
Pelaksanaan pemilihan umum (Pemilu) sebagai sebuah mekanisme politik tentunya sangat rentan terjadi permasalahan, baik berupa pelanggaran, maupun tindakan-tindakan kecurangan yang bertentangan dengan hukum Pemilu. Terutama pada perhelatan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres), bentuk penyimpangan yang paling marak biasanya menyangkut netralitas atau pelibatan otoritas negara, politik uang, hingga tindakan-tindakan seperti manipulasi hukum dan konstitusi sangat berpotensi terjadi.
Sistem keadilan Pemilu di Indonesia yang mencakup regulasi dan kelembagaan sejatinya telah dirancang untuk dapat menindak segala permasalahan dan pelanggaran Pemilu pada setiap tahapannya, termasuk hingga pada tahap perselisihan hasil Pemilu (PHPU) yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK).
Namun, persoalan mendasar muncul ketika lembaga yang diberi mandat untuk menangani pelanggaran atau sengketa pada tahapan pelaksanaan Pemilu tidak mampu melaksanakan tanggung jawabnya secara efektif. Kondisi tersebut tentu menyebabkan bergesernya masalah ke tahap sengketa hasil Pemilu di MK.
Sebagaimana yang kita ketahui, bahwa pola penyelesaian sengketa dalam hukum acara perselisihan hasil Pilpres menerapkan prinsip speedy trial dengan batasan waktu penyelesaian perkara selama 14 (empat belas) hari. Penerapan prinsip ini didasarkan pada pertimbangan bahwa untuk mewujudkan kepastian hukum. Dalam hal ini, berkaitan dengan waktu pelantikan Presiden terpilih yang sebisa mungkin tidak boleh terganggu.
Meski demikian, pada prakteknya, penerapan prinsip tersebut masih menjadi sorotan dan perdebatan serius di kalangan akademisi serta pakar hukum. Berbagai studi pun telah menunjukkan bahwa penerapan speedy trial menyebabkan tidak maksimalnya proses penilaian dan pembuktian yang bermuara pada tidak optimalnya kualitas putusan.
Akibatnya, permasalahan mengenai legitimasi pelaksanaan Pemilu menjadi sulit dikendalikan, bahkan kerap berlanjut hingga pasca perhelatan Pemilu. Bagaimana tidak, sebagian besar pelanggaran maupun permasalahan Pemilu tidak selalu berujung pada penyelesaian sengketa (Dispute Resolution) yang mumpuni. Maka penting kiranya untuk meninjau dampak dari penerapan speedy Trial dan mempertimbangkan pemberlakuannya dalam penyelesaian perselisihan hasil Pilpres kedepannya (ius constituendum).
Dampak Penerapan Speedy Trial
Seolah telah menjadi pola yang berulang, bahwa setiap penyelesaian sengketa hasil Pilpres dari waktu ke waktu selalu menyisakan kejanggalan. Permasalahan yang sebenarnya sangat mungkin dijangkau penyelesaiannya justru tampak terhalang, entah oleh lemahnya nyali penegakan hukum, atau akibat dari sistem hukum yang rancu. Hingga saat ini persoalan tersebut masih belum kelihatan benang merahnya.
Dalam berbagai perkara perselisihan hasil Pilpres, MK kerap kali memulai penilaian dengan menyatakan kesanggupannya untuk dapat menilai persoalan yang bersifat kualitatif, karena hal tersebut tidak dapat dipisahkan dari kewajiban konstitusional yang melekat padanya. Dalam konteks ini, artinya MK menunjukkan otoritasnya dengan menegaskan kemampuan untuk menjangkau berbagai pelanggaran yang belum terselesaikan pada tahap-tahap sebelumnya.
Selaku peradilan konstitusi, MK berkewajiban memastikan penyelenggaraan Pemilu sesuai dengan asas-asas Pemilu, yakni langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (Luber dan Jurdil). Apabila kita mencermati dinamika penyelesaian perkara sengketa hasil Pilpres 2024 yang terjadi beberapa waktu silam, fakta persidangan seakan merespon pernyataan MK dengan menampilkan kenyataan bahwa sebagian besar persoalan yang diperkarakan pada sengketa hasil, justru merupakan permasalahan yang belum terselesaikan secara tuntas pada tahapan Pilpres.
Ambil contoh dalam perkara PHPU Pilpres No. 1/PHPU.PRES-XXII/2024 misalnya, penulis melakukan analisis dengan mencermati dinamika persidangan serta eksaminasi putusan dan mendapati beberapa persoalan seperti keabsahan pencalonan presiden dan wakil presiden, permasalahan netralitas pejabat/aparatur negara, netralitas kepala desa, netralitas lembaga kepresidenan, hingga politisasi Bansos, merupakan daftar permasalahan yang belum tuntas pada tahapan Pemilu.
Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu menegaskan bahwa setiap dugaan pelanggaran pada tahapan Pemilu ditangani oleh Bawaslu serta lembaga lain dalam kerangka penegakkan hukum terpadu (Gakkumdu). Masing-masing lembaga tersebut memiliki peran, fungsi, dan kewenangan untuk menindaklanjuti pelanggaran sesuai mandatnya sebagai pengawas sekaligus penegak hukum Pemilu.
Meski demikian, implementasi kewenangan tersebut sukar dikatakan optimal. Penanganan pelanggaran yang cenderung bersifat formalistik dan tidak mendalam membuat berbagai persoalan tidak terselesaikan secara tuntas. Akhirnya bergeser dan menumpuk pada tahap sengketa hasil Pilpres. Kondisi demikian seolah menjadikan MK sebagai pemikul tunggal beban permasalahan Pemilu yang amat banyak. Padahal sistem keadilan Pemilu menghendaki adanya mekanisme penanganan masalah Pemilu pada setiap tahapannya sebagai bentuk tanggung jawab bersama.
Situasi tersebut semakin kompleks dengan adanya batasan waktu penyelesaian perkara yang diatur dalam hukum acara (Undang-Undang MK), yakni hanya selama 14 hari. Ketentuan ini jelas menjadi tantangan serius bagi MK dalam melakukan penilaian yang komprehensif. Sulit dibayangkan bagaimana MK dapat menelaah secara mendalam berbagai persoalan Pemilu yang belum sepenuhnya terselesaikan pada tahap sebelumnya dalam waktu sesingkat itu. Kualitas putusan seperti apa yang dapat diharapkan dari proses penyelesaian perkara yang dibatasi oleh tekanan waktu demikian ketat?
Kondisi diatas setidaknya menstimulasi 2 (dua) hal, yaitu: 1) upaya pembuktian yang tidak optimal dari Pemohon atau pihak yang berperkara; serta 2) penilaian yang tidak maksimal oleh MK.
Pertama, indikatornya selain dengan mencermati dinamika persidangan perkara a quo, dapat juga dengan membandingkan derajat kemungkinan diterimanya permohonan pada setiap perkara Perselisihan hasil Pemilu. Fakta menunjukan bahwa, perkara-perkara mengenai sengketa hasil Pilpres mulai dari perkara No. 062/PHPU.B-II/2004, No. 109-109/PHPU.B-VII/2009, No. 1/PHPU.PRES-XII/2014, No. 1/PHPU.PRES-XVII/2019, termasuk dua perkara sengketa hasil Pilpres 2024 kemarin, dalil-dalil pemohon selalu ditolak.
Kenyataan tersebut sejatinya menunjukan bahwa pihak pemohon mengalami kesulitan dalam upaya meyakinkan hakim melalui pembuktian. Hal ini dapat dipahami, mengingat permasalahan mengenai sengketa Pilpres sangat kompleks dan luas, terutama menyangkut pelanggaran TSM yang melibatkan banyak unsur dalam struktur pemerintahan.
Kompleksitas tersebut jelas tidak sebanding dengan beban pemohon dalam menjalankan asas actori incumbit probatio (beban pembuktian dipikul oleh penggugat), apalagi dalam batasan waktu yang sangat singkat. Tidak mengherankan jika permohonan pemohon selalu ditolak, bahkan nyaris mustahil dikabulkan.
Kedua, indikatornya dapat ditelisik dengan mengkaji hasil penilaian MK dalam perkara-perkara PHPU Pilpres. Penulis melakukan eksaminasi terhadap perkara No. 1/PHPU.PRES-XXII/2024 misalnya, wujud dari penilaian yang tidak maksimal oleh MK kebanyakan berupa uraian-uraian penilaian yang hanya bersifat prosedural-formalistik hingga penilaian dengan standar ganda.
Justifikasi tersebut bertumpu pada fakta persidangan bahwa terhadap keseluruhan dalil pemohon, MK menyatakan “tidak terbukti, sehingga tidak beralasan menurut hukum”, tetapi terselip keyakinan yang berseberangan (contrario) dengan penilaian tersebut. Hal ini terlihat dalam uraian pertimbangan mengenai beberapa persoalan seperti, ketidak-netralan Presiden dan Politisasi Bansos.
Dalam uraian pertimbangannya, MK memiliki dua argumentasi yang berlawanan pada masing-masing persoalan. Argumentasi pertama MK menyatakan bahwa “ketidaknetralan Presiden yang memiliki akibat menguntungkan salah satu Paslon tidak bertentangan dengan hukum”. Namun beriringan dengan itu, argumentasi selanjutnya MK mengaitkan sikap ketidak-netralan tersebut dengan Asas Pemilu Luber dan Jurdil yang ditegaskan dalam Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945.
Hal tersebut mengindikasikan adanya keyakinan kuat dalam tubuh MK, bahwa sikap ketidak-netralan tersebut berkorelasi erat dan bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945, kalau saja MK berani menjalankan fungsinya secara tegas sebagai penafsir final konstitusi kala itu.
MK juga menyatakan bahwa persoalan politisasi Bansos yang didalilkan pemohon tidak dapat dijustifikasi sebagai sebuah pelanggaran hukum, karena realisasinya berlandaskan pada ketentuan regulasi yang ada. Penilaian ini sejatinya terlalu prosedural, karena MK membatasi diri pada pendekatan formalisme hukum tanpa menggali dan mempertimbangkan faktor lain seperti motif, kedudukan Presiden sebagai pejabat publik, dan waktu pendistribusian Bansos yang berdekatan atau bertepatan dengan waktu pelaksanaan Pemilu.
Namun seliuk apapun MK menari-nari, kegelisahan Mahkamah akan preseden buruk dari sikap pragmatis tersebut tetap menguak. Apabila kita jeli mengkaji putusan, kita menemukan bahwa hal ini diucapkan sendiri oleh Mahkamah pada beberapa uraian pertimbangan dalam putusan a quo. Kondisi ini seolah menampilkan wajah keadilan yang semakin misterius, karena hanya dapat dirasakan namun sulit terlihat, apalagi dijangkau.
Perlu Mempertimbangkan Pemberlakuannya Kedepan
Permasalahan yang timbul akibat penerapan speedy trial dalam sengketa hasil Pilpres seolah luput dari pandangan pembentuk undang-undang. Pasalnya, dalam beberapa kali revisi Undang-Undang MK, persoalan ini tidak pernah tersentuh. Tambal sulam aturan teknis lebih dikedepankan ketimbang persoalan substantif.
Padahal masalah mengenai pembuktian dan penilaian yang tidak maksimal dalam perkara sengketa hasil Pilpres terjadi berulang kali pada setiap periode pelaksanaan Pilpres. Putusan atas hasil penyelesaian PHPU Pilpres layaknya format baku yang mudah diprediksi bahwa “tidak mungkin terkabulkan”.
Berkenaan dengan hal tersebut, maka penting untuk mempertimbangkan penerapan prinsip ini kedepannya, agar determinisme hukum yang rancu ini tidak terus-menerus memaksa rakyat untuk menerima hasil penyelesaian perkara yang menjanggal.
Relevansi antara alasan diakomodirnya prinsip speedy trial dengan tujuan pemberlakuannya dalam PHPU Pilpres perlu dikaji lagi secara mendasar, agar prinsip ini tidak dipersepsikan sebagai lencana delegitimasi sistem Pemilu. Dalam artian, tidak dipersepsikan “diterapkan atau sengaja dibentuk hanya untuk memperlemah integritas dan kualitas Pemilu”.
Mengingat Pemilu merupakan instrumen pokok demokrasi, maka penurunan kualitas Pemilu juga turut mempengaruhi kualitas demokrasi. Sedikit saja cela pada sistem Pemilu, kemudian dibiarkan begitu saja dapat bermuara pada resesi demokrasi. Oleh karenanya, penguatan terhadap sistem keadilan Pemilu pada setiap tingkatan pelaksanaanya harus didorong semaksimal mungkin, terutama menyangkut penyelesaian pelanggaran dan sengketa Pemilu.
Dari fakta persidangan mengenai beberapa perkara hasil Pilpres yang menampilkan ketidak-tuntasan permasalahan pada tahapan Pemilu yang kerap bergeser hingga ke MK sejatinya menampilkan kondisi normalitas, bahkan dapat dianggap sebagai fenomena sosial yang membentuk paradigma publik, bahwa tempat memperjuangkan hak politik yang dilanggar dalam Pemilu hanya melalui MK. Sehingga apabila langkah penguatan sistem keadilan Pemilu perlu dilakukan, maka salah satu upaya yang harus di optimalkan adalah, merubah persepsi tersebut.
Kemudian mengenai hukum acara, patut disadari bahwa pemberlakuan speedy trial dalam penyelesaian perkara sebenarnya turut mempengaruhi keretakan pada sistem Pemilu. Oleh karena itu, apabila langkah yang ditempuh kedepannya adalah tetap mempertahankan penerapannya (14 hari waktu penyelesaian perkara), maka kinerja lembaga Pengawas Pemilu harus lebih dioptimalkan.
Artinya, Penerapan speedy trial pada penyelesaian sengketa hasil Pilpres boleh saja digunakan, namun hanya akan efektif apabila lembaga pengawas Pemilu juga mampu bekerja secara optimal. Dalam kaitannya dengan langkah ini, maka usulan seperti yang dirumuskan oleh Titi Anggraini dalam tulisannya “Mereset Penyelenggara Pemilu” beberapa waktu lalu adalah logis.
Namun apabila langkah yang dikehendaki nantinya adalah dengan menambah batasan waktu penyelesaian perkara perselisihan hasil Pilpres, maka aspek kepastian hukum dan keadilan substantif harus dipertimbangkan secara proporsional.

