
Indonesia, negeri luas yang dibangun di atas harapan dan pengorbanan berjuta warganya, belakangan semakin sering menyuguhkan berita yang membuat dada sesak. Kasus bunuh diri, yang dulu dianggap persoalan individual dan jarang diberitakan, kini muncul dengan frekuensi yang mengkhawatirkan. Berita demi berita mengabarkan kisah anak muda yang kehilangan arah, mahasiswa yang merasa gagal, dan warga yang merasakan beban hidup melampaui kemampuan mereka. Semua ini bukan hanya statistik, namun ini adalah cermin yang memantulkan guncangan sosial yang tengah dialami bangsa.
Data Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME) menunjukkan bahwa Indonesia diperkirakan menyumbang sekitar 4.750 kematian akibat bunuh diri dari total global 746 ribu kasus. Catatan kepolisian Republik Indonesia menyebutkan adanya peningkatan sekitar 100 kasus pada 2024, sementara Kementerian Kesehatan menempatkan Jawa Tengah sebagai Provinsi dengan angka tertinggi, mencapai 478 kasus setahun (CNN, 11 September 2025). Menyitir di media tersebut yang disampaikan Direktur Pelayanan Kesehatan Kelompok Rentan Kemenkes RI, kasus terbanyak berada di Jawa Tengah dengan 478 kejadian dalam setahun. Angka ini mengonfirmasi betapa seriusnya persoalan kesehatan mental di negeri ini. Masalah tersebut bukan lagi gejala individual, tetapi gejala sosial yang mengisyaratkan struktur negara yang kurang memberi ruang aman bagi warganya untuk bertahan.
Tekanan Hidup
Di balik setiap tindakan bunuh diri, selalu terdapat lapisan-lapisan tekanan yang tidak terlihat. Tekanan ekonomi yang kian menyesakkan, biaya hidup yang tak terjangkau, kompetisi sosial yang semakin keras, serta tuntutan keluarga dan lingkungan yang berlipat-lipat bebannya. Dalam konteks mahasiswa, kondisi ini semakin terasa bagi para mahasiswa. Kampus, yang seharusnya menjadi ladang ide dan masa depan, berubah menjadi arena yang penuh tekanan: tugas bertumpuk, standar akademik yang tak realistis, biaya pendidikan tinggi, hingga minimnya layanan konseling yang benar-benar membumi.
Ungkapan di atas, bisa terkonfirmasi dari adanya berita yang menyatakan bahwa ada seorang mahasiswa salah satu perguruan tinggi di Kota Malang berinisial NFR (25) mengakhiri hidupnya di Jembatan Soekarno-Hatta (Suhat). Motif NFR bunuh diri diduga karena persoalan akademik (DetikJatim, 1 Desember 2025). Bahkan berita-berita yang lain yang mungkin dengan latar belakang dan motif yang berbeda.
Bagi mahasiswa, kegagalan pada satu titik sering disalahartikan sebagai kegagalan hidup. Dalam atmosfer yang menuhankan pencapaian akademik, seseorang yang merasa tidak “sempurna” dianggap belum layak melangkah. Padahal pendidikan sejatinya tidak hanya mengasah akal, tetapi juga membangun ketangguhan mental. Namun kini, angka dan indeks lebih dielu-elukan daripada kematangan karakter.
Masyarakat yang semakin materialistis turut memperparah kondisi ini. Kepentingan ekonomis ditempatkan sebagai tujuan utama hidup, sementara nilai luhur seperti empati, kesantunan, dan kebijaksanaan kerap tersingkir. Pada titik tertentu, hilanglah ruang untuk bernapas, dan yang tersisa hanyalah tuntutan-tuntutan sosial yang tak pernah selesai.
Negara Gagal
Bunuh diri bukan hanya tragedi individu, namun ia merupakan sinyal bahwa negara gagal menciptakan ruang aman bagi warganya. Ketika lapangan kerja sulit, harga kebutuhan pokok meroket, fasilitas kesehatan tidak merata, dan birokrasi sering mempersulit, banyak orang merasa hidup tidak menawarkan harapan. Dalam suasana seperti ini, keputusasaan menjalar diam-diam.
Kesenjangan sosial kian lebar, ketidakpastian hukum membuat rakyat resah, dan kebijakan publik yang tidak sensitif pada kondisi mental masyarakat justru menciptakan beban tambahan. Negara yang seharusnya melindungi dan menenangkan justru kerap memproduksi ketidakpastian. Inilah yang membuat sebagian warga seperti hidup tanpa perlindungan, tanpa rumah yang benar-benar meneduhkan.
Masalah ini juga tidak terpisahkan dari pola pembangunan yang menempatkan manusia sebagai objek ekonomi. Nilai moral dan etika sering kali kalah oleh logika pasar yang mengutamakan keuntungan. Ketika manusia direduksi menjadi angka dalam grafik pertumbuhan ekonomi, hilanglah pertimbangan kemanusiaan yang seharusnya menjadi inti kebijakan publik.
Nilai-nilai Islam
Arus sekularisme yang memisahkan nilai agama dari kehidupan publik membuat masyarakat kehilangan jangkar moral. Agama dipaksa berada di ruang ibadah semata, padahal dalam tradisi Islam, ajaran agama adalah panduan menyeluruh yang mencakup akhlak, keadilan sosial, dan penyembuhan jiwa.
Maka ketika standar kesuksesan semata-mata diukur melalui capaian materi, banyak orang gagal menemukan makna hidup. Dalam kondisi tekanan yang terus meningkat, tanpa fondasi spiritual yang kokoh, seseorang mudah mengalami kekosongan makna yang berujung pada depresi dan keputusasaan.
Islam sejak berabad-abad yang lalu telah memberikan contoh bagaimana manusia diperlakukan dengan penuh kemuliaan. Pada masa kejayaan peradaban Islam, kesehatan mental mendapatkan ruang perhatian khusus. Pada masa Harun Ar-Rasyid, rumah-rumah sakit Islam atau bimaristan menyediakan layanan bagi pasien gangguan jiwa secara manusiawi, bahkan jauh sebelum dunia Barat mengenal konsep itu. Bimaristan Al-Qalawun di Kairo pada abad ke-13 misalnya, dilengkapi taman, air mancur, ruang musik terapi, serta pengobatan gratis. Semuanya dibiayai wakaf atau kas negara, mencerminkan bahwa kesehatan dipandang sebagai kebutuhan dasar yang harus dijamin negara, bukan komoditas. Bahkan prinsip tersebut didasarkan pada prinsip bahwa negara bertanggung jawab terhadap kesejahteraan batin warganya.
Prinsip ini juga terlihat dalam dunia pendidikan. Pendidikan dalam tradisi Islam tidak hanya menekankan penguasaan ilmu, tetapi juga pembentukan akhlak. Guru dihormati, siswa dididik untuk memiliki ketangguhan mental, dan ilmu dipandang sebagai jalan pengabdian. Pandangan hidup seperti sabar, syukur, tawakal, dan ikhlas bukan dimaksudkan untuk membuat manusia pasif, melainkan untuk memupuk ketahanan jiwa, sehingga seseorang mampu bertahan dalam situasi sesulit apa pun.
Saatnya Negara Serius
Setiap kabar bunuh diri bukan hanya kehilangan satu nyawa, tetapi hilangnya masa depan yang semestinya dapat berkontribusi bagi bangsa. Ketika tragedi demi tragedi terjadi, itu adalah tanda bahwa sistem sosial, ekonomi, dan pendidikan kita perlu pembenahan serius.
Negeri ini membutuhkan cara pandang baru dalam memaknai kesejahteraan. Indonesia tidak cukup hanya mencetak generasi cerdas secara akademik; generasi itu juga harus kuat secara emosional dan spiritual. Nilai agama, kearifan lokal, dan pendekatan-pendekatan humanis perlu diangkat kembali agar masyarakat memiliki ruang pemulihan yang menyeluruh.
Agama tidak boleh hanya menjadi simbol. Ia harus ditempatkan sebagai energi moral yang memulihkan batin, menguatkan jiwa, dan memberi arah hidup. Di tengah krisis mental yang merata, kita perlu kembali pada nilai-nilai yang selama ini menjadi sumber keteduhan.
Barangkali, untuk membangun kembali negeri ini sebagai tempat berteduh, kita perlu menyembuhkan lebih dulu cara kita memandang manusia. Dan di situlah nilai-nilai Islam dapat menghadirkan cahaya: bukan sekadar dogma, tetapi sebagai terapi bagi bangsa yang sedang terluka.

