Mata Banua Online
Selasa, Desember 2, 2025
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper
Mata Banua Online
No Result
View All Result

Mandat Rakyat yang Terhenti di Meja MK

by Mata Banua
2 Desember 2025
in Opini
0
D:\2025\Desember 2025\3 Desember 2025\8\opini Rabu\Ahmad Mukhallish Aqidi Hasmar.jpg
Ahmad Mukhallish Aqidi Hasmar

Permohonan uji materi atas Pasal 239 Undang-Undang MD3 yang diajukan kelompok mahasiswa ke Mahkamah Konstitusi pada November 2025 menghadirkan momentum penting dalam perjalanan ketatanegaraan Indonesia. Untuk pertama kalinya, sebuah pertanyaan yang sering muncul dalam percakapan akademis mendapatkan ruang untuk dinilai secara yuridis: sejauh mana rakyat memiliki peran dalam menjaga kualitas wakil yang mereka pilih. Pertanyaan itu akhirnya diputus, dan Mahkamah memilih mempertahankan norma yang berlaku. Keputusan ini menutup pintu perubahan melalui jalur pengujian undang-undang, tetapi membuka percakapan yang lebih luas mengenai desain representasi politik Indonesia.

Pasal 239 ayat (2) UU MD3 menetapkan bahwa pemberhentian antarwaktu anggota DPR hanya dapat diusulkan partai politik. Norma tersebut menempatkan kendali evaluasi sepenuhnya pada struktur internal partai. Sementara itu, pemilih yang memberikan mandat pada hari pemungutan suara tidak memperoleh jalur formal untuk menyampaikan penilaian atas kinerja wakilnya sepanjang masa jabatan. Kondisi ini lama menjadi sorotan akademisi karena menciptakan celah akuntabilitas dalam desain representasi kita, dan putusan Mahkamah belum menjawab persoalan tersebut.

Berita Lainnya

D:\2025\Desember 2025\3 Desember 2025\8\opini Rabu\nanang qosim.jpg

Belajar dari Bencana

2 Desember 2025
D:\2025\Desember 2025\3 Desember 2025\8\opini Rabu\Erwin Prastyo.jpg

Membangun Literasi, Teladan Bukan Paksaan!

2 Desember 2025

Generasi yang membawa perkara ini tumbuh dalam lingkungan digital yang penuh dengan nilai keterbukaan, respons cepat, dan penilaian publik yang berlangsung terus-menerus. Setiap layanan publik kini menyediakan kanal ulasan dan pengaduan. Ketika pola ini berkembang di berbagai aspek kehidupan, relasi satu arah antara pemilih dan wakil terasa tertinggal. Pemilih hanya memiliki satu kesempatan dalam lima tahun untuk menyampaikan persetujuan atau ketidaksetujuan, sehingga suara pada hari pemilu perlahan kehilangan peran sebagai alat koreksi.

Arif Adiputro dari Indonesian Parliamentary Center menyampaikan bahwa pemilih layak mendapatkan ruang evaluatif yang berjalan sepanjang masa jabatan. Pernyataan tersebut menegaskan kembali bahwa Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 meletakkan kedaulatan di tangan rakyat. Ketika jalur evaluasi tidak tersedia, konsep kedaulatan berubah menjadi gagasan abstrak tanpa instrumen yang memadai dalam praktik. Putusan Mahkamah meneguhkan status quo, tetapi tidak menutup kebutuhan publik terhadap saluran koreksi yang selaras dengan semangat konstitusi.

Ketidakseimbangan Representasi dan Kekosongan Koreksi

Dalam praktik politik, partai sering menjadi satu-satunya poros penentu arah karier legislator. Loyalitas internal tumbuh lebih kuat daripada suara konstituen yang mengantarkan mereka ke parlemen. Violla Reininda dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia mengingatkan melalui contoh seorang pimpinan DPR yang mengabaikan etika lembaga tanpa langkah korektif dari internal partai. Situasi ini memperlihatkan rapuhnya jalur pengawasan publik ketika partai memilih diam dan pemilih tidak memperoleh instrumen hukum untuk menilai wakilnya.

Dalam teori representasi, mandat politik ialah relasi yang terjalin dari waktu ke waktu. Suara masyarakat pada hari pemilu hanyalah titik awal. Sepanjang masa jabatan, wakil masyarakat di parlemen seharusnya menjaga kesesuaian antara tindakan politik dan aspirasi daerahnya. Ketika hubungan evaluatif tidak tersedia, representasi berubah menjadi relasi yang hanya bergantung pada imbauan moral tanpa mekanisme korektif.

Putusan Mahkamah terhadap Pasal 239 menegaskan bahwa perubahan mekanisme tidak datang melalui pengujian yudisial. Keputusan tersebut tidak mengakhiri substansi debat, justru memperlihatkan perlunya jalur legislasi untuk menata ulang relasi antara rakyat, wakil, dan partai.

Mekanisme Recall dan Pelajaran dari Negara Lain

Diskusi mengenai recall sering disertai kekhawatiran akan potensi gangguan stabilitas politik. Namun pengalaman dari beberapa negara memberikan gambaran lebih lengkap. Recall dapat berjalan melalui prosedur ketat yang menjaga keseimbangan antara hak publik dan kelangsungan pemerintahan.

California mensyaratkan petisi recall memperoleh dukungan minimal 25 persen pemilih. Ambang tersebut memastikan recall hanya terjadi setelah memperoleh legitimasi publik yang luas. Di Britania Raya, recall diterapkan bagi anggota parlemen yang menghadapi pelanggaran etik signifikan. Kolombia menetapkan dukungan minimal 30 persen pemilih untuk memulai proses recall kepala daerah. Peru menghadapi ribuan proses recall selama dua dekade, dan stabilitas tetap terjaga karena prosedur yang konsisten.

Pelajaran dari berbagai yurisdiksi ini menunjukkan bahwa recall dapat menjadi mekanisme korektif yang menjaga hubungan representasi tetap aktif. Ambang dukungan tinggi dan verifikasi independen menjadi pengaman agar recall tidak disalahgunakan. Rancangan yang hati-hati memungkinkan rakyat menjaga kualitas mandat tanpa menimbulkan gangguan besar terhadap penyelenggaraan negara.

Dalam konteks Indonesia, mekanisme recall perlu disesuaikan dengan karakter politik nasional. Prinsip utamanya terletak pada penyediaan ruang evaluatif bagi masyarakat melalui jalur yang dapat dipertanggungjawabkan. Setelah putusan Mahkamah, kebutuhan publik terhadap desain evaluasi tetap hadir dan menunggu arah baru dari pembentuk undang-undang.

Generasi yang mengajukan permohonan uji materi menyampaikan pesan jelas bahwa demokrasi memerlukan hubungan yang terus terjaga setelah hari pemilu. Suara rakyat memerlukan saluran koreksi agar tetap hadir dalam proses negara. Jika kursi DPR dipahami sebagai amanat masyarakat, maka masyarakat memerlukan instrumen untuk menjaga amanat itu sepanjang masa jabatan. Putusan Mahkamah menutup jalur judicialreview, tetapi membuka ruang bagi perdebatan publik untuk merancang representasi yang lebih adaptif dan lebih selaras dengan prinsip kedaulatan rakyat.

 

Mata Banua Online

© 2025 PT. Cahaya Media Utama

  • S0P Perlindungan Wartawan
  • Pedoman Media Siber
  • Redaksi

No Result
View All Result
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper