
JAKARTA – Kualitas belanja pemerintah terancam mengalami penurunan imbas membengkaknya porsi pembayaran bunga utang dalam struktur APBN dan merosotnya penerimaan pajak.
Kombinasi kenaikan pengeluaran dan penurunan pemasukan itu membuat ruang fiskal semakin tercekik: anggaran untuk pembiayaan program produktif dan perlindungan sosial pun semakin berkurang. Risiko fiskal tersebut terpampang dari data World Bank alias Bank Dunia.
Dalam laporan bertajuk Indonesia Economic Prospects (IEP) edisi Desember 2025, Bank Dunia mengungkapkan rasio pembayaran bunga utang terhadap pendapatan mencapai 20,5% per Oktober 2025. Artinya, seperlima dari total pendapatan negara habis hanya untuk melunasi ewajiban bunga.
Jika dianalogikan dengan seorang karyawan yang terjerat pinjol maka setiap gaji Rp1 juta yang diterimanya, Rp205 ribu di antara harus dipakai untuk membayar bunga utang pinjolnya-belum termasuk utang pokok pinjol itu sendiri.
Masalahnya, rasio pembayaran bunga utang terhadap pendapatan negara cenderung meningkat. Dalam laporan IEP edisi Desember 2024, Bank Dunia mencatat bahwa rata-rata rasio pembayaran bunga utang terhadap pendapatan Indonesia ‘hanya’ 14% selama 2015-2022.
Namun demikian saat ini, rasio pembayaran bunga utang terhadap pendapatan negara telah menembus angka 20,5%. Ada peningkatan 6,5 poin persentase dibandingkan posisi rata-rata pada 2015-2022.
Tak sampai situ, jika dibandingkan dengan negara sebanding maka posisi Indonesia tampak lebih mengkhawatirkan. Bank Dunia mencatat rata-rata rasio pembayaran bunga utang terhadap pendapatan di negara-negara berpendapatan menengah-atas cuma sebesar 8,5% selama 2015-2022; bahkan angkanya lebih kecil di negara-negara berpendapatan tinggi yaitu 4%-jauh lebih rendah dari Indonesia.
Selama ini, pemerintah boleh berbangga bahwa rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) termasuk yang terkecil di negara-negara G20.
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa misalnya, yang membandingkan rasio utang terhadap PDB Indonesia yang baru di kisaran 40%; sementara di Jerman utang pemerintah sudahampir 100% dari PDB, Amerika Serikat sudah 120% dari PDB, bahkan Jepang sudah 250% dari PDB. “Kita amat prudent. Jadi kalau nanti ada rating agency yang mempertanyakan itu, suruh bandingkan dengan negara yang lain, yang maju, yang jadi acuan dia. Habis itu suruh bawa cermin,” kata Purbaya.
Kendati demikian, seperti yang diungkapkan laporan data Bank Dunia, keadaan berbalik apabila yang dipakai rasio pembayaran utang terhadap pendapatan negara: beban Indonesia jauh lebih berat dibandingkan negara sebanding, apalagi negara maju. Apalagi, selama ini, pemerintah bisa melakukan refinancing alias strategi melunasi pokok utang yang jatuh tempo dengan menarik utang baru sehingga likuiditas fiskal bisa terjaga.
Dalam APBN, strategi pmbayaran pokok utang itu masuk ke pos pembiayaan sehingga terpisah dari pendapatan dan belanja (below the line). Sayangnya, strategi serupa tak berlaku untuk pembayaran bunga utang yang harus dibayar tunai dari kas negara yang ada. Pembayaran bunga utang masuk ke pos belanja sehingga dananya bersumber langsung dari pendapatan. Penerimaan Pajak Seret Keadaan diperparah dengan penerimaan pajak yang terus terkontraksi, setidaknya sejak awal tahun ini.
Data Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa penerimaan pajak mencapai Rp1.634,43 triliun per akhir November 2025 atau masih turun 3,21% dibandingkan realisasi periode yang sama tahun lalu (Rp 1.688,64 triliun) Artinya, ketika kewajiban pembayaran bunga utang cenderung naik, sumber dananya justru turun (pendapatan yng utamanya dari penerimaan pajak).
Temuan Tim Ekonom Bank Mandiri juga menunjukkan pembayaran bunga utang tumbuh jauh lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan penerimaan pajak dalam 15 tahun terakhir.
Berdasarkan data yang diolah Tim Ekonom Bank Mandiri, indeks pembayaran bunga utang (interest payment) dan pendapatan pajak (tax revenue) dengan basis tahun 2010 (indeks 100) menunjukkan perkembangan divergensi yang tajam.
Pada 2016, indeks pembayaran bunga utang naik ke level 207. Angka itu belum terlampau jauh dari indeks pendapatan pajak yang ada di level 178. Selisih antarkeduanya hanya 29 basis poin.
Masalahnya, hingga estimasi 2026, indeks pembayaran bunga utang diproyeksikan melonjak hingga level 678.
Kepala Departemen Riset Makroekonomi dan Pasar Keuangan Bank Mandiri Dian Ayu Yustina menegaskan kesenjangan pertumbuhan antara beban bunga dan penerimaan negara tersebut harus menjadi pengingat krusial bagi pemerintah. Jika tidak maka porsi belanja untuk membayar bunga utang akan semakin besar; dana yang dialokasikan untuk pembangunan dan perlindungan sosial semakin tergerus. bisn/mb06

