
Tulisan ini awalnya disiapkan untuk Simposium Kebebasan Sipil yang digelar oleh Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Lambung Mangkurat. Naskahnya sempat tertinggal di folder laptop, seperti ide yang belum sempat disuarakan. Penulis tumbuh di tengah politik yang ramai di layar, tetapi sepi di hati. Setiap hari, ponsel menampilkan drama elite yang berganti pemeran dan janji yang diulang tanpa malu. Di balik itu semua, ada rasa lelah yang menumpuk: lelah menyimak, lelah berharap, lelah percaya.
Fenomena ini dikenal sebagai politicalfatigue — kelelahan emosional terhadap politik yang kehilangan arah dan makna. Survei terbaru menunjukkan 59 persen Gen Z tidak puas terhadap demokrasi di Indonesia, sementara hanya 1,7 persen yang merasa sangat puas. Angka kecil itu menggambarkan generasi yang tumbuh menyaksikan politik berjalan seperti drama tanpa naskah.
Demokrasi kerap dikendalikan segelintir elite, sementara suara muda hanya menjadi dekorasi. Kedaulatan rakyat berhenti di podium upacara. Ruang partisipasi publik dibuka sedikit, seperti jendela yang dibiarkan renggang sekadar agar udara bisa disebut masuk. Dari celah itu, tumbuh kelelahan: rasa ingin tahu yang tak dijawab dan harapan yang jarang diberi kesempatan hidup.
Demokrasi yang Terasa Jauh
Bagi banyak anak muda, demokrasi hari ini seperti pertunjukan dengan panggung lama dan aktor yang sama. Tiketnya mahal, naskahnya berulang, dan penonton diminta tepuk tangan lalu disalahkan ketika bosan. Pemilu dan parlemen tampak megah, tapi terasa jauh dari publik.
Generasi muda sering dicap terlalu cepat menilai, terlalu muda untuk mengerti, atau terlalu cerewet untuk dihargai. Padahal mereka lahir di tengah arus informasi yang deras, dengan kemampuan membaca data lebih cepat daripada sebagian pembuat kebijakan. Mereka tahu membedakan propaganda dari pendapat, tapi negara belum tahu cara mendengarkan mereka.
Sebagian mulai bertanya lirih: apakah demokrasi masih menjawab kebutuhan zaman? Seperempat Gen Z menilai demokrasi tak selalu relevan, sebagian lain menganggap politik hanyalah sirkus yang kehilangan humor. Pertanyaan itu lahir bukan dari apatisme, melainkan dari kasih yang terlalu dalam pada negeri ini.
Resiliensi di Ruang Digital
Meski lelah, generasi muda tidak diam. Mereka mencari panggung lain, tempat yang tak butuh mikrofon, cukup jaringan dan keberanian. Mereka menulis catatan panjang di Instagram, membuat video singkat di TikTok, atau menciptakan meme yang lebih jujur dari konferensi pers pejabat. Humor menjadi cara paling aman untuk menyampaikan kemarahan.
Gerakan #ReformasiDikorupsi pada 2019 menjadi titik balik. Ribuan turun ke jalan, jutaan bersuara lewat layar. Tagar, infografis, dan video pendek menjadi pengeras suara baru bagi publik. Sejak itu, aktivisme digital menjadi bentuk politik baru. Kadang ruang virtual terasa lebih demokratis daripada ruang sidang.
Demokrasi kini menjelma dalam carousel edukatif, diskusi daring, dan komentar yang menohok di kolom berita. Di sana, penulis menemukan percakapan yang lebih jujur daripada debat parlemen. Kadang memang bising, tapi setidaknya suara itu nyata.
Sumpah Pemuda yang Dilanjutkan
Pada peringatan Sumpah Pemuda, penulis kembali teringat pada keberanian generasi 1928. Mereka berkumpul tanpa undangan kekuasaan, bersatu karena keyakinan sederhana: Indonesia lahir dari keberanian sepakat.
Hampir seabad berlalu, semangat itu masih hidup, hanya medianya yang berganti. Anak muda kini tidak berorasi di lapangan, melainkan di ruang digital. Mereka membuat konten edukatif di TikTok, menulis refleksi di X, dan mengubah unggahan menjadi gerakan. Sejarah menulis ulang dirinya sendiri dalam format vertikal.
Persatuan hari ini tidak lagi tentang keseragaman, tetapi keberpihakan. Generasi muda berdiri untuk lingkungan, kesetaraan, hak digital, dan keadilan sosial yang sering tersisih dari rapat anggaran. Jika generasi 1928 bersumpah untuk satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa, maka generasi kini menambahkan satu ikrar baru: menegakkan Indonesia yang waras di tengah kebisingan.
Tantangan dan Harapan
Ruang digital memberi panggung baru bagi demokrasi, meski panggung itu kadang licin. Informasi palsu datang seperti spam di tengah malam, ruang gema mempersempit pandangan, dan politik sering menjelma hiburan yang menyiarkan gaduh tanpa isi. Namun di balik layar, generasi muda belajar menjadi warga yang lebih bijak. Mereka menunda komentar, memeriksa sumber, dan menyalakan empati di antara algoritma yang sibuk menilai tanpa memahami.
Generasi ini lahir bersama layar, namun perlahan belajar menatap dunia di baliknya. Mereka tahu tak semua yang viral itu benar, dan tak semua yang diam itu salah. Perubahan tidak selalu datang dari rapat besar, kadang lahir dari unggahan kecil yang membuat satu orang berpikir ulang. Di antara riuh dan letih, generasi ini tetap mencari cara agar akal sehat punya tempat di tengah kebisingan digital.
Kelelahan mereka bukan tanda menyerah, melainkan jeda untuk menata ulang keyakinan. Sebab mencintai demokrasi juga berarti berani kecewa padanya. Dan di antara kecewa itu, penulis melihat secercah cahaya: generasi muda yang menulis sumpahnya sendiri di ruang obrolan, di thread panjang, di karya sederhana yang jujur. Sumpah untuk terus berpikir kritis, menjaga nalar, dan percaya bahwa negeri ini masih bisa diperbaiki, baik dari layar maupun dari jalanan.

