
JAKARTA – Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menegaskan keabsahan Suhartoyo sebagai Ketua MK.
Suhartoyo menjadi Ketua MK usai hakim konstitusi Anwar Usman dijatuhi sanksi oleh MKMK terkait pelanggaran etik dalam perkara syarat usia peserta Pilpres 2024. Putusan MKMK yang memberhentikan Anwar Usman dari jabatan Ketua MK itu dibacakan pada 7 November 2023.
Anwar Usman kemudian melayangkan gugatan atas pengangkatan Suhartoyo jadi Ketua MK di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.
Ketua MKMK I Dewa Gede Palguna menyatakan setelah mencermati isu tersebut, MKMK sama sekali tidak menemukan adanya pelanggaran terhadap kode etik dan perilaku hakim konstitusi, terkait pengangkatan pucuk pimpinan MK.
“Tidak terdapat alasan secara hukum untuk meragukan keabsahan status Suhartoyo sebagai Ketua MK masa jabatan 2023-2028,” ucap Palguna dalam konferensi pers di Gedung MK, Jakarta, Kamis (11/12) seperti dikutip dari Antara.
Ia mengatakan sebagai penjaga kehormatan dan keluhuran martabat mahkamah, MKMK memandang penting untuk mengambil sikap dan tindakan atas pemberitaan di media sosial maupun media massa yang mempersoalkan sah tidaknya jabatan ketua MK yang diemban Suhartoyo.
MKMK mendapati dasar yang dijadikan argumentasi dalam pemberitaan itu adalah Putusan PTUN Nomor 604/G/2023/PTUN.JKT, yakni putusan atas gugatan yang diajukan Anwar Usman, Ketua MK periode sebelumnya yang dicopot MKMK karena pelanggaran etik.
Dalam perkara itu, Anwar Usman mempersoalkan Keputusan MK Nomor 17 Tahun 2023, tanggal 9 November 2023, tentang Pengangkatan Ketua MK Masa Jabatan 2023-2028.
SK tersebut merupakan landasan pengangkatan Suhartoyo sebagai Ketua MK hasil tindak lanjut dari perintah Putusan MKMK Nomor 2/MKMK/L/11/2023 yang memberhentikan Anwar Usman.
Terkait isu yang berkembang, MKMK menilai terdapat upaya yang dilakukan secara sengaja untuk menyesatkan alur penalaran yang tertuang dalam putusan PTUN dengan cara melepaskan amar putusan dengan pertimbangan hukum.
“Sehingga jabatan Ketua MK masa jabatan 2023-2028 yang saat ini dijabat oleh Suhartoyo menjadi seolah-olah tidak sah,” tutur Palguna.
Ia menjelaskan upaya kesengajaan untuk menyesatkan itu tampak dari kecenderungan narasi yang hanya mengutip butir kedua pada amar putusan tanpa menghubungkannya dengan keseluruhan amar lainnya dan konteks pertimbangan hukum.
Butir kedua putusan PTUN dimaksud berbunyi “Menyatakan batal Keputusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor: 17 Tahun 2023, tanggal 9 November 2023 tentang Pengangkatan Dr. Suhartoyo, S.H, M.H. sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi Masa Jabatan 2023-2028.”
Padahal, dalam butir ketiga amar putusan disebutkan “Mewajibkan Tergugat untuk mencabut Keputusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor: 17 Tahun 2023, tanggal 9 November 2023 tentang Pengangkatan Dr. Suhartoyo, S.H, M.H. sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi Masa Jabatan 2023-2028.”
Palguna menjelaskan jika dikaitkan dengan konteks pertimbangan hukum, PTUN sejatinya telah menyatakan sebab SK MK Nomor 17/2023 dinyatakan dicabut, maka penerbitan SK pengangkatan Ketua MK atas nama Suhartoyo yang benar harus dilakukan tergugat, dalam hal ini Ketua MK.
Pertimbangan hukum itu, menurut Palguna, juga sekaligus menepis anggapan yang menyebut pemilihan ketua MK harus dilakukan ulang usai putusan PTUN diucapkan pada 13 Agustus 2024 lalu.
“Putusan TUN-nya tidak mengatakan begitu (harus ada pemilihan ulang). Putusan TUN mengatakan sudah benar pemilihan itu dilakukan,” ucapnya usai konferensi pers.
Dia juga menjelaskan bahwa pada pokoknya, PTUN membatalkan SK MK Nomor 17/2023 tentang pengangkatan Suhartoyo sebagai Ketua MK yang baru karena pada saat SK tersebut diterbitkan, MK belum menerbitkan SK pemberhentian Anwar Usman.
“Hanya yang membatalkan itu, yang membatalkan pengangkatan Pak Anwar itu yang belum disebutkan (dalam SK). Oleh karena itulah yang diperbaiki,” ujarnya.
Ketua MK, imbuh Palguna, telah menindaklanjuti putusan PTUN dengan menerbitkan Keputusan MK RI Nomor 8 Tahun 2024 yang berisi perbaikan atas kekeliruan sebelumnya, sebagaimana perintah putusan PTUN.
“Berdasarkan seluruh uraian di atas, telah ternyata bahwa Keputusan MK RI Nomor 8 Tahun 2024 merupakan tindak lanjut dari perintah Putusan PTUN Nomor 604/G/2023/PTUN.JKT sehingga tidak benar opini yang menyatakan bahwa melalui keputusan tersebut Suhartoyo mengangkat dirinya sendiri,” ucapnya.
Pada bagian lain, MKMK memutuskan Hakim Konstitusi Arsul Sani tak terbukti melanggar kode etik. MKMK menyatakan Arsul Sani tak melakukan pemalsuan dokumen berupa ijazah pendidikan doktoral.
Putusan itu dibacakan Ketua MKMK I Dewa Gede Palguna dalam sidang perkara aduan dugaan ijazah palsu Arsul Sani di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (11/12). Arsul Sani hadir secara daring, yang dikutip CNNIndonesia.com.
“Hakim Terduga tidak terbukti melakukan pelanggaran terhadap Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi sebagaimana tertuang dalam prinsip integritas dalam Sapta Karsa Hutama,” kata Dewa saat membaca putusan, dikutip dari detikcom.
Dalam pertimbangannya, Hakim MKMK, Ridwan Mansyur, mengatakan Majelis Kehormatan menemukan bahwa Arsul Sani mengikuti proses pendidikan doktoral secara sah.
Berdasarkan penelusuran, MKMK meyakini dokumen ijazah sebagai bukti kelulusan Arsul Sani yang diberikan Collegium Humanum merupakan dokumen asli dan autentik.
“Dengan kata lain, dari perspektif dokumen ijazah sebagai objek persoalannya, Majelis Kehormatan tidak menemukan adanya pemalsuan dokumen berupa ijazah pendidikan doktoral yang dilakukan oleh Hakim Terduga maupun tindakan Hakim Terduga yang menggunakan dokumen (ijazah) palsu, seolah-olah asli, untuk memenuhi persyaratan dalam mencalonkan diri sebagai hakim konstitusi,” ujarnya.
Sementara itu, Hakim MKMK Yuliandri, mengatakan Arsul Sani memulai proses pendudukan di Collegium Humanum pada Agustus 2025.
Dia mengatakan Arsul Sani juga sudah pernah mengikuti program doktoral di Glasgow School for Business and Society, Glasgow Caledonian University (GCU) di Skotlandia pada September 2010.
“Akan tetapi, Hakim Terduga tidak berhasil menyelesaikan studinya dengan alasan kesibukan pribadi. Meski demikian, Hakim Terduga berhasil menyelesaikan sebagian studinya dan berhak mempertahankan nilai pada sebagian mata kuliah yang pernah diikutinya, termasuk gelar ‘Professional Master’ dari GCU,” ujar Yuliandri. web

