Oleh : Irmanita Wiradona, S.SiT.,M.Kes (Dosen Poltekkes Kemenkes Semarang, Peneliti Bidang Kesehatan)
Di tengah arus informasi yang bergerak semakin cepat, literasi bukan lagi sekadar kemampuan membaca dan menulis. Ia telah bertransformasi menjadi sebuah fondasi yang menopang kualitas hidup masyarakat. Literasi, dalam berbagai bentuknya, adalah hak setiap warga untuk terus belajar sepanjang hidup, dan hak yang kini semakin relevan di era digital yang sarat tantangan sekaligus peluang. Ketika kapasitas literasi meningkat, maka tumbuh pula daya masyarakat untuk mengambil keputusan yang lebih sadar, lebih kritis, dan lebih bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan lingkungan di sekelilingnya.
Pentingnya literasi tidak hanya berhenti pada aspek intelektual. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa literasi memberi dampak berlapis, seoerti menekan angka kemiskinan, pertumbuhan penduduk, mengurangi angka kematian, dan memperkuat daya saing ekonomi. Bahkan kemampuan literasi paling dasar pun dapat membuka pintu bagi seseorang untuk memperluas pengetahuan serta mengoptimalkan potensi dirinya. Karena itu literasi semakin dipahami sebagai prasyarat agar masyarakat mampu berpartisipasi secara penuh dalam proses sosial, budaya, maupun ekonomi.
Meski maknanya kian luas dan ditafsirkan secara beragam, inti dari literasi tetaplah kemampuan dasar individu dalam mengolah informasi. Baca, tulis, hitung, dan sekarang juga kemampuan menelisik informasi yang berseliweran di ruang digital. Dengan pemahaman yang tepat, seseorang dapat memilah mana informasi yang benar, mana yang sekadar opini, bahkan mana yang berbahaya. Inilah mengapa berbagai program literasi terus digerakkan di banyak lini kehidupan, termasuk aspek yang sangat menentukan masa depan suatu bangsa yakni: kesehatan.
Literasi Kesehatan
Dalam keseharian kita, kemampuan memahami informasi kesehatan semakin diperlukan. Kita hidup pada masa ketika teknologi kesehatan berkembang pesat, tetapi pada saat yang sama risiko penyakit kronis dan penyakit tidak menular tumbuh lebih cepat. Di sinilah literasi kesehatan mengambil peran. Literasi kesehatan bukan sekadar aktivitas membaca brosur atau menonton iklan layanan masyarakat. Ia mencakup kemampuan seseorang untuk memperoleh, memahami, menilai, hingga memanfaatkan informasi kesehatan demi membuat keputusan yang tepat bagi dirinya, keluarganya, dan lingkungannya.
Sayangnya, literasi kesehatan masih menjadi aspek yang sering luput dari perhatian. Kesenjangan akses informasi antara daerah perkotaan dan pedesaan masih tampak jelas. Masyarakat yang tinggal di kota besar lebih mudah mendapatkan edukasi kesehatan melalui fasilitas layanan, platform digital, maupun media massa. Sementara itu masyarakat di wilayah terpencil atau daerah 3T masih kesulitan sekadar mengakses informasi dasar, padahal akses adalah pintu pertama untuk memahami dan memaknai sebuah pesan kesehatan.
Ketika masyarakat tidak memiliki akses informasi yang merata, mereka rentan membuat keputusan yang kurang tepat terkait kesehatan. Contoh kecilnya terlihat dari bagaimana seseorang menilai gejala penyakit, memilih makanan, menggunakan obat, atau memastikan lingkungan rumah tetap higienis. Literasi kesehatan menjadi semacam kompas yang mengarahkan masyarakat untuk mengambil langkah yang benar dan menghindari risiko yang sebetulnya dapat dicegah.
Penyakit dan Peran Literasi
Kita tak bisa menutup mata bahwa prevalensi penyakit seperti diabetes, hipertensi, stroke, dan penyakit jantung semakin melonjak setiap tahun. Selain faktor genetik, pola hidup masa kini yang cenderung serba instan dan minim aktivitas fisik turut memperburuk situasi. Di titik inilah literasi kesehatan hadir bukan hanya sebagai pengetahuan, tetapi sebagai perangkat untuk mengontrol pilihan hidup.
Salah satu teori kebutuhan menurut Abraham Maslow menyebutkan pentingnya memenuhi kebutuhan fisiologis, termasuk makan dan minum. Pada praktiknya, masyarakat perlu mengetahui apa yang mereka konsumsi. Pemerintah, melalui beragam kampanye publik, telah berupaya mendorong masyarakat agar menerapkan pola hidup sehat dengan memperhatikan gizi seimbang. Iklan layanan masyarakat di televisi, infografik di media sosial, dan billboard yang terpampang di ruang publik merupakan bagian dari literasi kesehatan untuk memberi arah dan pengingat.
Program Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS) menjadi cerminan bagaimana literasi kesehatan diintegrasikan ke dalam kebijakan nasional. Pesan untuk rutin berolahraga, membatasi konsumsi gula, garam, dan lemak, serta berhenti merokok bukan sekadar slogan, tetapi strategi untuk membangun budaya hidup sehat yang berkelanjutan. Senam bersama di instansi, peringatan bahaya rokok di ruang publik, hingga kampanye anti-narkoba merupakan bagian dari upaya membentuk kesadaran kolektif agar masyarakat tidak terperosok dalam gaya hidup yang berisiko tinggi.
Masalah narkoba, misalnya, bukan hanya persoalan kriminalitas, tetapi persoalan literasi kesehatan. Tanpa pemahaman tentang dampak narkoba terhadap tubuh dan masa depan, generasi muda akan lebih mudah terpengaruh. Literasi kesehatan memberi benteng awal agar seseorang memahami risiko secara objektif, bukan sekadar mengikuti tekanan lingkungan.
Dimensi yang Lebih Dalam
Pengukuran literasi kesehatan tidak hanya dilihat dari seberapa banyak informasi yang dimiliki seseorang. Lebih dari itu, literasi kesehatan mencakup sikap, motivasi, perilaku, hingga kemampuan seseorang mengambil keputusan secara mandiri. Semakin baik literasi kesehatannya, semakin besar pula peluang seseorang untuk menjalani hidup sehat secara konsisten dan penuh kesadaran.
Tingkat pendidikan, budaya, bahasa, kemampuan berkomunikasi, hingga lingkungan digital tempat seseorang mendapatkan informasi turut menentukan kualitas literasi kesehatannya. Namun upaya ini tidak bisa hanya dibebankan kepada individu. Dunia media, pasar, dan pemerintah juga memiliki tanggung jawab menghadirkan informasi yang akurat, mudah dipahami, dan tidak menyesatkan.
Program literasi kesehatan yang telah berjalan selama ini menunjukkan bahwa negara dan masyarakat sebenarnya telah bergerak ke arah yang benar. Namun keberhasilannya tidak akan tercapai tanpa adanya kemauan dari individu, keluarga, dan masyarakat untuk mempraktikkan informasi yang diterima. Pemahaman spiritual, nilai moral, dan kesadaran diri juga menjadi faktor yang tak kalah penting dalam mewujudkan budaya hidup sehat.
Gerakan masyarakat hidup sehat sejatinya adalah gerakan membangun manusia Indonesia menjadi lebih kuat, lebih peduli, dan lebih bertanggung jawab terhadap tubuh dan lingkungan. Tanpa literasi kesehatan, gerakan ini tidak memiliki pijakan. Tetapi dengan literasi yang memadai, gerakan ini bisa menjadi kekuatan besar yang mengubah masa depan kesehatan bangsa.

