
Pemerintahmelalui Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) baru-baru ini meluncurkan Program Digitalisasi Pembelajaran untuk Indonesia Cerdas. Melalui program ini, sekolah diharapkan mengadopsi kelas digital, perangkat pintar, dan materi pembelajaran berbasis teknologi. Sebelumnya, pemerintah juga mendorong kehadiran kompetensi Koding dan Kecerdasan Buatan (KKA) sebagai bagian kurikulum masa depan. Inisiatif ini memang sangat ambisius dan pada banyak aspekmenjanjikan kesempatan baru bagi dunia pendidikan Indonesia di era transformasi digital.
Tak bisa dipungkiri, kelas digitalmenawarkan sejumlah keunggulan, antara lain visual interaktif, animasi, serta simulasi yang membantu murid memahami konsep abstrak dengan lebih konkret. Misalnya dalam pembelajaran sains atau matematika, rumus dan konsep yang rumit dan abstrak bisa dijelaskan melalui animasi atau interaksi digitalsehingga lebih mudah dipahami oleh murid.
Koding dan kecerdasan buatan atau ArtificialIntellingence (AI) mengasah logika, kreativitas,serta mempersiapkan murid menghadapi tuntutan dunia kerja yang semakin digital. Bagi banyak sekolah, utamanya yang berada di kota besar, teknologi ini bisa menjadi jembatan menuju pembelajaran modern, relevan, dan berpihak pada masa depan.
Tetapi apakah kehadiran kelas digital otomatis menjamin pendidikan yang berkualitas? Pengalaman di banyak sekolah menunjukkan tidak selalu demikian. Smart TV, tablet, Chromebook, atau LCD projektor kelas bisa berdebu tanpa diarahkan dengan bijak. Di banyak tempat, guru-gurunya belum punya kompetensi memadai dalam mendesain konten digital, memfasilitasi interaksi bermakna, atau menuntun murid berpikir kritis—bukan sekadar menonton presentasi. Maka alat canggih pun bisa berubah menjadi papan pajangan. Tanpa smartpeople,teknologi hanyalah ‘hiasan modern’ tanpa makna substansial.
Belum lagi risiko kebiasaan belajar instan. Murid terbiasa menerima jawaban cepat, bukan menggali permasalahan lebih dalam. Bila AI digunakan terbatas sebagai alat bantu menyelesaikan tugas, bukan memperdalam pemahaman, maka pelajaran KKA bisa berakhir sebagai latihan teknis semata bukan pendidikan karakter dan nalar. Dengan demikian, muncul pertanyaan mendasar: apakah kita membentuk generasi yang paham teknologi, atau sekadar generasi yang cakap menekan tombol?
Transformasi digital tidak boleh membuat kita kehilangan orientasi nilai. Murid-murid harus tumbuh tidak hanya pintar menggunakan teknologi, tetapi juga bermoral, berkarakter, dan responsif terhadap lingkungan sosialnya. Pendidikan harus tetap menanamkan dan menumbuhkan empati, tanggung jawab sosial, serta kemampuan memecahkan masalah nyata di komunitas mereka, bukan hanya memecahkan soal matematika di layar atau di atas kertas. Smarttechnology hanyalahsalah satu sisi; satu sisi lainnya harus diisi oleh smartpeopleyaitu guru dan orang tua yang terdidik, berintegritas, dan memiliki visi membangun manusia seutuhnya.
Akhirnya, kualitas pendidikan ditentukan oleh seberapa mendalam murid belajar dan sejauh mana guru mengajar dengandengan penuh dedikasi. Teknologi bukan ukuran utamanya. Bahkan lewat sebuah papan tulis dan sebuah spidol bisa memberi pembelajaran bermutu jika gurunyaberkompeten (smart)dan muridnya terlibat aktif dalam pembelajaran.
Di sekolah yang fasilitasnya sederhana, tetapi guru-gurunya berdedikasi, kita sering menemukan diskusi membangun, pemikiran kritis, dan pemahaman mendalam, yang tentunya hal-hal yang tidak bisa digantikan perangkat pintar. Oleh karena itu, digitalisasi seharusnya menjadi pelengkap, bukan poros utama.
Kelas digital, AI, dan materi modern bisa menjadi lompatan penting bagi pendidikan Indonesia, asalkan disertai dengan pembangunan kapasitas guru, budaya belajar mendalam, dan penanaman nilai-nilai humanisme. Jika tidak maka teknologi sekadar kosmetik, dan masa depan pendidikan kita tetap di ambang ketidakpastian. Pemerintah, sekolah, orang tua, dan masyarakat harus bersama-sama memastikan bahwa transformasi bukan hanya soal perangkatnya, tetapi soal membentuk manusia, bukan mesin.
Karena pada akhirnya, pendidikan sejati bukanlah sekadar soal seberapa pintar teknologi yang kita miliki, tetapi seberapa mendalam kita belajar, dan seberapa bijak kita menggunakan ilmu itu untuk kebaikan bersama.
