
Lonjakan angka perceraian di Kabupaten Tanah Bumbu dalam beberapa tahun terakhir seharusnya menjadi alarm keras bagi kita semua. Ini bukan semata persoalan statistik pengadilan agama, tetapi sinyal bahwa fondasi sosial paling dasar—keluarga—sedang mengalami retakan yang mengkhawatirkan. Ketika rumah tangga tidak lagi mampu menjadi ruang aman bagi anggotanya, seluruh struktur sosial otomatis ikut terguncang.
Peningkatan perceraian di Tanah Bumbu juga menunjukkan bagaimana persoalan ini tidak berdiri sendiri; ia terkait erat dengan cara hidup, pilihan nilai, dan sistem yang membentuk perilaku masyarakat. Laporan dari berbagai lembaga dan pemberitaan setempat mengonfirmasi bahwa penyebabnya berlapis: mulai dari konflik ekonomi, gaya hidup hedonistik, perselingkuhan, hingga judi online yang kini menjadi faktor dominan (smartbanua.com, 21/11/2025; radarbanjarmasin.jawapos.com, 20/11/2025; prokal.co, 21/11/2025). Fenomena ini menegaskan bahwa problem rumah tangga tidak hanya terjadi pada ranah privat, tetapi dipengaruhi oleh arus besar kehidupan sosial yang terus berubah.
Di balik semua itu, ada persoalan yang lebih mendasar: rapuhnya nilai yang menjadi pengikat keluarga. Dalam kerangka hidup sekuler yang memisahkan agama dari pengaturan keseharian, keluarga sering diposisikan hanya sebagai hubungan kontraktual. Ketika nilai moral tidak lagi bersumber dari wahyu, standar hidup pun bergeser mengikuti kepentingan, tekanan ekonomi, dan preferensi individual. Dalam suasana seperti ini, ikatan pernikahan kehilangan kesakralannya. Komitmen dianggap bisa diputus kapan saja ketika salah satu pihak merasa tidak nyaman atau tidak puas.
Dampaknya terlihat jelas. Pertama, konflik ekonomi menjadi pemicu banyak cerai gugat dan cerai talak. Ketika tekanan finansial meningkat dan nilai ketangguhan keluarga melemah, persoalan kecil bisa membesar dan sulit diselesaikan. Kedua, gaya hidup sekuler-liberal menormalisasi perselingkuhan, pergaulan bebas, dan hedonisme, membuat kesetiaan dan komitmen dianggap sebagai beban, bukan prinsip. Ketiga, lemahnya pendidikan nilai dan moral membuat keluarga kehilangan pegangan. Keempat, negara hadir secara minimalis dan hanya bertindak sebagai fasilitator administratif ketika perceraian terjadi, bukan sebagai penjaga ketahanan keluarga. Kelima, narasi modern yang mempopulerkan perceraian sebagai bentuk “kemandirian”—khususnya pada perempuan—tanpa disertai pemahaman konsekuensi jangka panjang, turut mempercepat angka cerai gugat.
Kerangka analisis sosial modern sebenarnya mampu memetakan faktor ekonomi, budaya, atau psikologis, tetapi tetap tidak menyentuh akar masalahnya. Berbagai kajian mengakui bahwa keretakan keluarga berhubungan erat dengan hilangnya sistem nilai yang stabil dan bersumber pada tujuan hidup yang jelas. Tanpa nilai yang kokoh, keluarga mudah terombang-ambing oleh tekanan zaman, arus media, dan gaya hidup instan.
Di sinilah perspektif Islam menawarkan pendekatan yang lebih komprehensif. Dalam pandangan Islam, keluarga bukan sekadar perjanjian sosial, tetapi institusi suci yang menjadi fondasi peradaban. Ikatan pernikahan dipahami sebagai ibadah, bukan hanya kerja sama antarindividu. Karena itu, negara, masyarakat, dan individu memiliki tanggung jawab sinergis dalam menjaga ketahanan keluarga.
Solusinya bersifat sistemik dan preventif. Pendidikan pra nikah berbasis akidah syariah memastikan calon suami dan istri memahami tujuan pernikahan, tanggung jawab, dan mekanisme penyelesaian konflik. Negara berkewajiban menjamin nafkah sehingga beban ekonomi rumah tangga tidak merusak stabilitas keluarga. Pergaulan bebas, pornografi, dan praktik yang merusak moral ditegakkan larangannya demi melindungi masyarakat. Mekanisme mediasi rumah tangga dilakukan secara serius sebelum perceraian diproses. Di saat yang sama, negara menjalankan fungsi pembinaan sosial yang memastikan masyarakat tumbuh dalam atmosfer nilai yang sehat dan sesuai fitrah manusia.
Kenaikan angka perceraian di Tanah Bumbu bukan hanya fenomena lokal; ia adalah gejala dari problem yang lebih dalam: runtuhnya ketahanan keluarga dalam sistem yang sekuler dan kapitalistik. Selama keluarga dipahami sebagai hubungan fungsional yang bisa dibubarkan kapan saja, problem ini tidak akan menemukan titik penyelesaian.
Islam, melalui visi peradaban yang komprehensif, memberikan fondasi nilai yang memuliakan pernikahan dan melindungi keluarga dari berbagai ancaman. Dengan kembali kepada syariah secara menyeluruh—bukan parsial—pencegahan perceraian dapat dilakukan sejak akarnya. Ketahanan keluarga akan tumbuh kembali, bukan sebagai retorika program, tetapi sebagai kenyataan hidup yang membentuk harmoni masyarakat.

