Mata Banua Online
Kamis, November 13, 2025
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper
Mata Banua Online
No Result
View All Result

Paradoks Pahlawan di Negeri Reformasi

by Mata Banua
13 November 2025
in Opini
0
D:\2025\November 2025\14 November 2025\8\oPINI jUMAT\Ahmad Mukhallish Aqidi Hasmar.jpg
Ahmad Mukhallish Aqidi Hasmar

Kabar itu datang lewat notifikasi ponsel, seperti berita lain yang biasanya cepat berlalu. Namun kali ini berbeda. Pemerintah resmi menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada sepuluh tokoh, di antaranya dua nama yang selama ini berdiri di ujung yang berseberangan: Soeharto dan Marsinah.

Sebagai anak muda, penulis sempat berhenti lama membaca berita itu. Bagaimana mungkin dua nama ini kini berada dalam daftar yang sama? Soeharto, presiden yang dikenal dengan pembangunan sekaligus pembungkamandan Marsinah, buruh perempuan yang dibunuh karena menuntut haknya di bawah kekuasaan rezim orde baru. Dalam satu keputusan, negara mempertemukan tangan yang menggenggam kekuasaan dengan tangan yang terkulai karena menentangnya.

Berita Lainnya

Berburu Wajib Pajak: Beban Rakyat di Tengah Krisis Anggaran

Jawaban Islam terhadap Krisis Kemanusiaan di Sudan

13 November 2025
D:\2025\November 2025\13 November 2025\8\Opini Kamis\master opini.jpg

Motor Brebet dan Cerminan Kegagalan Sistem Sekuler Kapitalis

12 November 2025

Media asing segera menyoroti langkah ini. Reuters dan The Guardian menulis bahwa penobatan Soeharto sebagai pahlawan bisa dilihat sebagai “upaya memutihkan sejarah” atau “revitalisasi otoritarianisme.” Mereka mengingatkan bahwa di balik gelar itu, masih ada luka masa lalu yang belum sempat disembuhkan. Dunia menatap Indonesia dengan heran: bangsa yang pernah berjuang atas nama demokrasi kini memberi kehormatan tertinggi kepada sosok yang dulu mengurungnya.

Bagi generasi muda hari ini, keputusan itu bukan sekadar berita kenegaraan. Ia adalah ujian cara berpikir tentang kebenaran, keadilan, dan memori bangsa. Generasi yang lahir setelah Reformasi tidak mengalami langsung masa Orde Baru, tapi tumbuh di tengah fragmen narasi yang saling bertabrakan. Sejarah terasa seperti algoritma: menampilkan yang disukai, menyembunyikan yang menyakitkan.

Narasi yang Bertubrukan

Generasi muda mengenal Soeharto bukan hanya dari buku pelajaran, melainkan dari potongan video, meme nostalgia, dan perdebatan di media sosial. Di sana ia disebut “bapak pembangunan”, tapi juga diingat sebagai simbol otoritarianisme. Marsinah sebaliknya hadir sebagai nama yang dulu disembunyikan kini menjadi simbol perlawanan, buruh yang gugur karena memperjuangkan upah layak dan hak berserikat. Kini, keduanya disatukan dalam bingkai yang sama, di dinding kehormatan istana.

Di media sosial, sebagian pengguna menulis satir: “Soeharto dan Marsinah bersanding di dinding negara. Mungkin mereka akhirnya bisa saling memaafkan.” Kalimat itu lucu dan getir secara sekaliguskarena di dunia nyata, keadilan tidak pernah sesederhana meme.

Generasi muda hari ini diajari menghormati pahlawan, tapi juga diajari bertanya siapa yang memilih mereka. Diajari memaafkan masa lalu, tapi tidak diajari bagaimana mengingatnya dengan jujur. Ketika negara menempatkan korban rezim dan pemilik rezim dalam satu baris penghargaan, mereka bingung harus menunduk hormat atau bertanya lebih keras.

Hukum dan Simbol yang Tak Pernah Netral

Secara hukum, gelar pahlawan nasional diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009. Syaratnya jelas: berjasa besar bagi bangsa dan tidak memiliki cacat moral atau pengkhianatan terhadap negara. Penetapannya dilakukan melalui panitia nasional dan disahkan lewat Keputusan Presiden.

Namun hukum tidak selalu steril dari kekuasaan. Setiap tanda jasa adalah bentuk legitimasi yang setiap keputusan negara adalah penyuntingan memori. Ketika Soeharto diberi gelar yang sama dengan Marsinah, hukum tak hanya mengatur penghormatan, tetapi juga mengubah cara bangsa mengingat masa lalunya.

Media asing menyebut langkah ini sebagai paradoks demokrasi: negara yang menolak mengadili masa lalunya, memilih merayakannya dengan penghargaan. Penulis melihatnya sebagai cermin bahwa hukum bisa memberi legitimasi atas sejarah yang belum selesai. Di negeri yang sulit mengadili pelanggaran HAM, simbol sering kali datang lebih dulu daripada pengakuan.

Secara hukum negara berhak memberi gelar; secara moral masyarakat berhak mempertanyakan. Hukum bisa memberi tanda jasa, tapi hanya nurani yang bisa menilai layakkah tanda itu dikenakan.

Generasi yang Belajar Mengingat

Generasi muda hari ini tidak hidup di masa pembungkaman, tetapi hidup di tengah kebingungan narasi. Sejarah hadir di layar ponsel: potongan arsip, utas panjang di media sosial, atau komentar netizen yang lebih tajam dari pidato pejabat. Mereka belajar tentang bangsanya dari perdebatan daring yang kadang lebih jujur daripada rapat resmi.

Sebagian memilih menertawakan semuanya sebagai bentuk perlawanan halus terhadap absurditas politik. Sebagian lain memilih membaca ulang arsip dan mendengar kisah para korban. Mereka tahu, keadilan mungkin belum datang, tapi setidaknya ingatan tidak boleh padam.

Bagi generasi muda, sosok Marsinah bukan sebatas nama dalam daftar pahlawan, melainkan simbol suara yang tak sempat diteriakkan. Dan Soeharto, bagaimanapun besar jasanya, tetap menjadi bab sejarah yang mengingatkan bahwa kekuasaan tanpa kontrol selalu berujung pada kesunyian rakyat.

Mereka tidak menolak sejarah, hanya menolak menelannya mentah. Mereka tidak menolak penghormatan, hanya ingin memastikan bahwa hormat tidak berarti lupa. Dalam dunia yang cepat melupakan, mengingat adalah bentuk perlawanan paling sunyi.

Oleh karena itu, rekonsiliasi sejati tidak lahir dari gelar kehormatan, tetapi dari keberanian mengakui luka. Pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto dan Marsinah di waktu yang sama mungkin dimaksudkan sebagai simbol persatuan, namun justru memperlihatkan betapa ruwetnya bangsa ini berdamai dengan masa lalunya. Dua nama itu tidak hanya sekadar representasi sejarah, melainkan cermin paradoks bangsa yang masih mencari cara memaknai keadilan seperti antara kekuasaan yang pernah membungkam dan suara yang dipaksa diam.

 

Mata Banua Online

© 2025 PT. Cahaya Media Utama

  • S0P Perlindungan Wartawan
  • Pedoman Media Siber
  • Redaksi

No Result
View All Result
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper