa seperti halnya presiden dan wakil presiden. Seperti yang kita ketahui, pembentukan hukum sebagai bentuk perlindungan penguasa mengarah pada sistem pemerintahan otokratis.
Jika kita lihat, pembentukan hukum seperti ini pernah terjadi pada masa kolonial Belanda di tahun 1914. Ketika Gubernur Jenderal Van Heutsz yang berpindah dari Aceh ke Batavia kemudian membentuk pasal-pasal untuk membungkam pribumi. Hal tersebut mengulang peristiwa yang terjadi pada masa kolonial di tahun 2022. Penulis menilai hal tersebut merupakan pembatasan kritik kepada pemerintah itu sendiri. Sehingga masyarakat sebagai pribumi tidak memiliki power sebagai check and balance guna menjaga stabilitas pemerintah.
Seperti yang kita lihat beberapa waktu lalu, terdapat mural bernada kritik bergambar sosok Presiden Joko Widodo yang bertuliskan 404: Not Found ramai di media sosial. Peristiwa tersebut dinilai bentuk penghinaan terhadap lambang negara sehingga pembuat mural sempat diburu oleh pihak kepolisian. Perlu kita ulas lagi bahwa presiden dan unsur pemerintah bukanlah merupakan lambang negara. Lambang negara terdapat pada Pasal 36 A UUD 1945 yang dikatakan lambang negara Garuda Pancasila dan semboyannya Bhinneka Tunggal Ika. Kemudian UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara.
Bukan hanya itu, kekhawatiran dalam mengkritik pemerintah sering dikaitkan dengan UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Pasal 45a dan 45b terkait pencemaran nama baik. Pasal yang banyak menjerat pengguna media sosial dalam menyampaikan kritik mengarah pada penyampaian ujaran kebencian, ancaman kekerasan, dan bersifat menakut-nakuti.
Pasal yang dirumuskan dalam RKUHP tersebut dinilai sebagai pasal karet karena tidak menjelaskan batasan detail sebagai kategori penghinaan terhadap pemerintah. Berbagai kritikan yang disampaikan baik melalui media sosial hingga unjuk rasa untuk mengkritisi kebijakan pemerintah termasuk presiden dan wakil presiden bisa saja berujung pidana. Dalam hal ini pembentukan hukum di Indonesia kian bersifat otokratis yang mana pemimpin memegang kendali penuh.
Bersifat paradoks ketika berbagai media menginformasikan kepada khalayak terkait permintaan Presiden Jokowi kepada masyarakat untuk terlibat aktif menyampaikan kritik terhadap pemerintah. Informasi tersebut dipandang sinis oleh masyarakat dengan berbagai peristiwa traumatis dengan mengkritik yang berujung pidana.
Dalam penyampaian kritik tidak hanya berupa lisan ataupun tulisan tetapi dapat berupa simbol. Hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian kritik kepada pemerintah adalah melihat kadar baik dan buruk kritik yang disampaikan beserta bukti untuk membangun argumentasi. Perlu aturan hukum yang lugas dan jelas terkait perbedaan konteks memberikan kritik dan menghina. Agar tidak muncul kekhawatiran masyarakat dalam memberikan kritik kepada pemerintah, dalam hal pembelengguan kebebasan berpendapat sebagai kritik yang berujung pada penghinaan dan ujaran kebencian.
Jika presiden dan pemerintah melakukan kesalahan kemudian dikritik oleh masyarakat dengan bukti yang valid dan argumentasi yang jelas apakah termasuk penghinaan? Jangan sampai dengan kekhawatiran pemerintah akan citra baik yang dibangun dengan melakukan kesalahan sehingga dikritik, orang yang mengkritik menjadi sasaran akibat peraturan hukum yang diterapkan. Hal demikian merupakan langkah sederhana yang menjadikan demokrasi mati tanpa adanya kritik. Dalam negara demokrasi pemerintahan yang baik harusnya tidak bersikap anti kritik, baik miring sekalipun untuk menciptakan check and ballance agar pemerintah tidak kebablasan dan menyalahgunakan kekuasaan.