Mata Banua Online
Rabu, Desember 31, 2025
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper
Mata Banua Online
No Result
View All Result

Pemasukan Seret, Duit Belanja Buat Bayar Bunga Utang

by Mata Banua
29 Desember 2025
in Ekonomi & Bisnis
0
G:\2025\Desember 2025\30 Desember 2025\hal 6\bawah.jpg
(foto:mb/web)

JAKARTA – Kualitas belanja peme­rintah terancam mengalami penurunan imbas membengkaknya porsi pemba­yaran bunga utang dalam struktur AP­BN dan merosotnya penerimaan pajak.

Kombinasi kenaikan pengeluaran dan penurunan pemasukan itu membuat ruang fiskal semakin tercekik: anggaran untuk pembiayaan program produktif dan perlindungan sosial pun semakin berkurang. Risiko fiskal tersebut terpampang dari data World Bank alias Bank Dunia.

Berita Lainnya

G:\2025\Desember 2025\31 desember 2025\6\Hal Ekonomi, 31 Desember\master 6.jpg

Aktivasi Akun Coretax

30 Desember 2025
G:\2025\Desember 2025\31 desember 2025\6\Hal Ekonomi, 31 Desember\hal 6 - 2 klm (KIRI).jpg

Nilai Tukar Rupiah Menguat

30 Desember 2025

Dalam laporan bertajuk Indonesia Economic Prospects (IEP) edisi Desember 2025, Bank Dunia meng­ungkapkan rasio pembayaran bunga utang terhadap pendapatan mencapai 20,5% per Oktober 2025. Artinya, seperlima dari total pendapatan negara habis hanya untuk melunasi ewajiban bunga.

Jika dianalogikan dengan seorang karyawan yang terjerat pinjol maka setiap gaji Rp1 juta yang diterimanya, Rp205 ribu di antara harus dipakai untuk membayar bunga utang pinjolnya-belum termasuk utang pokok pinjol itu sendiri.

Masalahnya, rasio pembayaran bunga utang terhadap pendapatan negara cenderung meningkat. Dalam laporan IEP edisi Desember 2024, Bank Dunia mencatat bahwa rata-rata rasio pem­bayaran bunga utang terhadap pen­dapatan Indonesia ‘hanya’ 14% selama 2015-2022.

Namun demikian saat ini, rasio pembayaran bunga utang terhadap pendapatan negara telah menembus angka 20,5%. Ada peningkatan 6,5 poin persentase dibandingkan posisi rata-rata pada 2015-2022.

Tak sampai situ, jika dibandingkan dengan negara sebanding maka posisi Indonesia tampak lebih mengkhawatir­kan. Bank Dunia mencatat rata-rata rasio pembayaran bunga utang terhadap pendapatan di negara-negara berpen­dapatan menengah-atas cuma sebesar 8,5% selama 2015-2022; bahkan angkanya lebih kecil di negara-negara berpendapatan tinggi yaitu 4%-jauh lebih rendah dari Indonesia.

Selama ini, pemerintah boleh berbangga bahwa rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) termasuk yang terkecil di negara-negara G20.

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa misalnya, yang membandingkan rasio utang terhadap PDB Indonesia yang baru di kisaran 40%; sementara di Jerman utang pemerintah sudahampir 100% dari PDB, Amerika Serikat sudah 120% dari PDB, bahkan Jepang sudah 250% dari PDB. “Kita amat prudent. Jadi kalau nanti ada rating agency yang mempertanyakan itu, suruh bandingkan dengan negara yang lain, yang maju, yang jadi acuan dia. Habis itu suruh bawa cermin,” kata Purbaya.

Kendati demikian, seperti yang diungkapkan laporan data Bank Dunia, keadaan berbalik apabila yang dipakai rasio pembayaran utang terhadap pendapatan negara: beban Indonesia jauh lebih berat dibandingkan negara sebanding, apalagi negara maju. Apalagi, selama ini, pemerintah bisa melakukan refinancing alias strategi melunasi pokok utang yang jatuh tempo dengan menarik utang baru sehingga likuiditas fiskal bisa terjaga.

Dalam APBN, strategi pmbayaran pokok utang itu masuk ke pos pembia­yaan sehingga terpisah dari pendapatan dan belanja (below the line). Sayangnya, strategi serupa tak berlaku untuk pembayaran bunga utang yang harus dibayar tunai dari kas negara yang ada. Pembayaran bunga utang masuk ke pos belanja sehingga dananya bersumber langsung dari pendapatan. Penerimaan Pajak Seret Keadaan diperparah dengan penerimaan pajak yang terus terkon­traksi, setidaknya sejak awal tahun ini.

Data Kementerian Keuangan me­nun­­jukkan bahwa penerimaan pajak mencapai Rp1.634,43 triliun per akhir November 2025 atau masih turun 3,21% dibandingkan realisasi periode yang sama tahun lalu (Rp 1.688,64 triliun) Artinya, ketika kewajiban pembayaran bunga utang cenderung naik, sumber dananya justru turun (pendapatan yng utamanya dari penerimaan pajak).

Temuan Tim Ekonom Bank Man­diri juga menunjukkan pembayaran bunga utang tumbuh jauh lebih cepat diban­dingkan dengan pertumbuhan penerimaan pajak dalam 15 tahun terakhir.

Berdasarkan data yang diolah Tim Ekonom Bank Mandiri, indeks pem­bayaran bunga utang (interest payment) dan pendapatan pajak (tax revenue) dengan basis tahun 2010 (indeks 100) menunjukkan perkembangan divergensi yang tajam.

Pada 2016, indeks pembayaran bunga utang naik ke level 207. Angka itu belum terlampau jauh dari indeks pendapatan pajak yang ada di level 178. Selisih antarkeduanya hanya 29 basis poin.

Masalahnya, hingga estimasi 2026, indeks pembayaran bunga utang diproyeksikan melonjak hingga level 678.

Kepala Departemen Riset Makroe­konomi dan Pasar Keuangan Bank Mandiri Dian Ayu Yustina menegaskan kesenjangan pertumbuhan antara beban bunga dan penerimaan negara tersebut harus menjadi pengingat krusial bagi pemerintah. Jika tidak maka porsi belanja untuk membayar bunga utang akan semakin besar; dana yang dialokasikan untuk pembangunan dan perlindungan sosial semakin tergerus. bisn/mb06

 

Mata Banua Online

© 2025 PT. Cahaya Media Utama

  • S0P Perlindungan Wartawan
  • Pedoman Media Siber
  • Redaksi

No Result
View All Result
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper