
Oleh : Shofi Ayudiana
Indonesia tengah menapaki babak baru pembangunan ekonomi desa melalui program Koperasi Desa/Kelurahan (Kopdes/Kel) Merah Putih.
Sebanyak 80 ribu koperasi desa di seluruh Indonesia ditargetkan dapat beroperasi penuh pada Maret 2026.
Untuk mencapai ambisi besar tersebut, pemerintah, kini mengebut pembangunan infrastruktur koperasi, sekaligus menyesuaikan regulasi agar proses pembiayaan lebih sederhana dan cepat.
Awalnya, pembiayaan Kopdes Merah Putih dilakukan melalui bank-bank anggota Himpunan Bank Milik Negara (Himbara), berdasarkan proposal yang diajukan koperasi. Skema ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 49 Tahun 2025 tentang Tata Cara Pinjaman dalam Rangka Pendanaan Kopdes Merah Putih.
Mekanisme tersebut dinilai terlalu administratif dan berisiko memperlambat proses pencairan dana.
Akibatnya, PMK No. 49/2025 dicabut, dan pemerintah melakukan penyesuaian skema pembiayaan. Meski aturan berubah, plafon tetap sama, yakni Rp3 miliar per unit koperasi.
Dalam skema baru, dana Rp3 miliar dibagi menjadi Rp2,5 miliar untuk belanja modal (capital expenditure/capex) dan Rp500 juta untuk biaya operasional (operational expenditure/opex).
Belanja modal diarahkan untuk pembangunan fisik koperasi, seperti gerai sembako, gudang logistik, klinik desa, apotek, hingga cold storage. Sementara itu, biaya operasional digunakan sebagai modal kerja awal agar koperasi dapat segera beroperasi dan langsung memberi manfaat nyata bagi masyarakat desa.
Dengan pola ini, koperasi tidak hanya berdiri sebagai bangunan fisik, tetapi juga langsung memiliki fasilitas yang bisa dirasakan masyarakat.
Plafon kredit Rp3 miliar tidak diberikan dalam bentuk uang tunai, melainkan dalam bentuk komoditas maupun pembangunan infrastruktur, sesuai kebutuhan koperasi di masing-masing wilayah.
Misalnya, jika sebuah koperasi membutuhkan 500 tabung LPG 3 kg, maka bantuan diberikan dalam bentuk tabung gas, bukan uang untuk membeli tabung tersebut.
Seluruh proses pencairan dilakukan secara non-tunai, melalui Sistem Informasi dan Manajemen Kopdes Merah Putih (Simkopdes) yang terintegrasi dengan bank Himbara.
Permintaan kebutuhan dari koperasi akan tercatat dan diverifikasi oleh bank, sesuai wilayah kerja, kemudian pembayaran dilakukan oleh bank kepada BUMN terkait untuk menyalurkan barang atau komoditas ke koperasi.
Penyesuaian skema pembiayaan ini lahir dari Instruksi Presiden Nomor 17 Tahun 2025 tentang Percepatan Pembangunan Fisik Kopdes Merah Putih yang ditetapkan pada 22 Oktober 2025. Detail teknis pembiayaan masih menunggu PMK terbaru.
Sesuai inpres tersebut, Menteri Keuangan akan menyalurkan dana alokasi umum (DAU), dana bagi hasil (DBH), atau Dana Desa untuk pembangunan gerai dan gudang.
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyebut besaran Dana Desa yang akan disalurkan mencapai Rp40 triliun, lebih dari separuh pagu anggaran Dana Desa tahun 2026 yang sebesar Rp60 triliun. Dana tersebut akan digunakan untuk cicilan Kopdes Merah Putih selama enam tahun ke depan.
Dengan plafon Rp3 miliar per unit, total pembiayaan untuk membangun 80 ribu koperasi mencapai Rp240 triliun.
Selain itu, sesuai inpres, Menteri Keuangan juga akan menempatkan dana di bank Himbara dan Bank Syariah Indonesia (BSI) sebagai sumber likuiditas dalam rangka pembiayaan kepada PT Agrinas Pangan Nusantara (Persero), yang ditugaskan melakukan pembangunan gerai dan gedung koperasi.
Pembangunan dilakukan di atas tanah negara yang saat ini masih terus diinventarisasi.
Targetnya ambisius: 80 ribu bidang tanah terdata hingga awal tahun depan, dengan tujuh gerai wajib berdiri di setiap koperasi.
Hingga awal November, pemerintah mencatat lebih dari 8.000 unit Kopdes Merah Putih sedang dibangun, dengan target percepatan 20 ribu titik pada November, 40–50 ribu titik pada Desember, dan seluruh pembangunan rampung pada Maret 2026.
Dampak nyata
Di tengah percepatan pembangunan, beberapa Koperasi Desa Merah Putih yang menjadi percontohan operasional sudah mulai berjalan dan memberi gambaran nyata bagaimana koperasi desa bisa menggerakkan ekonomi desa. Salah satunya adalah Kopdes Panerusan Wetan di Banjarnegara, Jawa Tengah.
Bermodal Rp18 juta, koperasi ini mampu mendulang pendapatan Rp104,4 juta hanya dalam tiga bulan, dari Agustus hingga pertengahan November 2025.
Produk unggulan mereka adalah gula semut dan kopi robusta khas Pegunungan Sitata. Kedua komoditas ini tidak hanya menjadi identitas lokal, tetapi juga penggerak ekonomi desa.
Kopdes Panerusan Wetan, bahkan sudah menjalankan distribusi pupuk bersubsidi dari Pupuk Indonesia, membuka gerai sembako, pergudangan, logistik, serta unit usaha gas elpiji dan produk UMKM.
Dengan 314 anggota aktif, koperasi ini menerapkan prinsip simpanan wajib Rp5.000 per bulan dan simpanan pokok Rp50 ribu per anggota.
Contoh lain datang dari Kopdes Aeng Batu-Batu di Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Didukung Dana Desa, koperasi ini telah memiliki 10 gerai, mulai dari koperasi simpan pinjam (KSP) syariah, gerai sembako, pangkalan LPG, klinik kesehatan, apotek, kafe merah putih, hingga gudang dan toko sarana produksi pertanian.
Sejak diluncurkan pada Juli 2025, gerai sembako Kopdes Aeng Batu-Batu mencatat omzet sekitar Rp400 juta. Kopdes ini, bahkan berencana menambah tiga unit bisnis baru, yaitu pabrik es untuk melayani hasil tangkapan nelayan, stasiun pengisian bahan bakar umum nelayan (SPBUN), dan pengadaan kapal perikanan yang difasilitasi oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Dengan potensi desa yang cukup lengkap, yakni laut, pantai, tambak, perkebunan, pertanian, hingga peternakan, Kopdes Aeng Batu-Batu dapat mengoptimalkan aset desa agar mampu menggerakkan ekonomi rakyat secara berkelanjutan.
Transparansi
Walaupun sejumlah kisah kopdes tampak menjanjikan, tantangan besar masih membayangi. Program Kopdes Merah Putih adalah proyek dengan ambisi besar, tetapi kebijakan yang berubah-ubah menunjukkan perencanaan belum sepenuhnya matang.
Jika cicilan benar ditanggung oleh Dana Desa, yang berarti oleh negara, maka perlu ada mekanisme berbasis produktivitas dan transparansi agar Dana Desa tidak sekadar menjadi “pelunas cicilan,” melainkan benar-benar mendorong koperasi desa tumbuh sehat.
Risiko lain muncul ketika koperasi hanya membangun fisik, tanpa mampu mengoperasikan usaha secara berkelanjutan. Ketergantungan pada Dana Desa juga bisa membuat koperasi rapuh.
Transparansi publik menjadi kunci. Portal yang menampilkan data koperasi penerima, plafon pembiayaan, dan mitra offtaker akan memperkuat akuntabilitas serta mencegah potensi penyimpangan di tingkat desa.
Tanpa sistem akuntabilitas publik, sulit memastikan dana benar-benar digunakan untuk koperasi produktif.
Karena itu, ada baiknya program ini dijalankan secara bertahap dan berbasis kinerja. Uji coba terhadap 1.000 koperasi percontohan, misalnya, dapat menjadi tolok ukur keberhasilan kebijakan, sebelum diperluas ke skala nasional.
Kisah-kisah Kopdes Merah Putih yang mulai eksis di berbagai daerah memang memberi harapan bahwa program ini bisa berjalan.
Namun di tingkat nasional, tantangan tetap besar, yakni bagaimana memastikan 80 ribu koperasi tidak hanya berdiri, melainkan benar-benar hidup, beroperasi, dan memberi manfaat nyata bagi masyarakat desa. Sebab, tujuan utama Kopdes Merah Putih bukan hanya membangun koperasi, melainkan mewujudkan cita-cita desa mandiri serta mewujudkan pemerataan ekonomi, hingga ke pelosok.(ant)

