Mata Banua Online
Senin, Oktober 27, 2025
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper
Mata Banua Online
No Result
View All Result

Santri Menjejak Era Modern

by Mata Banua
27 Oktober 2025
in Opini
0
D:\2025\Oktober 2025\28 Oktober 2025\8\Opini Selasa\Master opini.jpg
ant/ Ilustrasi – Suasana Pondok Pesantren Pabelan di Desa Pabelan, Kecamatan Mungkid, Magelang, Jawa Tengah.

Oleh: Zubi Mahrofi

Lantunan ayat suci bergaung dari balik tembok Pondok Pesantren Pabelan di Magelang, Jawa Tengah, pagi itu. Udara pegunungan yang sejuk menemani aktivitas para santri yang tengah membaca dan menghafal Al-Qur’an, serta berdiskusi tafsir.

Berita Lainnya

D:\2025\Oktober 2025\28 Oktober 2025\8\Opini Selasa\Ruben Siagian.jpg

Konflik Venezuela–Amerika Serikat 2025 adalah Cermin Geopolitik Dunia Multipolar dan Bayangan Perang Energi Baru

27 Oktober 2025
D:\2025\Oktober 2025\27 Oktober 2025\8\8\master opini.jpg

KTT Ke-47 ASEAN dan Harapan Baru bagi Masa Depan Komunitas

26 Oktober 2025

Di tengah hiruk-pikuk era digital, kehidupan para santri tetap berjalan dengan ketenangan khas pesantren: disiplin, sederhana, dan penuh semangat dalam menuntut ilmu.

Di balik kesederhanaan itu, pesantren, seperti Pabelan, sudah menjadi bagian dari gerak besar pendidikan Indonesia.

Sejak Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren disahkan, geliat dunia pesantren semakin terasa. UU ini mengakui pesantren sebagai lembaga pendidikan yang memiliki fungsi pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan masyarakat.

Berdasarkan data Kementerian Agama per September 2025, jumlah pesantren di Indonesia kini mencapai 42.391 unit, dengan total 1.605.445 santri yang tersebar di 34 provinsi. Di antara jutaan santri itu, sekitar 816.519 adalah santri putra, dan 788.926 santri putri.

Angka itu naik signifikan, lebih dari 11 ribu pesantren baru berdiri dalam enam tahun terakhir. Lonjakan ini bukan hanya mencerminkan antusiasme masyarakat terhadap pendidikan berbasis keagamaan, tapi juga kepercayaan terhadap pesantren sebagai benteng moral bangsa.

Menteri Agama Nasaruddin Umar menegaskan, kekuatan pesantren bukan hanya pada aspek keilmuannya, melainkan juga pada kemampuannya menyeimbangkan antara kecerdasan rasional dan nilai-nilai spiritual.

Pesantren Pabelan, misalnya, dikenal sebagai pesantren modern yang tetap berakar kuat pada nilai-nilai klasik. Didirikan lebih dari setengah abad lalu oleh K.H Hamam Jafar, lembaga ini menanamkan semangat kemandirian dan keterbukaan bagi para santrinya.

Di sini, para santri tak hanya mempelajari kitab kuning, tetapi juga menguasai teknologi hingga bahasa asing. Pendekatan ini menunjukkan bahwa pesantren mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman tanpa kehilangan identitasnya.

Selain itu, nilai gotong royong dan ukhuwah yang tertanam di pesantren menjadi fondasi kuat menjaga harmoni sosial.

Di samping itu, banyak pesantren kini memiliki unit usaha produktif seperti koperasi, berbasis kemandirian santri.

Jejak Hari Santri

Setiap 22 Oktober, gema Hari Santri Nasional kembali menggugah ingatan kolektif bangsa. Tanggal itu bukan sekadar simbol seremonial, melainkan penanda sejarah perjuangan ulama dan santri dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Sejarahnya bermula pada 22 Oktober 1945, ketika KH Hasyim Asy’ari mengeluarkan Resolusi Jihad di Surabaya. Seruan itu membangkitkan semangat rakyat untuk berjuang mempertahankan kedaulatan Indonesia dari penjajahan. Delapan puluh tahun kemudian, semangat jihad keilmuan dan kebangsaan itu masih hidup di dada para santri.

Usulan untuk menjadikan Hari Santri sebagai peringatan nasional pertama kali muncul pada 27 Juni 2014. Kala itu, ratusan santri dari Pondok Pesantren Babussalam, Malang, Jawa Timur, mengusulkan kepada calon Presiden Joko Widodo agar 1 Muharam ditetapkan sebagai Hari Santri. Namun, setelah melalui berbagai pertimbangan, pemerintah akhirnya menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional melalui Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015.

Sejak saat itu, setiap pesantren di penjuru negeri memperingatinya dengan beragam kegiatan, mulai doa bersama, lomba-lomba yang mengasah kreativitas santri, hingga diskusi kebangsaan yang membahas peran santri di masa depan.

Pendidikan di pesantren tidak lagi hanya soal hafalan Al-Quran atau memahami fiqih, tetapi juga tentang bagaimana santri bisa menjadi pemimpin yang berwawasan global, toleran, dan mampu menjawab tantangan zaman.

Banyak di antara santri kini hadir di ruang publik, menjadi guru, dokter, penulis, akademisi, konten kreator hingga pengusaha yang tetap memegang teguh nilai-nilai moderasi beragama. Mereka menjadi penanda bahwa pesantren bukan lembaga tradisional yang tertinggal.

Tantangan pesantren hari ini tidak ringan di tengah derasnya arus globalisasi dan digitalisasi. Dunia digital membawa peluang sekaligus ancaman.

Di satu sisi, teknologi membuka akses pembelajaran tanpa batas, memungkinkan santri untuk mengakses pengetahuan dari berbagai penjuru dunia. Di sisi lain, teknologi juga membawa risiko disinformasi, radikalisme daring, dan degradasi moral.

Namun, pesantren tidak tinggal diam. Santri dididik untuk menjadi penyeimbang dengan menyebarkan narasi positif dan moderat. Mereka dilatih untuk memahami etika digital, termasuk cara menyaring informasi dan menyampaikan pesan dakwah dengan cara yang relevan bagi generasi milenial dan Gen Z. Dengan demikian, pesantren tidak hanya menjadi tempat belajar agama, tetapi juga laboratorium sosial.

Banyak pesantren mulai mengintegrasikan teknologi dalam kurikulum mereka, mempersiapkan santri untuk menghadapi era digital dengan bijak.

Di sejumlah pesantren, para santri kini aktif membuat konten dakwah digital, mengelola media pesantren, bahkan belajar digital marketing. Dengan begitu, mereka tak hanya menjadi penjaga moral, tapi juga pelaku ekonomi kreatif.

Program Santri Digitalpreneur yang diinisiasi oleh pemerintah juga menjadi salah satu wujud adaptasi pesantren terhadap perkembangan zaman. Program ini menjadi wadah pelatihan dan peningkatan kapasitas santri dan generasi milenial dalam menghadapi tantangan industri digital kreatif

Peringatan Hari Santri Nasional 2025 ini menjadi momentum refleksi sejauh mana peran pesantren dan santri dalam membangun Indonesia. Dari masa perjuangan hingga era digital, santri selalu hadir dalam setiap babak sejarah bangsa.

Kini, tantangannya bukan lagi mengangkat senjata, tetapi memegang pena, laptop, atau gawai untuk menyebarkan ilmu serta meneguhkan nilai-nilai kebangsaan.

Pesantren dituntut untuk terus relevan di tengah perubahan zaman. Kurikulum pendidikan harus terus dikembangkan mencakup keterampilan abad 21 tanpa mengorbankan nilai-nilai keislaman.

Santri juga diharapkan menjadi motor penggerak pembangunan yang tetap berpegang pada identitas ke-Islamannya, menggabungkan nilai-nilai keislaman dengan kemajuan teknologi.

Ribuan pesantren di tanah air kini terus meneguhkan peran itu, menjadi rumah bagi generasi yang berilmu, berakhlak, dan cinta tanah air. (ant)

 

Mata Banua Online

© 2025 PT. Cahaya Media Utama

  • S0P Perlindungan Wartawan
  • Pedoman Media Siber
  • Redaksi

No Result
View All Result
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper