Oleh: Nor Aniyah, S.Pd. (Penulis, Pemerhati Masalah Sosial dan Generasi.)
Kerusakan Parah di Beutong Ateuh Banggalang, Nagan Raya, akibat banjir dan longsor. (foto: mb/humas aceh)
Berbagai bencana kembali melanda sejumlah wilayah di Indonesia. Dalam dua hari terakhir, tiga daerah di Provinsi Sulawesi Tengah—Tolitoli, Morowali Utara, dan Buol—mengalami banjir, angin puting beliung, hingga abrasi pantai akibat cuaca ekstrem. Kepala Pelaksana BPBD Sulteng, Akris Fattah Yunus, menyatakan bahwa seluruh laporan sedang ditangani. Namun, kenyataannya, banyak warga masih terjebak, rumah-rumah rusak, dan proses evakuasi berjalan tersendat akibat cuaca buruk, medan sulit, serta minimnya personel.
Di Tolitoli, puting beliung yang terjadi pada Sabtu (22/11), sekitar pukul 11.30 WITA, merusak rumah warga di Desa Dadakitan, Dusun Daleg, Kecamatan Baolan. Di Morowali Utara, banjir yang melanda Desa Saemba pada Kamis (20/11) menyebabkan sedikitnya 12 rumah terendam dan 30 jiwa terdampak. Hingga malam hari, air masih menggenangi desa tersebut.
Sementara itu, di Agam, Sumatera Barat, lima kecamatan dilanda banjir bandang, longsor, pohon tumbang, serta jalan amblas setelah curah hujan ekstrem pada 22–23 November. Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik BPBD Agam, Abdul Ghapur, melaporkan bahwa bencana tersebut berasal dari derasnya hujan disertai angin kencang (cnnindonesia.com).
Rangkaian bencana ini memperlihatkan pola yang berulang: bencana datang silih berganti, tetapi penanganannya hampir selalu lamban, reaktif, dan insidental. Kita seolah hanya menunggu bencana berikutnya, lalu merespons dengan pola yang sama—evakuasi darurat, bantuan seadanya, konferensi pers, dan janji evaluasi—tanpa upaya serius memperbaiki akar masalah.
Bencana yang “Alami”, Namun Sering Kali Buatan Manusia
Perubahan iklim memang memperparah cuaca ekstrem. Namun banyak bencana di Indonesia sebenarnya bukan murni fenomena alam. Ia berkaitan erat dengan kerusakan tata kelola ruang, perambahan hutan, eksploitasi tambang, alih fungsi lahan, dan pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan. Sungai kehilangan daerah resapan karena ditebang dan dijadikan permukiman. Gunung dan lembah ditambang tanpa kendali. Pantai tak lagi memiliki vegetasi pelindung. Sawah berubah menjadi kawasan industri atau properti.
Ketika curah hujan tinggi datang, wilayah yang seharusnya menyerap air malah memantulkannya, memaksa air meluap, mengalir deras, dan menghantam pemukiman. Longsor mudah terjadi karena tanah tak lagi memiliki akar pohon yang mengikat. Puting beliung semakin sering muncul karena ketidakseimbangan suhu dan kelembapan di berbagai wilayah akibat perubahan vegetasi dan tata ruang.
Artinya, bencana alam sering kali lahir dari bencana tata kelola. Dan tata kelola itu adalah buah sistem yang membolehkan eksploitasi alam demi kepentingan ekonomi jangka pendek.
Penanganan Lamban, Bukti Lemahnya Sistem Mitigasi
BNPB dan BPBD bekerja keras, tetapi kerja keras tidak cukup jika sistem yang menopangnya rapuh. Saat bencana datang, masalah yang muncul hampir selalu sama: personel kurang, alat evakuasi terbatas, akses jalan rusak atau minim perbaikan, peringatan dini tidak efektif, koordinasi pusat dan daerah sering tersendat.
Selain itu, kebijakan mitigasi masih bersifat parsial, tidak terintegrasi, dan minim evaluasi jangka panjang. Pemerintah sering menekankan respons darurat, tetapi mengabaikan kerja pencegahan. Padahal, dalam manajemen bencana modern, pencegahan yang kuat dapat menekan angka korban hingga 80 persen.
Bencana pun tetap menjadi peristiwa yang datang tiba-tiba, meski pola cuaca, curah hujan, dan kerentanan kawasan dapat diprediksi. Realitas ini menunjukkan bahwa negara belum menempatkan keselamatan rakyat sebagai prioritas strategis.
Paradigma Islam dalam Melihat Bencana
Allah SWT berfirman: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia; supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”(QS. Ar-Rum: 41).
Islam menawarkan paradigma yang komprehensif dalam menyikapi bencana, mencakup dua dimensi: ruhiyah dan siyasiyah. Pertama, dimensi ruhiyah. Umat dipahamkan bahwa bencana adalah bagian dari ketentuan Allah SWT—bisa berupa ujian, peringatan, atau konsekuensi dari ulah manusia merusak alam. Al-Qur’an menjelaskan bahwa kerusakan yang tampak di darat dan laut adalah akibat tangan manusia. Edukasi yang benar akan menjauhkan masyarakat dari perilaku destruktif, sekaligus menguatkan ketakwaan dalam menghadapi musibah.
Kedua, dimensi siyasiyah. Ini adalah dimensi yang paling sering diabaikan negara sekuler modern. Islam menempatkan pemimpin negara sebagai pihak yang bertanggung jawab langsung terhadap keamanan, keselamatan, dan kelangsungan hidup rakyat. Dalam hal bencana, negara Khilafah wajib menyediakan: mitigasi yang komprehensif, pemetaan wilayah rawan, penataan ruang berbasis syariat, pengendalian eksploitasi alam, sistem peringatan dini yang efektif, evakuasi cepat dan profesional, bantuan menyeluruh hingga penyintas pulih.
Pada Masa Khalifah Al-Mu’tadid, Sungai Tigris pernah meluap dan mengancam kota Baghdad. Kebijakan Al-Mu’tadid, yaitu: mengirim insinyur dan pekerja untuk memperkuat tanggul darurat, menggali kanal-kanal pembuangan untuk mengalihkan air banjir, membebaskan dana besar dari Baitul Mal untuk proyek penguatan sungai, serta evakuasi cepat bagi warga yang tinggal di daerah rawan. Ini menunjukkan bagaimana khalifah memprioritaskan keselamatan rakyat.
Negara dalam Islam bukan hanya memberi bantuan berupa logistik, tetapi memastikan rakyat tidak kembali hidup dalam kerentanan yang sama. Perbaikan rumah, relokasi, pembangunan infrastruktur, dan pemulihan ekonomi dilakukan tanpa menjadikan bencana sebagai komoditas anggaran.
Islam: Mengelola Alam dengan Amanah, Bukan Eksploitasi
Kunci paradigma Islam terletak pada konsep amanah. Kekuasaan bukan alat memperkaya elite atau melayani kepentingan korporasi, tetapi tanggung jawab untuk menjaga kehidupan manusia. Karena itu, syariat mengatur dengan rinci tata kelola lahan, hutan, air, dan sumber daya alam. Eksploitasi masif, pembukaan hutan demi industri, atau tambang tanpa batas tidak diperbolehkan, sebab akan mengundang kerusakan dan mengancam nyawa umat.
Berbagai bencana yang terus berulang seharusnya menjadi alarm keras bahwa negara membutuhkan paradigma baru dalam mengelola ruang hidup. Selama sistem yang dipakai masih sekuler-kapitalistik—yang memisahkan agama dari kebijakan publik dan menjadikan alam sebagai objek eksploitasi—maka bencana akan selalu datang dan penanganannya selalu terlambat.
Islam menawarkan konsep komprehensif, adil, dan preventif—baik dari sisi spiritual, sosial, maupun kebijakan negara. Sebuah sistem yang tidak hanya menolong saat bencana terjadi, tetapi mencegah bencana itu muncul sejak awal.[]

