Oleh : DEVI (Aktivis Muslimah)
Lonjakan angka perceraian di Kabupaten Tanah Bumbu beberapa tahun terakhir menjadi alarm bagi kondisi ketahanan keluarga di daerah tersebut. Tercatat 760 perkara sejak Januari hingga 17 November 2025. Jumlah ini sudah melampaui total 681 perkara sepanjang tahun 2024. Dari total perkara tersebut, 183 merupakan cerai talak dan 577 cerai gugat (radarbanjarmasin, 20/11/25). Hal serupa tergambar secara nasional bahwa di Indonesia tren perceraian terus naik sejak 2019 hingga 2022 (brin, 13/11/25).
Keluarga merupakan unit sosial terkecil yang terbentuk melalui janji/ akad nikah antara laki-laki dan perempuan yang bertujuan untuk menciptakan ketenangan, cinta, dan kasih sayang (sakinah, mawaddah, wa rahmah). Fenomena perceraian yang meningkat memberikan tanda bahwa institusi keluarga sedang mengalami keretakan serius. Ketika perceraian terjadi maka hal tersebut menggambrakan rumah tangga tidak lagi menjadi ruang aman bagi anggota keluarga tersebut hingga seluruh struktur sosial akan ikut terguncang.
Fenomena meningkatnya perceraian di Tanah Bumbu tidak bisa dilepaskan dari cara sistem sekuler memandang keluarga, pernikahan, dan hubungan manusia. Dalam sistem sekuler, agama dipisahkan dari pengaturan kehidupan, sehingga nilai moral tidak bersumber dari wahyu, tetapi dari kepentingan, standar sosial, dan preferensi individu. Pertama, konflik ekonomi menjadi salah satu penyebab utama cerai gugat maupun cerai talak. Kedua, gaya hidup sekuler-liberal menormalisasi perselingkuhan dan hedonisme. Ketiga, lemahnya ikatan nilai dan moral keluarga.
Akibatnya, ketahanan keluarga rapuh karena tidak ada nilai sakral yang melandasinya. Keempat, negara sekuler berperan pasif. Negara hanya hadir saat perceraian terjadi sebagai fasilitator administratif, bukan sebagai penjaga ketahanan keluarga. Kelima, normalisasi perceraian melalui narasi modern, misalnya perempuan dianggap mandiri jika lepas dari pernikahan dan media menggambarkan cerai sebagai solusi instasn. Narasi ini mempercepat meningkatnya angka perceraian, terutama cerai gugat. Kenaikan angka perceraian di Tanah Bumbu adalah gejala dari masalah yang lebih dalam: runtuhnya ketahanan keluarga akibat sistem sekuler dan gaya hidup kapitalistik. Analisa sekuler mungkin mampu menjelaskan faktor sosial dan ekonomi tetapi tidak dapat menyelesaikan akar masalahnya, yaitu absennya sistem nilai yang membimbing keluarga sesuai fitrah manusia.
Islam memandang keluarga sebagai institusi suci yang harus dijaga, bukan kontrak sosial yang bisa dibubarkan sesuka hati. Dalam Khilafah, negara, masyarakat, dan individu memiliki peran sinergis menjaga ketahanan keluarga. Solusi berdasarkan Islam : Pertama, Pendidikan pra nikah berbasis akidah syariah. Kedua, kewajiban nagkah dijami oleh negara. Ketiga, larangan tegas terhadap pergaulan bebas dan pornografi. Keempat, mekanisme penyelesaian konflik rumah tangga. Kelima, negara menjalankan peran pembina masyarakat. Islam melalui institusi khilafah menghadirkan solusi menyeluruh. Karena hanya Islam yang membangun keluarga bukan sekadar “kontrak sosial,” tetapi sebagai ibadah dan pondasi peradaban. Dengan kembali kepada syariah secara total, perceraian dapat dicegah dari akarnya dan keluarga dapat menjadi benteng bagi keharmonisan masyarakat.

