
DALAM diskusi terbuka yang digelar Pemko Banjarmasin terkait rencana revisi Perda Nomor 13 Tahun 2003 tentang Larangan Kegiatan pada Bulan Ramadhan, di Aula Kayuh Baimbai, Rabu (20/4) pagi itu, ada tiga poin penting yang dinilai perlu ditinjau ulang.
Hal itu disampaikan oleh peserta yang hadir yakni dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kalsel, perwakilan tokoh agama, mahasiswa, tokoh wanita, perwakilan pedagang serta tokoh masyarakat.
Pelarangan dibukanya warung makan di siang hari, selama beberapa tahun terakhir ini memang selalu menjadi polemik di masyarakat.
Oleh karena itu, mereka sepakat agar tiga poin penting dalam Perda No 13 Tahun 2003 perlu ditinjau ulang itu. Yakni, dari segi waktu, teknis penjualan, serta penyesuaian berdasarkan kategori penjual dan konsumen.
“Dari segi waktu mulai dibukanya rumah makan, terdapat banyak opsi yang dikemukakan. Ada yang berpendapat lebih baik dibuka lebih awal, atau tidak diatur sama sekali. Saran masih kita tampung sejauh ini,” ujar Walikota Banjarmasin Ibnu Sina, yang hadir memimpin diskusi tersebut.
Terkait dengan teknis penjualan, juga terdapat beberapa opsi seperti hanya difokuskan pada take away, atau boleh makan di tempat.
Kemudian, diikuti dengan penyesuaian seperti diperbolehkannya warga nonmuslim, ibu menyusui hamil, buruh/pekerja musafir sebagai konsumen.
“Dinamikanya sangat bagus, pemerintah kota dan DPRD akan duduk bersama untuk secara resmi memformulasi secara hukum terlebih dahulu, hingga nantinya diparipurnakan jika banyak yang setuju,” beber Ibnu Sina, seraya menambahkan perda ini baru akan diterapkan pada Ramadhan selanjutnya.
Mustachim, perwakilan pengusaha dari APJI (Asosiasi Pengusaha Jasaboga Indonesia) berharap, revisi perda nanti bisa memberikan kesejahteraan karyawan.
“Pendapatan cabang rumah makan kami di daerah lain stabil, namun di Banjarmasin kian menurun. Di sini keliatan perbandingannya. Jadi, dapat disimpulkan perda memang berdampak pada hal ini,” ujarnya.
Sementara, Ahmad Risha Nadzemi, Kabid PTKP Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) menilai, perda ini dianggap tak lagi relevan, mengingat fluiditas sosial di kota seribu sungai yang kian berkembang.
“Menurut kami tidak usah ada tempo waktu untuk dibukanya rumah makan. Alasannya, karena waktu hanyalah relativitas, tidak ada bedanya entah itu dibuka pagi, siang atau sore. Yang jadi masalah adalah keimanan seseorang itu sendiri,” pungkasnya. Win