
Tragedi ekologis di Sumatera membuka jendela gelap tentang bagaimana negara bekerja, bukan sebagai pelindung, melainkan sebagai mesin kekuasaan yang mempertahankan dirinya sendiri. Ratusan manusia meregang nyawa, ribuan kehilangan rumah, dan desa-desa lenyap dari peta. Namun negara menolak mengakui status bencana nasional, seolah tragedi itu hanya gangguan kecil bagi stabilitas narasi pembangunan.
Dalam situasi semacam ini, pertanyaan yang selama ini dianggap tabu muncul kembali dengan lebih lantang:
Jika negara tak lagi menjalankan mandat moralnya, apa yang sebenarnya tersisa dari Pancasila?
Bagaimana mungkin sebuah negara menyebut dirinya “berketuhanan”, “berkemanusiaan”, dan “berkeadilan sosial” ketika ia bahkan enggan mengakui pekatnya duka rakyat sebagai bencana?
Negara yang Menolak Mengakui Luka Rakyatnya
Dalam teori representasi modern seperti yang dibahas dalam buku yang berjudul Representation in Crisis: The constitution, interest groups, and political partiesoleh Ryden, D. K. (1996) dan karya yang ditulis oleh Salisbury, R. H. (1984) pada buku yang berjudul Interest representation: The dominance of institutions, menjelaskan bahwa negara pada titik tertentu dapat berhenti menjadi representasi rakyat dan bertransformasi menjadi regime interest-based,yaitu sebuah struktur yang bekerja terutama untuk kepentingan kelompok kecil dengan akses kekuasaan(Salisbury, 1984; Ryden, 1996).
Penolakan penetapan status bencana nasional bukan hanya keputusan administratif, melainkan penyangkalan terhadap kegagalan struktural. Pengakuan status itu berarti membuka pintu bagi evaluasi menyeluruh terhadap:
·tata kelola lingkungan,
·jejaring perizinan dan konsesi,
·relasi negara terhadap korporasi,
·serta akumulasi kekuasaan ekonomi-politik yang mengitari elite.
Karena itu, keengganan negara bukan sekadar kelalaian, tetapi pilihan politik. Diam berarti aman. Diam berarti kepentingan tak terganggu. Diam berarti narasi pembangunan tetap murni di mata publik.
Namun diam juga berarti satu hal lagi, yaitu:
Negara telah berhenti mendengar jeritan rakyatnya.
Ketika Ekologi Diperdagangkan, Manusia Menjadi Sampingan
Kerusakan ekologis di Sumatera bukanlah bencana alam semata, melainkan akumulasi panjang dari kebijakan ekstraktif. Studi WALHI, CIFOR, dan berbagai riset akademik menunjukkan bahwa ekspansi perkebunan sawit, tambang batubara, dan pembalakan hutan adalah penyumbang terbesar terhadap kerentanan banjir dan longsor(Abubakar, Ishak and Makmom, 2021; Lubis, Linkie and Lee, 2024).
Dalam paradigma developmentalism yang dominan sejak Orde Baru, kemajuan direduksi menjadi:
·volume investasi,
·panjang jalan baru,
·jumlah konsesi industri,
·dan grafik pertumbuhan kuartalan.
UU Cipta Kerja menjadi penanda paling telanjang dari ideologi tersebut. Penelitian seperti Wibisana, K. (2025) menegaskan bahwa omnibus law itu merupakan bagian dari “politik akumulasi” yang menggeser negara dari pelindung publik menjadi fasilitator modal(Wibisana, 2025). Prosedur pembuatan yang minim deliberasi memperlihatkan bagaimana DPR memilih posisi sebagai notaris kepentingan modal.Publik pun wajar bertanya:
Apakah hukum masih melindungi manusia, atau kini manusialah yang harus tunduk pada hukum yang memihak modal?
Republik Pencitraan
Setiap tragedi memperlihatkan watak asli kekuasaan. Alih-alih hadir dengan empati, sejumlah pejabat tampil dengan pujian hiperbolik kepada penguasa, bahkan saat warga masih berkabung. Adegan bupati yang memuja Presiden di tengah lokasi pengungsian bukan sekadar tindakan individu, bahwa itu adalah gejala struktural dari politics of performativity(Rose, 2002; Reed, 2013).
Teori political personalization menjelaskan bahwa dalam demokrasi elektoral modern, pejabat semakin terdorong untuk menunjukkan kesetiaan simbolik, bukan kinerja(Caprara, 2007; Garzia, 2011). Dalam konteks Indonesia, fenomena ini diperparah oleh:
·Logika patronase, yang membuat pejabat daerah bergantung pada pusat untuk akses anggaran.
·Ekosistem buzzer, yang berfungsi bukan untuk menyampaikan informasi, tetapi untuk membentuk persepsi.
·Komodifikasi duka, di mana lokasi bencana menjadi latar ideal untuk pencitraan kemanusiaan.
Adapun dalam buku yang berjudul Social Media and Opinion Formation Through Buzzers, dan artikel penelitian yang berjudul Penggunaan Buzzer dalam Hegemoni Pemerintahan Joko Widodotelah menyingkap bagaimana struktur buzzer bekerja secara terorganisasi, yaitu membungkam kritik, memviralkan pujian, dan memaksakan narasi pemerintah telah bekerja keras(Abbiyyu and Nindyaswari, 2022; Budiawan, n.d.).
Maka tragedi pun berubah menjadi panggung. Puing-puing rumah menjadi dekorasi. Rakyat yang kehilangan anaknya menjadi figur tambahan. Duka menjadi konten.Dan publik pun mulai bertanya:
apa arti Pancasila jika pejabat lebih sibuk memuja kekuasaan daripada memulihkan kehidupan warganya?
Ketika Pancasila Tidak Lagi Dihayati
Pancasila menjadi mantra yang sering diucapkan tetapi jarang diwujudkan. Dalam Civic Virtue Theory, nilai publik hanya hidup jika dipraktikkan secara konsisten oleh pemegang kekuasaan(Audi, 1998).Namun bagaimana rakyat percaya bahwa Pancasila masih hidup ketika:
· air mata warga tak cukup untuk menggerakkan negara,
· tanah ulayat digusur demi konsesi,
· hutan ditebang demi ekspansi industri,
· dan hak rakyat diperlakukan sebagai hambatan pembangunan?
Ketika nilai-nilai dasar bangsa tidak lagi dihayati, Pancasila turun derajat menjadi ornamen kekuasaan, bukan pedoman moral negara.Dan di sinilah muncul pertanyaan:
Jika negara tak lagi mempraktikkan Pancasila, siapa sesungguhnya yang mengkhianati ideologi bangsa—rakyat atau pemerintahannya?
Revolusi Senjata?
Kekecewaan publik sering melahirkan kata-kata keras, yaitu revolusi, kudeta, penggulingan kekuasaan. Namun sejarah politik, dari Eropa Timur hingga Korea Selatan, menunjukkan bahwa perubahan yang langgeng lahir dari shifts in moral legitimacy, bukan dari kekerasan.
Negara dapat bertahan dengan hukum.
Tetapi negara runtuh ketika kehilangan legitimasi moral.
Hari ini, erosi legitimasi itu terlihat:
di media sosial,
di ruang publik,
di desa-desa yang kehilangan keluarga,
dan di kota-kota yang mulai merasakan bahwa bencana ekologis tak lagi jauh.
Yang dibutuhkan bukan mengganti ideologi, melainkan mengambil kembali Pancasila dari tangan mereka yang menjadikannya slogan untuk menutupi kegagalan.
Ini bukan revolusi untuk menghancurkan negara.
Ini revolusi untuk memulihkan negara.
Revolusi etika.
Revolusi keberanian.
Revolusi warga untuk menuntut negara kembali menjadi milik publik.
Penutup
Bencana Sumatera memperlihatkan bagaimana negara kini beroperasi, yaitu mempertahankan stabilitas politik, melindungi jejaring bisnis, dan mengatur persepsi melalui pencitraan dan buzzer. Namun nilai-nilai bangsa tidak lahir dari istana, namun nilai itu lahir dari rakyat.
Jika negara gagal menjalankan Pancasila, itu bukan berarti Pancasila mati.
Itu berarti rakyatlah yang kini harus menjadi penjaga terakhirnya.
Karena ideologi hanya hidup sejauh ia diwujudkan.
Dan bila negara berhenti merawatnya, rakyatlah yang harus mengambil alih tugas itu.

