
JAKARTA – Sektor mineral dan batu bara (minerba) di Indonesia diterpa sejumlah isu dan peristiwa penting sepanjang 2025.
Sejumlah isu itu seperti revisi Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba, kenaikan royalti, gaduh tambang nikel di Raja Ampat, hingga insiden longsor di tambang bawah tanah milik PT Freeport Indonesia (PTFI).
Jika ditilik lebih jauh, pada awal tahun, sektor minerba cukup menarik perhatian. Ini khususnya terkait revisi UU Minerba yang akhirnya disahkan oleh DPR RI.
Dalam revisi UU tersebut, pemerintah memberikan aturan khusus agar orgnisasi masyarakat (ormas) keagamaan, koperasi, dan UMKM dapat mengelola tambang.
Selain itu, pada April 2025, juga pemerintah juga menaikkan tarif royalti minerba. Kenaikan ini dilakukan secara progresif untuk komoditas seperti nikel, tembaga, emas, perak, platina, dan batu bara, tergantung harga acuan (HBA/HMA).
Tak hanya itu, pada 2025, juga terjadi insiden longsor di tambang bawah tanah Grasberg Block Cave (GBC) milik Freeport, Papua Tengah. Tragedi ini menyebabkan tujuh orang pekerja tewas.
Berikut sejumlah isu dan peristiwa penting di sektor minerba sepanjang 2025 yang dirangkum redaksi Bisnis:
Pertama ada Revisi UU Minerba. Pada Februari 2025, DPR RI secara resmi mengesahkan revisi UU Minerba. Dalam revisi terbaru, pemerintah dan DPR menyepakati peruhan atau penambahan pasal yang mengatur 11 poin penting. Pertama, tindak lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengamanatkan beberapa penyesuaian dalam UU terkait dengan pemaknaan jaminan, ruang, dan perpanjangan kontrak.
Kedua, WIUP/WIUPK/WPR yang telah ditetapkan menjadi dasar bagi penetapan tata ruang dan kawasan serta tidak ada perubahan tata ruang bagi pelaku usaha yang mendapatkan IUP/IUPK/IUPR. Ketiga, pengutamaan kebutuhan batu bara dalam negeri (DMO) sebelum melakukan penjualan luar negeri.
Keempat, WIUP mineral logam atau batu bara diberikan kepada koperasi, badan usaha kecil dan menengah dan badan usaha yang dimiliki ormas keagamaan yang menjalankan fungsi ekonomi dengan cara pemberian prioritas.
Kelima, pemberian pendanaan bagi perguruan tinggi dan sebagian keuntungan pengelolaan WIUP dan WIUPK dengan cara prioritas kepada BUMN, BUM, atau badan usaha swasta dalam rangka meningkatkan kemandirian, layanan pendidikan, dan fasilitas perguruan tinggi.
Keenam, dalam rangka hilirisasi dan industrialisasi, pelaksanaan pemberian WIUP/WIUPK dengan cara prioritas kepada BUMN/BU swasta bagi peningkatan nilai tambah dalam negeri lewat program hilirisasi.
Ketujuh, pemerintah dapat melakukan penugasan kepada lembaga riset negara/daerah/BUMN/BUMD/BU swasta untuk melakukan penyelidikan dan penelitian dan atau pengembangan proyek pada wilayah penugasan.
Kedelapan, pelayanan perizinan berusaha melalui sistem pelayanan perizinan berusaha pertambangan mineral dan batu bara melalui OSS. Kesembilan, pelaksanaan audit lingkungan sebagai persyaratan perpanjangan kontrak karya (KK), PKP2B yang diperpanjang menjadi IUPK sebagai kelanjutan operasi kontrak perjanjian.
Kesepuluh, pengembalian lahan yang tumpang tindih sebagian atau seluruh WIUP-nya kepada negara. Kesebelas, peningkatan komitmen pengembangan dan pemberdayaan masyarakat dan penegasan perlindungan terkait hak masyarakat/masyarakat adat.
Selanjutnya, pada April 2025, pemerintah resmi menaikkan tarif royalti minerba. Keputusan itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 19 Tahun 2025 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian ESDM.
Berdasarkan beleid itu, tarif royalti untuk bijih nikel naik dari 10% menjadi 14% hingga 19% per ton. Tarif baru tersebut berlaku progresif berdasarkan HMA.
Selanjutnya, tarif royalti nikel matte naik dari 2%-3% menjadi 3,5% hingga 5,5% per ton, berdasarkan HMA. Lalu, feronikel naik dari 2% menjadi 4% hingga 6%.
Berikutnya, nickel pig iron (NPI) naik dari 5% menjadi 5% hingga 7% per ton, berdasarkan HMA. Kemudian, emas naik dari 3,75%-10% menjadi 10%-16% per troy ounce.
Selanjutnya, tarif royalti untuk batu bara (open pit) tingkat kalori > 4.200-5.200 kkal/kg dengan HBA US$90 naik dari 10,5% per ton menjadi 11,5% per ton.
Disaping itu, ada Polemik Tambang Nikel di Raja Ampat Pada Juni 2025, aktivitas tambang nikel di Kepulauan Raja Ampat, Papua Barat Daya memicu polemik. Pasalnya, aktivitas tambang di area wisata itu disebut mengancam kelestarian lingkungan.
Publik pun mendesak pemerintah untuk memberikan perhatian khusus. Alhasil, pemerintah mencabut empat izin usaha pertambangan (IUP) di kawasan yang dijuluki Surga Terakhir di Bumi itu. bisn/mb06

