
Pengalaman mengajar Mata Kuliah Kewirausahaan kepada mahasiswa Poltekkes Kemenkes Semarang selama bertahun-tahun membawa saya pada satu kesimpulan yang terus berulang: anak muda Indonesia, bahkan mereka yang berpendidikan tinggi sekalipun, masih memandang dunia usaha sebagai jalan yang asing dan menakutkan. Kewirausahaan belum dianggap sebagai pilihan profesi yang realistis, apalagi menjanjikan.
Ketika saya bertanya kepada mahasiswa tentang apa yang ingin mereka capai setelah lulus, mayoritas menjawab ingin menjadi tenaga kesehatan yang bekerja di fasilitas pelayanan, instansi pemerintah, rumah sakit, atau lembaga swasta. Hampir tidak ada yang menjawab ingin menjadi pemilik klinik kesehatan, pemilik laboratorium, pengusaha herbal kesehatan, founder start-up kesehatan, atau pemilik layanan home care. Padahal peluang-peluang itu benar-benar terbuka lebar.
Akar persoalannya tidak tunggal. Banyak mahasiswa berasal dari keluarga yang tidak pernah terlibat dalam dunia usaha. Pengalaman masa kecil mereka lebih sering diisi dorongan untuk “mencari pekerjaan yang aman” dibandingkan untuk membangun usaha sendiri. Sejak kecil, anak-anak di Indonesia telah terbingkai dalam pola pikir profesi tetap: polisi, tentara, dokter, guru, pilot, atau profesi yang dianggap mapan. Hampir tidak ada orang tua yang memperkenalkan bahwa menjadi wirausahawan adalah profesi terhormat dan berpotensi memberikan kesejahteraan lebih besar.
Sistem pendidikan kita pun memperkuat pola pikir itu. Pendidikan kesehatan, termasuk di politeknik kesehatan, lebih fokus membentuk lulusan siap kerja—tenaga terampil yang sesuai kebutuhan sektor pelayanan kesehatan. Mahasiswa keperawatan diarahkan menjadi perawat. Mahasiswa farmasi diarahkan menjadi apoteker atau tenaga teknis kefarmasian. Mahasiswa gizi diarahkan menjadi ahli gizi. Mahasiswa keperawatan gigi diarahkan menjadi terapis gigi dan mulut. Struktur pembelajaran lebih banyak meneguhkan posisi mahasiswa sebagai calon tenaga profesional, bukan sebagai calon pemilik usaha di sektor kesehatan.
Padahal, terdapat begitu banyak peluang usaha di bidang kesehatan yang belum disentuh: klinik pratama, klinik estetika, usaha alat kesehatan, edukasi kesehatan digital, penyedia layanan konsultasi gizi, bisnis catering diet sehat, hingga start-up teknologi kesehatan. Semuanya dapat menjadi ladang pengabdian sekaligus sumber penghasilan yang jauh lebih besar dibanding sekadar bekerja sebagai karyawan.
Masalah lainnya adalah stigma terhadap pengusaha. Di sebagian masyarakat, pengusaha sering dianggap sebagai sosok yang hanya mengejar keuntungan, rakus, dan kurang empati. Gambaran-gambaran negatif ini membuat mahasiswa merasa bahwa dunia usaha penuh risiko moral dan ketidakpastian. Akibatnya, mereka menjauhinya sejak awal, bahkan sebelum mengenalnya.
Padahal, negara-negara maju justru dibangun oleh tingginya jumlah entrepreneur. Jepang memiliki lebih dari 10 persen wirausahawan. Amerika Serikat mencapai 12 persen. Singapura 7 persen. Malaysia 5 persen. China bahkan memiliki lebih dari 14 persen pengusaha—angka fantastis yang mendorong dinamika ekonominya.
Sementara Indonesia, menurut data yang pernah disampaikan mantan Menteri Koperasi dan UKM di era Jokowi tahun 2014-2019, Anak Agung Gede Ngurah Puspayoga, yang saat itu mengatakan bahwa Indonesia baru memiliki sekitar 1,65 persen pengusaha. Angka yang terlalu rendah untuk menopang Indonesia menjadi negara maju.
Dalam sebuah dialog CNN, Donald Trump pernah menyebut angka minimal lima persen wirausahawan sebagai syarat kemajuan sebuah negara. Penjelasannya sederhana: lima pengusaha dari seratus penduduk dapat mempekerjakan 25 karyawan. Masing-masing karyawan mampu menghidupi empat orang dalam keluarganya. Artinya, lima pengusaha mampu menyokong kehidupan 100 orang dalam lingkup yang lebih luas. Kesimpulannya jelas, yakni pengusaha adalah lokomotif kesejahteraan, bukan sekadar pencari laba.
Menyadari hal itu, kita perlu menata ulang cara pandang. Dunia usaha bukanlah dunia yang penuh ketakutan; ia adalah ruang kreatif, ruang keberanian, ruang inovasi, dan ruang pembebasan ekonomi. Untuk bidang kesehatan, kewirausahaan bahkan bisa menjadi instrumen memperluas akses layanan, meningkatkan kualitas edukasi kesehatan, dan menyediakan solusi inovatif bagi masyarakat.
Apa yang harus dilakukan agar Indonesia tidak tertinggal?
Pertama, pemerintah perlu menyediakan ekosistem yang lebih bersahabat bagi pengusaha pemula: perizinan yang mudah, pajak yang ringan, program pendampingan usaha, dan akses permodalan yang tidak menyulitkan. Perbankan perlu memperluas skema pinjaman tanpa agunan. Pengusaha besar dapat menjadi mentor UMKM kesehatan agar tidak sendirian memulai langkah.
Kedua, perguruan tinggi kesehatan perlu mengubah pendekatan dalam mengajar kewirausahaan. Mata kuliah ini tidak boleh berhenti sebagai teori, tetapi harus menjadi ruang praktik yakni mahasiswa harus membangun ide, memvalidasi pasar, membuat prototipe usaha, dan mempresentasikannya. Di Poltekkes Kemenkes Semarang, saya melihat kecenderungan yang menggembirakan, semakin banyak mahasiswa mulai menciptakan produk herbal kesehatan, layanan edukasi kesehatan, hingga usaha pangan fungsional. Ini adalah langkah awal yang perlu dirawat.
Ketiga, keluarga harus membuka ruang bagi anak-anaknya untuk mengenal dunia usaha, tidak sekadar mendorong mereka menjadi pencari kerja. Pemahaman bahwa menjadi pengusaha adalah profesi mulia perlu ditanamkan sejak kecil.
Kewirausahaan adalah jalan panjang, namun memberi peluang besar. Jalan ini bukan hanya membuka kesempatan bagi seseorang untuk hidup sejahtera, tetapi juga memberi dampak luas. Pengusaha di bidang kesehatan misalnya, dapat memperbaiki kualitas hidup masyarakat melalui inovasi layanan dan edukasi kesehatan.

