Mata Banua Online
Selasa, November 4, 2025
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper
Mata Banua Online
No Result
View All Result

Memikir Ulang Gaya Hidup Pejabat Masa Kini

by Mata Banua
3 November 2025
in Opini
0
D:\2025\November 2025\4 November 2025\8\Opini  Selasa\Wirda Widayani.jpg
Wirda Widayani (Mahasiswi Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Padang)

Potret pejabat dengan gaya yang hedon serta merasa hebat sangat tidak mencerminkan arti dari jabatannya itu sendiri. Jabatan yang seharusnya menjadi jembatan untuk masyarakat mengadu dan meminta kesejahteraan justru dikotori dengan gaya hidup pejabat bak artis kelas atas. Dalam naluri kemanusiaan tidak ada larangan menggunakan harta untuk kemewahan dan menampilkan kekayaan yang serba ada, namun dari sisi moral seorang pejabat yang masih menerima gaji dari rakyat itu membuat hati rakyat teriris. Bagaimana tidak, rumah dengan segala fasilitas tersedia, pengawal super ketat diberikan, tunjangan dengan beragam macamnya dibayar, kendaraan bagus lengkap dengan supir, ditambah penghormatan yang bukan main banyaknya dalam setiap acara.

Hal ini menjadi catatan dalam menilai sejauh mana kemampuan pejabat Indonesia melihat kondisi bangsanya yang tengah merangkak menuju perbaikan ekonomi yang lebih baik. Mengulang kembali memori masa lalu para pejabat negeri ini pada masa awal kemerdekaan, sosok Bung Hatta yang tidak mampu membelikan mesin jahit untuk istrinya, Syafruddin Prawiranegara sang Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia saat pemimpin Indonesia ditawan oleh Belanda saat agresi militer II, melarang istrinya mendapat fasilitas negara justru sang istri harus berjualan gorengan untuk kebutuhan sehari- hari. Mohammad Natsir pimpinan Partai Masyumi yang pernah mengemban Jabatan Perdana Menteri menggunakan Jas yang tempelan yang dijahit padahal beliau bisa membeli yang baru. Jusuf Wibisono menteri Keuangan masa kabinet Sukiman yang hanya hanya memiliki 1 jas dan hidup serba kekurangan. Dari mereka para pejabat harusnya merenung.

Berita Lainnya

D:\2025\November 2025\4 November 2025\8\Opini Selasa\foto opini 1.jpg

Potret CKG di Ujung Negeri

3 November 2025
D:\2025\November 2025\3 November 2025 2025\8\8\master opini.jpg

Satu Tahun Komitmen Prabowo soal Kemerdekaan Palestina

2 November 2025

Para pejabat yang tersebut bukan tidak mau hidup mewah, mudah bagi mereka meminta pada negara untuk kebutuhannya dipenuhi namun moral mereka menolak hal itu. Di Tengah situasi ekonomi sulit waktu itu mereka juga merasakan sulitnya hidup sama seperti rakyat lain. Pola ini yang harus menjadi gaya hidup untuk pejabat dengan gaya selangit hari ini. Masa awal republik ini berdiri mencari penghidupan bisa saja dengan segala cara mengais pundi-pundi rupiah melalui belanda atau berbisnis yang legal, hal ini tidak dilakukan oleh mereka pejabat Indonesia yang punya integritas dan loyalitas. Dalam menjalankan republik ini perlu pemikiran, hati, yang saling berkesinambungan.

Jika hari ini hampir setiap hari terlihat di tayangan nasional pejabat yang flexing, pejabat yang tertangkap suap, melakukan korupsi, pejabat yang tidak menepati janjinya dan lain sebagainya. Semua hal itu terangkum dalam moralitas yang bobrok. Bagaimana mungkin pejabat dengan gaji yang fantastis masih kekurangan harta lalu mencari dengan korupsi atau suap. Atau mereka yang suka pamer di media bahwa hartanya berlimpah. Dalam konteks dirinya yang menjabat pelayan masyarakat sekalipun hartanya didapat dengan cara halal bukan hal yang pantas mempertontonkan kemewahan. Dilingkungannya bisa jadi ada orang yang tidak makan, atau anak yang tidak mampu sekolah, atau bahkan orang tua renta yang hidup seorang diri tanpa ada yang mengurusnya.

Apakah semua pejabat bobrok moralnya seperti hal diatas? Jika dikatakan semua maka sangat berlebihan, namun yang jelas masih ada pejabat yang mengayomi, melayani, bahkan memberikan hartanya untuk kesejahteraan masyarakatnya. Lalu apa yang menjadi akar masalah dari bobroknya moralitas pejabat hari ini, akarnya ialah matinya rasa malu.

Dalam diri seseorang terdapat rasa yang disebut malu dan ini modal utama pejabat dalam mengawal kebijakan untuk tepat sasaran untuk mencapai kesejahteraan. Namun realitanya justru malu hilang sombong yang luar biasa selalu ditonjolkan. Merasa paling hebat karena pejabat, merasa punya power karena punya koneksi ke berbagai pejabat lain, bahkan mengancam bagi yang tidak ikut perintahnya. Gaya-gaya feodal abad 18 seharusnya sudah tidak laku tapi masih ada  yang melakukannya hari ini.

Memilih Pejabat Yang Bermoral

Para pejabat yang dipilih melalui pemilihan umum maka itu tugas rakyat sebagai pemegang kuasa untuk mampu menilai track record para kepala daerah atau wakil rakyat yang akan membuat kebijakan dalam lima tahun mendatang. Jika sejak awal sudah termakan bujuk rayu yang sungguh memesona bak pujangga yang kasmaran pada kekasihnya, maka alamat lima tahun akan merasakan pahitnya hidup karena ulah kebijakan tak tentu arah. Dalam menilai calon dalam pemilu sangat mudah dan efisien, dimulai dengan melihat dan mendengar bagaimana sepak terjang calon tersebut selama ini apakah ada kasus, atau berita buruk, atau masalah dengan hukum. Hal ini bisa dengan mudah dicari beritanya namun apa daya jika telah terkena siraman bujuk rayunya bukan mustahil sepak terjangnya bukan lagi persoalan.

Dalam demokrasi yang masih kita lakukan hari ini pemegang kuasa utama adalah rakyat, maka rakyat berhak menentukan siapa yang menjadi pelayannya dalam lima tahun yang akan datang. Namun politik yang tidak bersih dimulai dengan politik uang, saling sikut sana sini, saling menjelekkan hingga terjadi pembunuhan pada calon yang berkontestasi merupakan potret demokrasi Indonesia masih jauh dari kata sempurna. Jika sejak awal cara menang dalam pemilu sudah menghabiskan modal, tenaga yang besar maka dalam menjabat harus dicari gantinya  untuk mengembalikan modal. Hal ini sudah rahasia umum seluruh rakyat Indonesia. Maka puncak pengharapan tertuju para para pemilih yakni rakyat, apakah mau menjadi lebih baik atau lebih buruk arah bangsa ini kedepannya dimulai dari memilih pejabat yang berintegritas.

Pengawasan Ketat Terhadap Pejabat

Era digital hari ini memudahkan rakyat melihat tindak tanduk pejabatnya dari a-z, yang berarti keseluruhannya dapat dilihat oleh media. Maka oleh karena itu, pejabat seharusnya bekerja dengan sungguh- sungguh sebab amanat yang diembannya merupakan tanggung jawab yang harus ditunaikan. Jika mereka menyelewengkan jabatan yang diemban maka seyogyanya mereka harus mundur dan meminta maaf atas perbuatannya, bukan justru tertawa riang pada media yang meliputnya. Sangat miris jika melihat potret pejabat saat ini, tidak lagi malu saat memakai baju oranye tahanan KPK atau Kejagung.

Dengan kemudahan media, maka rakyat dengan mudah memantau apa saja yang sudah dikerjakan oleh pejabatnya selama ia menjabat. Kebijakan yang minim pengawasan akan rentan terjadi tindakan penyelewengan. Maka lagi-lagi puncak pengharapan tertinggi ada pada rakyat yang hampir selalu tersedia gadget di genggaman maka seluruh kebijakan harus dikritisi untuk perbaikan dan pengawasan. Kita percaya bahwa kebijakan pemerintah ada yang baik dan buruknya, justru itulah menjadi titik kritisnya bagaimana menghadirkan kebijakan yang memihak untuk rakyat tidak untuk mereka yang punya uang untuk membeli kebijakan.

Aturan Untuk Mengatur Gaya Hidup Pejabat

Aturan yang ketat akan menyulitkan pejabat berbuat sewenang-wenang. Jika bukan tupoksi atau wewenangnya maka jangan coba mencampuri karena itu melanggar aturan. Hari ini terjadi miskonsepsi, bahwa pejabat dengan segala hal yang ia punya ia berhak mengatur semua hal bahkan yang bukan urusannya juga turut dipersoalkan. Atau pejabat yang mempertontonkan hal tidak pantas dirinya sebagai abdi masyarakat.hal ini jika secara aturan berjalan harusnya sudah mendapat peringatan hingga sanksi dipecat dari jabatannya. Maka secara akal sehat sangat sulit menjadi pejabat, kebijakannya dipantau, gaya hidup tidak berlebihan, serta menjaga hubungan baik dengan masyarakat.

Bukan hal mudah menjadi pelayan masyarakat yang berintegritas namun jika sudah terpilih harus mampu menjalankannya. Tantangan dan rintangan bukan persoalan jika membawa nama rakyat dan jika merupakan orang baik akan dibela oleh rakyat yang di daerahnya. Aturan menjadi tolak ukur seberapa jauh negeri ini menginginkan kemajuan, jika aturan masih ditegakkan kemajuan merupakan tujuaan jika aturan ditabrak dengan dalih yang penuh alasan menandakan negeri ini tak akan maju berprinsip dan bermoral.

 

Mata Banua Online

© 2025 PT. Cahaya Media Utama

  • S0P Perlindungan Wartawan
  • Pedoman Media Siber
  • Redaksi

No Result
View All Result
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper