
Menjelang akhir tahun 2025, rangkaian bencana yang terjadi di Indonesia belakangan ini harus menggugah kesadaran kita sebagai bangsa untuk terus belajar dari bencana. Banjir dan tanah longsor melanda Aceh, Sumatera Utara (Sumut), hingga Sumatera Barat (Sumbar) hingga mengakibatkan ratusan orang meninggal dunia. Sebelumnya, di Jawa Tengah juga terjadi bencana longsor di Kabupaten Cilacap dan Banjarnegara, dan di Jawa Timur juga erupsi Gunung Semeru yang meluncurkan awan panas guguran ke permukiman warga juga memakan korban jiwa.
Artinya, saat ini wilayah di Indonesia sedang dalam “ancaman” banjir, tanah longsor, gempa, cuaca ekstrem, hingga meningkatnya aktivitas vulkanik di beberapa gunung. Dari bencana tersebut, ribuan warga harus mengungsi, infrastruktur rusak, akses transportasi terputus, dan berbagai aktivitas masyarakat terhenti. Dalam situasi seperti ini, muncul pertanyaan yang tidak mudah dijawab: mampukah kita tetap bersabar dan bersyukur ketika hidup kita diguncang oleh kesedihan dan ketidakpastian? Pertanyaan ini mungkin terasa berat, bahkan tidak masuk akal, tetapi justru penting direnungkan di tengah badai kehidupan yang datang tanpa diduga.
Pada dasarnya, manusia selalu menginginkan kehidupan yang stabil dan nyaman. Tidak ada yang berharap rumahnya terendam banjir, ladangnya tertutup abu vulkanik, atau keluarganya harus mengungsi ke tempat yang jauh dari rumah atau keluarganya ada yang gugur/meninggal dunia saat bencana tersebut. Kita ingin segala sesuatu berjalan sesuai harapan dan sesuai rencana yang telah kita susun. Namun hidup tidak selalu mengikuti keinginan kita. Kehidupan sering memberikan Y ketika kita menginginkan X. Perubahan, kegagalan, kehilangan, bahkan bencana, adalah bagian dari realitas yang tidak dapat kita kendalikan sepenuhnya. Ketika kenyataan tidak sesuai dengan ekspektasi, manusia sangat mudah larut dalam keluhan, amarah, bahkan keputusasaan.
Dalam kondisi penuh tekanan, sebagian orang mungkin memilih pelarian dengan mendzalimi diri sendiri, hiburan berlebihan, perilaku destruktif, atau melampiaskan emosi tanpa kendali. Namun semua itu tidak pernah memberikan solusi jangka panjang. Kemarahan tidak menghentikan banjir, pelarian tidak memulihkan kerusakan, dan tindakan emosional hanya menambah beban yang sudah berat. Justru pada saat paling sulit itulah kemampuan untuk tetap bersabar dan bersyukur menjadi penting. Sabar dan syukur bukan berarti menertawakan bencana atau menafikan rasa sakit. Sabar dan syukur adalah cara menjaga akal tetap jernih, hati tetap tenang, dan langkah tetap terarah. Ia membantu kita mengontrol emosi agar tidak terperosok dalam jurang putus asa.
Tuhan (Allah Swt) tidak pernah membebani kita di luar batas kemampuan. Kita dianugerahi akal, nurani, emosi, dan kekuatan spiritual yang bila dikelola dengan baik mampu membantu melewati masa-masa tersulit. Namun semua potensi itu hanya bekerja ketika hati tidak dipenuhi keluhan dan kemarahan yang berkepanjangan. Inilah sebabnya mengapa sabar dan syukur selalu menjadi kekuatan utama dalam menghadapi ujian hidup. Bencana, sesakit apa pun, mengingatkan kita bahwa manusia adalah makhluk yang terbatas, lemah dalam banyak hal, dan tidak pantas menyombongkan diri.
Namun kesadaran akan kelemahan manusia tidak cukup. Karena sebagian besar bencana yang terjadi tidak hanya disebabkan oleh dinamika alam, tetapi juga oleh tangan manusia. Hutan-hutan dibabat demi ekspansi ekonomi, kawasan resapan air diubah menjadi hunian dan pusat usaha, sungai dipenuhi sampah, dan limbah industri mencemari lingkungan tanpa kontrol. Ketika banjir atau longsor terjadi, kita mudah menunjuk satu sama lain, padahal kerusakan lingkungan adalah hasil dari kelalaian bersama. Pertumbuhan ekonomi memang penting, tetapi tidak boleh dibenarkan jika harus mengorbankan keseimbangan alam. Dampaknya bukan hanya menimpa pelaku perusakan, tetapi jutaan warga yang tak ikut mengambil keputusan apa pun.
Dibalik Setiap Bencana
Meski demikian, di balik setiap bencana selalu muncul sisi kemanusiaan yang menguatkan harapan. Ketika banjir melanda permukiman, atau ketika warga harus meninggalkan rumah karena ancaman erupsi, solidaritas sosial tumbuh dengan sendirinya. Bantuan makanan, pakaian, obat-obatan, dan dukungan moral datang tanpa memandang latar belakang. Relawan bekerja siang dan malam, lembaga sosial bergerak cepat, dan masyarakat dari berbagai wilayah ikut mengulurkan tangan. Inilah bukti bahwa bangsa Indonesia memiliki modal kemanusiaan yang luar biasa. Bencana, sebesar apa pun, tidak mampu mematikan kepedulian kita terhadap sesama.
Nilai persatuan yang tertulis dalam Pancasila menemukan bentuk paling nyata dalam situasi seperti ini. Persatuan bukan sekadar slogan atau seremonial kenegaraan. Ia tampak ketika kita saling menanggung penderitaan, saling menguatkan, saling menangis, dan saling meringankan beban. Dan persatuan sejati tidak memberikan ruang bagi korupsi, manipulasi bantuan, atau tindakan oportunis yang memanfaatkan penderitaan orang lain. Bencana adalah cermin moral. Di sana terlihat siapa yang benar-benar peduli dan siapa yang hanya memoles citra.
Selain memperkuat solidaritas, bencana juga membentuk karakter. Bangsa yang sering menghadapi bencana biasanya memiliki ketangguhan lebih besar. Mereka tidak mudah menyerah, tidak cepat panik, dan belajar bangkit meskipun mengalami kerugian besar. Demikian pula masyarakat kita. Setiap kali jatuh, kita belajar bangkit. Setiap kehilangan, kita belajar bertahan. Kesabaran dan keteguhan tidak muncul dari kenyamanan, tetapi dari ujian yang menguras tenaga dan air mata. Karakter kuat tidak dibentuk dalam ruang yang tenang, tetapi ditempa oleh kesulitan yang nyata.
Di samping itu, bencana selalu menjadi pengingat bahwa manusia membutuhkan Tuhan (Allah Swt). Pada saat semua hal yang kita anggap stabil tiba-tiba runtuh, spiritualitas menjadi tempat kita berpijak. Doa memberi ketenangan, zikir menenteramkan hati, dan keyakinan bahwa Tuhan (Allah Swt) memiliki rencana yang lebih baik memberikan harapan untuk terus melangkah. Kita mungkin belum memahami hikmah dari setiap bencana yang terjadi, tetapi kita percaya bahwa tidak ada kejadian yang sia-sia dalam pandangan Tuhan (Allah Swt).
Tidak ada seorang pun yang ingin ditimpa bencana. Namun dalam ketidaknyamanan itulah sering muncul perubahan besar. Bencana mengajarkan kita agar tidak sombong, tidak lalai, tidak abai pada lingkungan, dan tetap peduli terhadap sesama. Bencana menguatkan karakter bangsa, mempererat rasa persaudaraan, sekaligus mengajak kita menata ulang hubungan dengan alam dan Tuhan (Allah Swt).
Semoga rangkaian bencana yang menimpa negeri ini segera mereda. Semoga kesedihan warga yang terdampak berubah menjadi kekuatan, dan semoga dari setiap kesulitan muncul jalan baru menuju kehidupan yang lebih baik. Dan untuk saudara-saudara kita yang sedang berjuang di lokasi bencana, semoga ketabahan, kekuatan, dan pertolongan Tuhan (Allah Swt) selalu menyertai setiap langkah mereka. Bencana mungkin tidak kita inginkan, tetapi darinya sering hadir kekuatan baru yang membangun karakter kita sebagai bangsa yang lebih matang, lebih peduli, dan lebih rendah hati. Mari kita berdoa; semoga Indonesia selalu diselimuti kasih sayang Allah Swt. Aamiin. Semoga.

