Oleh: Saadah, S.Pd,
Pendidik dan Pemerhati Sosial Kemasyarakatan
Belum lama ini, Kementerian Agama Kalimantan Selatan menggelar kegiatan bertajuk “Temu Konsultasi Pencegahan Konflik Paham Keagamaan”. Acara ini melibatkan tokoh lintas agama—dari Islam, Kristen, Hindu, Buddha, hingga penghayat kepercayaan. Tujuannya mulia: memperkuat toleransi, membangun dialog, dan mencegah konflik akibat perbedaan pemahaman keagamaan. (https://kalsel.antaranews.com, 27 Agustus 2025)
Langkah seperti ini memang patut diapresiasi. Dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia, menjaga harmoni sosial adalah kebutuhan. Namun, upaya ini akan kehilangan daya guna jika tidak disertai pemahaman mendalam tentang akar persoalan yang sebenarnya. Terlebih jika konflik yang dimaksud lebih banyak berbentuk narasi dan asumsi, bukan fakta nyata di masyarakat.
Konflik Paham Agama: Fakta Sosial atau Isu Strategis?
Jika kita melihat langsung ke tengah masyarakat, khususnya di Kalimantan Selatan, tidak tampak adanya konflik serius antarumat beragama. Warga dari berbagai latar keyakinan justru banyak terlibat dalam kerja sama sosial dan kegiatan gotong royong yang memperkuat ikatan kultural.
Kalaupun ada ketegangan, umumnya terjadi secara insidental, bersifat lokal, dan dapat diselesaikan dengan pendekatan kearifan lokal yang sudah terbukti efektif. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia pada dasarnya toleran dan terbuka.
Namun, di tengah suasana yang relatif damai, narasi tentang ancaman konflik paham agama terus digulirkan. Program nasional seperti Moderasi Beragama dijadikan kerangka besar untuk mengarahkan pemahaman keagamaan ke arah yang dianggap “moderat”. Ini menimbulkan pertanyaan: apakah narasi konflik ini memang berbasis data dan fakta, atau sekadar dijadikan dasar untuk mengatur ulang cara beragama umat?
Bukan Perbedaan, Tapi Kebingungan Arah
Perbedaan dalam memahami agama sejatinya sudah ada sejak dahulu, dan itu lumrah. Namun ketika perbedaan tidak diarahkan pada dasar pemahaman yang benar, maka yang terjadi bukan lagi keragaman sehat, melainkan kebingungan kolektif.
Hari ini, kita menyaksikan bagaimana pemahaman agama berkembang secara liar:Ada yang memahami agama sebatas ibadah ritual, tanpa kaitan dengan kehidupan sosial-politik.Ada pula yang memaknai ajaran agama dengan pendekatan liberal, mencampuradukkan antara nilai-nilai Islam dengan ideologi sekular.Di sisi lain, ada kelompok yang ingin mengembalikan ajaran Islam secara menyeluruh, namun justru sering dicurigai dan distigmatisasi.
Dalam suasana seperti ini, negara belum mengambil peran yang cukup tegas untuk mengarahkan umat kepada pemahaman yang sahih. Di sisi lain, negara aktif mendorong narasi moderasi yang kerap justru membingungkan umat tentang batas benar dan salah dalam beragama.
Pembinaan Pemahaman: Tanggung Jawab Negara
Idealnya, negara memiliki peran penting sebagai pembina umat. Negara tidak sekadar menjadi penengah ketika konflik muncul, tetapi harus menjadi penuntun umat agar memiliki pemahaman agama yang benar, menyatu, dan tidak saling bertentangan.
Dalam Islam, konsep ini sangat jelas. Negara bertanggung jawab untuk menyebarluaskan pemahaman yang bersumber dari Al-Qur’an, Sunnah, dan metode ijtihad yang sahih. Negara juga harus mencegah berkembangnya paham-paham yang menyimpang dan merusak akidah umat—baik itu ekstrem literal maupun liberal relativistik.
Model seperti ini pernah diterapkan dalam sejarah panjang peradaban Islam, terutama dalam institusi Khilafah. Di bawah sistem itu, masyarakat—meski beragam suku, budaya, dan mazhab—dinaungi oleh satu kerangka nilai yang jelas. Negara menjadi penjaga arah pemikiran dan pemersatu visi keumatan.
Menjamin Hak, Menjaga Kebenaran
Penting digarisbawahi bahwa dalam sistem Islam, keberagaman keyakinan tetap dijamin, selama tidak mengganggu ketertiban umum dan tidak menyebarkan ide yang merusak akidah umat. Non-Muslim hidup damai sebagai warga negara yang dilindungi, bebas menjalankan ibadahnya, dan diperlakukan adil.
Namun negara tidak netral dalam soal kebenaran. Negara berdiri di atas fondasi akidah Islam yang menjadi dasar dalam menentukan benar dan salah, baik dan buruk. Dengan demikian, pembinaan umat tidak didasarkan pada toleransi semu, tapi pada standar kebenaran yang jelas dan adil.
Relasi Penguasa dan Rakyat: Ideologis dan Akuntabel
Solusi yang menyeluruh juga harus mencakup relasi antara penguasa dan rakyat. Dalam Islam, penguasa adalah pihak yang bertanggung jawab atas urusan umat. Mereka bukan sekadar administrator, tetapi juga pemimpin yang menjalankan amanah dari Allah SWT.
Rakyat, di sisi lain, bukan hanya objek yang harus diam dan patuh. Mereka diberi ruang untuk muhasabah (mengoreksi) penguasa jika menyimpang, bahkan menuntut pertanggungjawaban melalui mekanisme yang sah. Dalam sistem Khilafah, lembaga seperti Majelis Umat dan Mahkamah Mazhalim menjadi instrumen kontrol dan partisipasi rakyat yang nyata.
Dengan struktur ini, terbangun suasana saling menjaga antara rakyat dan penguasa. Masyarakat tidak sekadar didorong untuk toleran, tapi juga dibina agar paham dan peduli terhadap nilai-nilai agama secara utuh.
Arahkan Dialog pada Perubahan Substansial
Temu konsultasi lintas agama seperti yang dilakukan Kemenag Kalsel adalah langkah yang baik. Namun agar tidak sekadar menjadi forum simbolik, perlu ada keberanian untuk menyentuh akar persoalan: arah pembinaan umat, kepastian nilai kebenaran, dan posisi negara sebagai penuntun umat, bukan sekadar penengah.
Dialog harus diarahkan untuk mengokohkan pondasi pemahaman yang lurus, bukan malah mengaburkan batas-batas kebenaran dengan dalih kerukunan. Karena kerukunan yang sejati tidak dibangun di atas kompromi ideologi, melainkan pada kejelasan nilai, keadilan, dan pembinaan yang terarah.
Sudah saatnya kita tidak hanya mencegah konflik, tapi juga menghadirkan sistem kehidupan yang mampu menyatukan umat dalam pemahaman yang benar dan kehidupan yang adil. Inilah yang ditawarkan Islam melalui sistemnya yang menyeluruh—dan inilah solusi yang perlu dipertimbangkan dengan serius.

