Oleh: Nor Aniyah, S.Pd (Penulis, Pemerhati Masalah Sosial dan Generasi.)
Masjid Al-Aqsha kembali menjadi sorotan dunia setelah muncul laporan penggalian terowongan bawah tanah yang dilakukan Israel di sekitar kawasan suci tersebut. Penasihat Kegubernuran Yerusalem, Marouf Al-Rifai, memperingatkan bahaya besar yang mengancam stabilitas struktur bangunan Masjid Al-Aqsha. Ia menegaskan, penggalian itu dilakukan tanpa memperhatikan prinsip arkeologi dan berisiko meruntuhkan sebagian bangunan masjid serta merusak rumah-rumah dan sekolah kuno di sekitarnya.
Menurut laporan CNN Indonesia dan Detik (22/10), terowongan-terowongan ini menghubungkan “Kota Daud” dan sebagian besar berasal dari jalur air bersejarah yang kini diubah menjadi museum dan sinagoge. Al-Rifai menyebut kegiatan ini bukan sekadar ekskavasi ilmiah, melainkan langkah politik untuk merusak landmark Islam dan memperkuat narasi sejarah versi Israel. “Alih-alih mengikuti standar arkeologi dari atas ke bawah, penggalian dilakukan dengan membentuk kembali area tersebut sepenuhnya sesuai tujuan politik,” ujarnya.
Fakta ini menunjukkan bahwa ancaman terhadap Masjid Al-Aqsha bukan semata teknis, melainkan ideologis. Israel berupaya mengubah realitas sejarah dan menghapus simbol keislaman dari bumi Yerusalem. Padahal, Masjid Al-Aqsha bukan sekadar bangunan, tetapi simbol spiritual bagi umat Islam di seluruh dunia. Ia adalah masjid pertama yang menjadi kiblat umat Islam sebelum Ka’bah, sekaligus tempat suci yang disinggahi Rasulullah saw dalam peristiwa Isra’ Mi’raj.
Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Isra ayat 1: “Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami.”
Ayat ini menegaskan keutamaan Masjid Al-Aqsha sebagai tempat yang diberkahi. Rasulullah saw juga bersabda:”Janganlah kalian bersusah payah melakukan perjalanan kecuali menuju tiga masjid: Masjidil Haram, Masjidku ini (Masjid Nabawi), dan Masjid Al-Aqsha.”(HR. Bukhari dan Muslim).
Hadits ini menegaskan kedudukan Al-Aqsha sebagai salah satu dari tiga masjid termulia dalam Islam. Maka ancaman terhadapnya bukan hanya persoalan geopolitik, tetapi serangan terhadap simbol tauhid dan kehormatan umat Islam.
Namun sayang, di tengah ancaman tersebut, dunia internasional cenderung diam. Negara-negara besar yang selalu menampilkan diri sebagai penjaga hak asasi manusia justru tutup mata terhadap pelanggaran yang dilakukan secara terang-terangan di bawah pengawasan mereka. PBB dan UNESCO hanya mengeluarkan pernyataan formal tanpa tindakan nyata. Dunia hari ini telah tunduk pada logika sekularisme, di mana kebenaran dan keadilan diukur dari kepentingan politik, bukan nilai moral dan spiritual.
Sistem sekuler telah melahirkan standar ganda. Ketika situs bersejarah dunia lain rusak, dunia bereaksi keras. Tetapi ketika Masjid Al-Aqsha diancam runtuh, suara keadilan menjadi samar. Inilah wajah dunia yang diatur oleh ideologi buatan manusia—kapitalisme-sekuler—yang menempatkan kekuatan di atas kebenaran.
Islam memiliki pandangan ideologis yang berbeda. Dalam Islam, seluruh bumi kaum Muslim adalah satu kesatuan yang diikat oleh aqidah. Masalah Palestina bukan hanya urusan bangsa Palestina, tetapi urusan seluruh umat Islam. Al-Aqsha adalah simbol kehormatan umat, sehingga penjagaannya menjadi kewajiban kolektif (fardhu kifayah).
Kelemahan dunia Islam hari ini justru karena mereka meninggalkan sistem Islam yang menyatukan seluruh kekuatan di bawah satu kepemimpinan yang tunduk kepada syariat. Negara-negara Muslim terpecah, sibuk dengan urusan nasional masing-masing, dan lebih memilih diplomasi sekuler daripada prinsip keimanan. Padahal, sejarah telah mencatat bahwa selama hukum Islam ditegakkan, Masjid Al-Aqsha selalu terlindungi. Pada masa Khilafah Islam, Al-Aqsha dijaga dengan kehormatan, dan umat hidup dalam keadilan, baik Muslim maupun non-Muslim.
Sebaliknya, ketika hukum Allah ditinggalkan dan sistem sekuler dijadikan landasan kehidupan, penjajahan dan kezaliman justru menjadi hal biasa. Dunia menjadi saksi bagaimana darah umat manusia tumpah karena ambisi politik dan ekonomi yang dibungkus jargon demokrasi dan hak asasi manusia.
Oleh karena itu, ancaman terhadap Masjid Al-Aqsha seharusnya menjadi momentum bagi umat Islam untuk merenungi akar persoalan: bahwa ketidakberdayaan umat bukan karena kekurangan jumlah atau harta, melainkan karena kehilangan landasan ideologis yang menyatukan. Islam bukan sekadar agama ritual, tetapi sistem kehidupan yang mengatur seluruh aspek: politik, ekonomi, hukum, dan sosial. Ketika sistem ini dijalankan, ia akan melahirkan kekuatan moral dan politik yang adil serta mampu melindungi kehormatan umat.
Membela Masjid Al-Aqsha hari ini harus dimulai dari kesadaran ideologis, bukan hanya reaksi emosional. Umat Islam harus kembali pada prinsip Islam sebagai solusi menyeluruh. Gerakan internasional berbasis keimanan, kerja diplomasi yang kuat, dan penguatan solidaritas antarnegara Muslim adalah bentuk nyata perjuangan yang bermartabat.
Masjid Al-Aqsha adalah ujian bagi iman umat Islam. Selama umat masih terpecah oleh sekat nasionalisme dan ideologi sekuler, maka kezaliman akan terus berulang. Sebaliknya, jika umat kembali bersatu dalam kesadaran ideologis dan menjadikan syariat Allah sebagai pedoman hidup, maka kehormatan dan kemuliaan akan kembali seperti masa lalu.
Kini, saat retakan mulai mengancam fondasi Masjid Al-Aqsha, dunia harus bertanya: yang sebenarnya rapuh itu batu-batu masjid, ataukah fondasi moral dunia modern yang kehilangan arah? Hanya dengan kembali pada sistem Islam yang adil dan menyeluruh, umat manusia dapat menyelamatkan tidak hanya Al-Aqsha, tetapi juga kemanusiaan itu sendiri.
Karena itu, setiap Muslim memiliki peran, sekecil apa pun, untuk membela Al-Aqsha: dengan doa, edukasi, dakwah, dan kesadaran politik. Perjuangan bukan hanya di medan perang, melainkan di medan pemikiran dan ideologi. Saat umat memahami Islam secara kaffah dan menolak tunduk pada sistem sekuler yang menindas, maka cahaya kebenaran akan kembali menerangi bumi yang kini gelap oleh kezaliman.[]

