Mata Banua Online
Jumat, November 28, 2025
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper
Mata Banua Online
No Result
View All Result

Monoplay Melati Pertiwi Hadirkan Pahlawan Perempuan Lewat Monolog

by Mata Banua
27 November 2025
in Opini
0
D:\2025\November 2025\28 November 2025\8\8\foto opini 1.jpg
(kiri-kanan) Wawan Sofwan sebagai sutradara Monoplay Melati Pertiwi, Marcella Zalianty sebagai Laksamana Malahayati, Glory Hillary sebagai Martha Christina Tiahahu, Tika Bravani sebagai Rasuna Said, Hana Malasan sebagai Ratu Kalinyamat, Maudy Koesnaedi sebagai Nyi Ageng Serang, Isyana Sarasvati sebagai SK Trimukti, Olivia Zalianty sebagai Associate Producer dalam acara Monoplay Melati Pertiwi: Merajut Jejak Sejarah Perjalanan Bangsa pada Selasa (25/11).(foto:mb/ant)

Oleh: Ida Nurcahyani/Anindi Berliana

Pementasan “Monoplay Melati Pertiwi” yang digelar di Gedung Kesenian Jakarta, Selasa (25/11/2025) menghadirkan enam tokoh pahlawan perempuan Indonesia melalui pendekatan monolog tunggal. Gagasan ini tidak hanya menawarkan pengalaman teater, tetapi juga mengangkat kembali tema tentang kontribusi perempuan dalam sejarah bangsa.

Berita Lainnya

D:\2025\November 2025\28 November 2025\8\8\nanang qosim.jpg

Menghadirkan Kesehatan dengan Meneladani Nabi

27 November 2025
D:\2025\November 2025\27 November 2025\8\8\nanang qosim.jpg

Urgensi Kesehatan dalam Perspektif Islam

26 November 2025

Pertunjukan yang disutradarai Wawan Sofwan itu menampilkan enam pemeran, masing-masing membawakan satu tokoh pejuang. Marcella Zalianty sebagai Laksamana Malahayati, Hana Malasan sebagai Ratu Kalinyamat, Isyana Sarasvati sebagai SK Trimurti, Maudy Koesnaedi sebagai Nyi Ageng Serang, Tika Bravani sebagai Rasuna Said, dan Glory Hillary sebagai Martha Christina Tiahahu.

“Melati Pertiwi” diproduksi PT Keana Production dan diproduseri langsung oleh Marcella Zalianty. Pada kesempatan itu, Marcella menuturkan bahwa pertunjukan ini lahir dari kebutuhan untuk merawat ingatan tentang sejarah bangsa, melalui medium seni yang lebih dekat dengan emosi penonton.

“Saya percaya bahwa seni memiliki kekuatan untuk menyentuh kesadaran dan menyalakan kembali empati. Semoga pertunjukan ini bukan hanya tontonan, namun juga menjadi ruang untuk merawat nilai-nilai kepahlawanan dalam kehidupan sehari-hari. Karena bangsa yang besar bukan hanya mengenang sejarahnya, tetapi juga meneruskan semangat perjuangannya,” ujar Marcella.

Ia menambahkan bahwa naskah “Melati Pertiwi” digarap sejalan dengan momentum peringatan Hari Pahlawan dan dalam rangka Hari Kemerdekaan ke-80 Indonesia. Melalui monolog, para tokoh perempuan itu ditampilkan bukan sekadar figur historis, melainkan suara yang masih hidup dalam denyut kehidupan berbangsa hari ini.

Panggung sunyi

Pertunjukan berdurasi sekitar dua jam ini dibangun dengan konsep artistik minimalis. Wawan memilih panggung dengan dominasi ruang kosong, menghadirkan platform melingkar yang ditinggikan sebagai pusat permainan. Cahaya lampu sorot menjadi penanda pergantian tokoh, sementara musik dan efek bunyi digunakan secara sangat terbatas untuk mempertahankan konsentrasi penonton pada kekuatan narasi verbal dan gestur pemain.

Masuknya setiap tokoh dilakukan satu per satu, membuat masing-masing karakter hadir sebagai pengalaman yang berdiri sendiri, sekaligus terikat dalam satu garis dramaturgi.

Isyana Sarasvati berperan sebagai penghubung antarseksi, membawa alur pertunjukan dari satu kisah pahlawan ke kisah berikutnya.

Pementasan dibuka dengan kemunculan Ratu Kalinyamat yang diperankan Hana Malasan. Dengan intonasi tajam dan tubuh yang tegas, Hana menggambarkan sosok ratu Jepara itu sebagai simbol keberanian maritim. Dalam monolognya, ia berbicara tentang lautan, kemarahan, dan strategi yang harus dipilih perempuan ketika mempertahankan kedaulatan.

Setelah itu, Marcella Zalianty tampil sebagai Laksamana Keumalahayati. Dengan pendekatan gestur yang lebih terukur dan penggunaan nada suara yang kuat, Marcella menggarisbawahi kepemimpinan seorang perempuan yang memimpin pasukan Inong Bale melawan agresi asing. Penampilannya memadukan ketegasan dan keprihatinan, menciptakan potret manusiawi seorang prajurit yang sekaligus seorang istri dan anak bangsa.

Maudy Koesnaedi yang memerankan Nyi Ageng Serang memilih pendekatan yang lebih kontemplatif. Ia hadir sebagai seorang penjaga tanah dan kehormatan, sosok yang terlihat tenang, namun memendam kekuatan besar. Ritme monolognya cenderung lambat, memberikan ruang bagi penonton untuk meresapi laku hidup seorang perempuan tua yang memimpin perang gerilya.

Tika Bravani lalu membawa penonton memasuki dunia pemikiran Rasuna Said. Monolog Tika terasa sangat verbal, menekankan kekuatan kata sebagai alat perlawanan. Gaya penyampaiannya menyerupai pidato, menggambarkan ketegangan intelektual yang menjadi kekuatan utama tokoh asal Minangkabau itu.

Dari sisi energi, Glory Hillary menghadirkan dinamika berbeda sebagai Martha Christina Tiahahu. Ia menampilkan sosok gadis remaja yang berani menolak tunduk, dengan gerak tubuh yang lebih eksploratif dan nada suara yang tegas, namun tetap menyiratkan kepolosan usia muda.

Isyana Sarasvati muncul sebagai tokoh terakhir, SK Trimurti. Ia memainkan peran jurnalis dan aktivis perempuan tersebut dengan pendekatan yang lebih personal. Narasinya mengalir sebagai cerita seorang perempuan yang memperjuangkan suara rakyat melalui tulisan dan organisasi.

Tantangan

Proses latihan yang relatif singkat menjadi tantangan bagi para pemeran dalam pementasan tersebut.

“Latihan kami cukup singkat, jadi semuanya terasa buru-buru. Kami baru kemarin run-through langsung di panggung, tapi semoga pesan kami tersampaikan ke penonton,” ujar Marcella.

Hana Malasan mengatakan bahwa monolog teater merupakan pengalaman baru baginya. “Ini pertama kali aku tampil di teater. Tantangannya besar karena semuanya harus one take, tidak bisa diulang seperti film. Pelafalan dan suara harus jelas dari panggung sampai ke ujung,” kata Hana.

Isyana mengungkapkan bahwa ia terbantu kedekatan latar budaya dengan tokoh yang diperankannya. “Aku orang Jawa dan pindah ke Bandung, sama seperti SK Trimurti. Kebetulan ayahku dosen dan pernah bertemu beliau, jadi aku banyak bertanya soal karakter dan logatnya,” ujarnya.

Hal serupa disampaikan Tika dan Glory, yang memiliki keturunan Minang dan Ambon, sehingga dialek serta penjiwaan karakter lebih mudah mereka resapi. Seluruh pemeran menggunakan dialek, sesuai daerah asal pahlawan yang mereka tampilkan, menambah kekayaan tekstur pertunjukan.

Secara keseluruhan, “Monoplay Melati Pertiwi” hadir sebagai karya yang menjembatani generasi masa kini dengan jejak perjuangan perempuan masa lalu. Pementasan ini tidak menawarkan drama besar atau pergerakan megah, tetapi justru mengajak penonton memasuki ruang batin para tokoh melalui kesunyian dan suara.

Dengan pendekatan minimalis dan kekuatan narasi, pertunjukan ini menjadi pengingat bahwa sejarah bukan sekadar catatan masa lalu, tetapi cahaya yang perlu dirawat agar tetap menyala dalam kehidupan berbangsa hari ini. (ant)

 

Mata Banua Online

© 2025 PT. Cahaya Media Utama

  • S0P Perlindungan Wartawan
  • Pedoman Media Siber
  • Redaksi

No Result
View All Result
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper