Oleh: Muhammad Zakif (Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Andalas)
Fenomena pamer harta kekayaan orang tua di media sosial belakangan ini menghebohkan publik Indonesia. Sejumlah anak muda percaya diri memamerkan mobil mewah, tas bermerek, dan uang segepok seolah itu tanda kesuksesan sejati. Era digital yang pesat ini telah membawa perubahan yang besar dalam perilaku dan interaksi sosial, terutama pada remaja. Perkembangan teknologi ini memengaruhi moralitas remaja, yang menjadi semakin kompleks dan rentan terhadap pengaruh negatif dari dunia digital yang luas dan tidak terkendali. Teknologi ini sudah dapat diakses oleh berbagai kalangan masyarakat di Indonesia dengan berbagai lapisan masyarakat dan kategori usia.
Generasi Z yang lahir antara tahun 1996-2010, muncul sebagai suara baru di berbagai bidang: dari tempat kerja, lingkungan sosial, kampanye politik, hingga isu-isu keadilan dan hak asasi. Mereka tidak takut bersuara dalam perihal mengubah sesuatu menjadi lebih baik. Meskipun banyak menguasai teknologi dan memiliki potensi besar dalam ekonomi digital, Generasi Z juga menghadapi tantangan besar terkait kesehatan mental dan tekanan sosial. Tekanan ini sering kali muncul dari ekspektasi tinggi di media sosial, di mana mereka merasa harus memenuhi standar tertentu dan membandingkan diri dengan orang lain.
Kasus Mario Dandy pada tahun 2023, anak pejabat pajak yang kerap memamerkan mobil Rubicon dan motor gede,bermula dari sebuah unggahan yang menceritakan seorang pelajar dijemput mobil Rubicon, lalu dianiaya di Pesanggrahan, Jakarta Selatan, Viral di media sosial. Penganiayaan tersebut diketahui terjadi pada Senin, 20 Februari 2023. Korban diketahui bernama David anak salah satu pengurus pusat GP Ansor, di Pesanggrahan, Jakarta Selatan. Sementara pelaku Mario Dandy Satrio, anak pejabat pajak, Ironis nya akibat buntut kasus penganiayaan yang dilakukan anak salah satu pejabat pajak.
Lebih lanjut, citra keluarga Rafael yang sebelumnya baik kini terancam oleh dugaan korupsi dan gaya hidup mewah, yang memicu kritik dan spekulasi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut Rafael Alun Trisambodo bersama istrinya Ernie Meike Torondek menerima gratifikasi sebesar Rp18.994.806.137,00 secara bertahap sejak bulan Mei 2002 hingga Maret 2013. Kini mantan pejabat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Rafael Alun Trisambodo divonis 14 tahun penjara dan denda sebesar Rp500 juta subsider 3 bulan penjara dalam kasus dugaan gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Di sisi lain, berita remaja depresi akibat perundungan (cyberbullying) makin sering muncul. Fenomena ini menunjukkan wajah lain era digital: di balik layar penuh cahaya, tersembunyi kehampaan dan luka batin. Kasus baru-baru ini, kasus Kematian Timothy Anugerah Saputera (22) yang diduga melompat dari salah satu gedung di Universitas Udayana, Bali, memunculkan spekulasi perundungan yang diduga dialaminya. Dugaan perundungan di perguruan tinggi tersebut mengemuka setelah seorang mahasiswa, Timothy Anugerah Saputra, ditemukan terkapar di halaman gedung FISIP Universitas Udayana setelah melompat dari lantai empat gedung fakultas itu pada Rabu (15/10).
Dilansir dari beberapa media yang penulis himpun, Timothy dinyatakan meninggal setelah sempat mendapatkan perawatan di rumah sakit. Kondisi Timothy saat itu tersebar di grup Whatsapp sebagian mahasiswa yang tergabung di himpunan mahasiswa dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Alih-alih bersimpati dan berempati, para mahasiswa di grup tersebut malah mengolok-olok.
Konsumsi Gaya Hidup dan FOMO
Fenomena Fear of Missing Out (FOMO) FOMO merupakan perasaan takut atau cemas seseorang yang muncul di saat seseorang tersebut merasa tertinggal seperti ketinggalan acara atau trend terbaru yang di ikuti teman teman nya atau orang orang di media sosial. sangat berpengaruh pada kehidupan Generasi Z. Mereka sering merasa terdesak untuk mengikuti tren terbaru dan gaya hidup yang dipromosikan oleh influencer atau selebriti di media sosial. FOMO ini tidak hanya terbatas pada acara sosial atau pengalaman tertentu, tetapi juga merambah ke gaya hidup konsumtif, di mana mereka merasa harus membeli produk terbaru atau mengikuti pola hidup tertentu agar tetap dianggap keren atau diterima oleh teman-teman mereka. Hal ini berpotensi membuat mereka terjebak dalam pola konsumsi yang berlebihan. Menurut Indonesia Digital Report 2023, terdapat 167 juta pengguna aktif media sosial di Indonesia atau sekitar 60 persen populasi. Rata-rata
Penggunaan mencapai 3 jam 18 menit per hari. Data ini membuktikan ruang digital telah menyatu dalam kehidupan sehari-hari. Tidak sedikit generasi muda hari ini tampil sebagai aktivis lingkungan, esok gamer, lusa komentator politik. Identitas tidak lagi soal siapa diri kita, melainkan bagaimana kita terlihat di dunia digital, Byung-Chul Han dalam “The Burnout Society” (2010) menyebut manusia kini hidup dalam masyarakat prestasi: tuntutan untuk selalu lebih viral, produktif, dan kreatif. Jika dahulu tekanan datang dari luar, kini datang dari dalam diri sendiri. Tekanan ini nyata di berbagai platform. Banyak kreator konten mengaku lelah karena harus terus membuat tayangan agar tidak ditinggalkan pengikut sekaligus demi pemasukan.
Era digital memang membawa kemudahan komunikasi, tetapi juga melahirkan tragedi baru: citra menggantikan makna, kedangkalan menggerus kedalaman, produktivitas berujung pada kelelahan. Namun tragedi ini tidak harus menjadi akhir. Ia bisa menjadi panggilan untuk membangun kehidupan digital yang lebih sehat, otentik, dan manusiawi. Kita dihadapkan pada pilihan: terus terjebak dalam kedangkalan citra, atau menjadikan digital sebagai sarana memperkaya hidup bersama. Pilihan kedualah yang layak ditempuh, Agar layar bercahaya tidak menutupi kegelapan batin, melainkan membuka ruang bagi kemanusiaan yang utuh dan mendalam. Penggunaan media digital, seperti platform media sosial, situs web, dan aplikasi mobile, memberikan akses yang luas bagi masyarakat untuk mengkonsumsi informasi.

