
JAKARTA – Komisi Yudisial (KY) dan Badan Pengawas Mahkamah Agung didesak melakukan pemeriksaan terhadap hasil putusan hakim, yang memvonis bebas Bos PT Borneo Lumbung Energi & Metal (BLEM) Samin Tan –yang juga dikenal sebagai Crazy Rich.
Desakan itu disampaikan elemen masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Bersihkan Indonesia. Mereka terdiri atas Auriga, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), PWYP Indonesia, dan Indonesia Corruption Watch (ICW).
“Koalisi Bersihkan Indonesia mendorong agar Komisi Yudisial dan Badan Pengawas Mahkamah Agung mengambil langkah tegas jika ada dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim oleh majelis hakim tingkat pertama maupun kasasi,” kata Ketua YLBHI M Isnur kepada wartawan, Minggu (19/6), seperti dikutip cnnindonesia.com.
Dalam hal ini, ia menilai putusan hakim di tingkat pertama ataupun kasasi di Mahkamah Agung dianggap menyesatkan. Koalisi menyoroti pertimbangan majelis hakim yang membebaskan Samin Tan lantaran dinilai tak memenuhi kriteria sebagai pemberi gratifikasi kepada terdakwa lain.
Samin diduga memberikan gratifikasi kepada Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eni Maulani Saragih sebesar Rp 5 miliar untuk membantu perusahaan milik konglomerat itu mendapat izin kembali. Namun, Samin sebagai pemberi gratifikasi dinilai hakim tidak diatur oleh Undang-undang Tindak Pidana Korupsi.
Koalisi membeberkan bahwa pemberi gratifikasi yang dijerat menggunakan UU Tipikor bukan pertama kali terjadi di Indonesia. Mereka mencontohkan Simon Gunawan Tanjaya dalam kasus korupsi Mantan Kepala SKK Migas, Rudi Rubiandini. Serta M Bukhori dan Harjanto sebagai pemberi gratifikasi kepada Mantan Bupati Nganjuk, Taufiqurrahman merupakan beberapa contoh pemberi gratifikasi yang dijerat dengan UU Tipikor.
“Selain itu, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Mahkamah Agung tidak mendalami dan mempertimbangkan secara serius kepentingan Samin Tan dalam pengurusan pencabutan izin PT AKT,” ucap Isnur.
Menurutnya pertimbangan ultimate beneficial owner dari PT AKT harus menjadi salah satu pertimbangan dimana Samin Tan memiliki kepentingan atas pembatalan pencabutan izin tersebut oleh Kementerian ESDM.
Meski tak tercatat sebagai pengurus, namun izin tetap dikembalikan. Proses tersebut disinyalir menguntungkan PT AKT lantaran bisa kembali beroperasi, dan Samin Tan turut mendapat imbas keuntungan itu.
Koalisi menyebutkan bahwa Beneficial Ownership (BO) telah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (Perpres 13/2018).
Dalam aturan tersebut dijelaskan bahwa beneficial ownership merupakan kewajiban korporasi untuk melaporkan sosok penting di baliknya. Termasuk kriteria, dan akses informasi yang dimiliki beneficial ownership itu.
“Kasus Samin Tan ini juga seharusnya menjadi momentum untuk memperkuat implementasi BO di Indonesia yang masih tertatih-tatih,” ucap Isnur.
Koalisi mengutip data Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) di mana Kementerian Hukum dan HAM mencatat rendahnya kepatuhan korporasi melaporkan BO-nya. Dari 2.346.788 korporasi yang terdaftar, hanya 617.851 korporasi (26,33%) yang melapor hingga 29 Maret 2022.
“Tak hanya dalam perspektif penegakan hukum, pemerintah seharusnya juga menjadikan BO sebagai syarat mutlak bagi korporasi yang melakukan pengajuan perizinan, terutama perizinan di sektor strategis, misalnya energi, lingkungan, sumber daya alam, perdagangan, infrastruktur dan sektor digital,” tandas Isnur.
Menyikapi putusan tersebut, Koalisi pun meminta agar KPK melakukan upaya hukum luar biasa berupa Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung. Selain itu, KPK sebagai aparat penegak hukum diminta agar mengeksaminasi dakwaan jaksa dan putusan yang ada.
Pemerintah dan DPR pun diminta agar menguatkan regulasi Beneficial Ownership agar dapat mengungkap pemilik manfaat utama dari sebuah perusahaan. Data tersebut, kata dia, harus dibuka kepada publik. web