Oleh: Deza Putra Adelyen (Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Andalas & Demisioner Ketua Komisariat GMNI Unand 2025)
Kebijakan publik yang baik tidak cukup hanya dirancang dengan niat mulia. Ia harus sampai pada sasaran yang tepat, dalam waktu yang tepat, dengan cara yang tepat. Namun realitas menunjukkan bahwa jarak antara meja perumusan kebijakan dengan implementasi di lapangan kerap masih terlalu jauh. Pertanyaan mendasar yang harus kita ajukan bukan lagi siapa yang bertanggung jawab ketika kebijakan meleset, melainkan mengapa sistem kita masih membiarkan celah itu terbuka.
Di tahun 2025 ini, pemerintah telah menunjukkan langkah strategis dalam memperbaiki tata kelola kebijakan. Presiden Prabowo menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2025 tentang Data Tunggal Sosial dan Ekonomi Nasional. Menteri Sosial Saifullah Yusuf menegaskan bahwa data tunggal tersebut akan menjadi pedoman wajib bagi seluruh kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah dalam menyalurkan bantuan pemerintah (Sekretariat Kabinet RI, 2 Juni 2025). Inisiatif ini menandai keseriusan negara dalam membangun sistem yang lebih terintegrasi dan terukur.
Namun, membangun sistem adalah satu hal. Memastikan sistem itu bekerja optimal adalah hal lain. Inilah urgensi dari apa yang perlu kita sebut sebagai Audit Sistemik, sebuah pendekatan yang melampaui pemeriksaan administratif dan keuangan konvensional. Audit Sistemik adalah metodologi untuk mengevaluasi kesehatan proses kebijakan secara menyeluruh, dari tahap desain hingga implementasi, dari pusat hingga daerah, dari pembuat kebijakan hingga penerima manfaat akhir.
Berbeda dengan audit tradisional yang cenderung reaktif, yaitu memeriksa setelah masalah terjadi, Audit Sistemik bekerja secara preventif. Ia mengajukan pertanyaan kritis sejak awal: Apakah desain kebijakan sudah mengantisipasi potensi moral hazard? Apakah mekanisme pelacakan end-to-end sudah tersedia? Apakah ada sistem peringatan dini ketika terjadi deviasi? Dengan kata lain, Audit Sistemik tidak menunggu kebocoran untuk menambal lubang, melainkan memastikan tidak ada lubang sejak awal.
Beberapa daerah telah menunjukkan praktik pengawasan yang lebih matang. Inspektorat Provinsi Jawa Tengah menyusun tema pengawasan tahun 2025 berdasarkan Perencanaan Pengawasan Berbasis Risiko (PPBR), dengan fokus pada ketahanan pangan, lingkungan hidup, dan investasi (Inspektorat Jateng, 31 Oktober 2024). Pendekatan berbasis risiko ini adalah contoh nyata bagaimana pengawasan dapat dirancang secara strategis, bukan sekadar merespons keluhan.
Tiga Pilar Penguatan Sistem Kebijakan
Untuk mewujudkan Audit Sistemik yang efektif, tiga pilar strategis perlu dibangun secara kolaboratif.
Pertama, digitalisasi dengan prinsip keterlacakan penuh. Setiap tahapan kebijakan, dari alokasi anggaran, penetapan penerima manfaat, hingga realisasi program, harus tercatat dalam sistem digital yang transparan dan dapat diaudit secara real-time. Ini bukan sekadar urusan teknologi, tetapi tentang menghilangkan ruang abu-abu tempat inefisiensi dan penyimpangan berkembang. Transparansi digital melindungi semua pihak: birokrat yang bekerja dengan integritas, penerima manfaat yang berhak, dan publik yang mengawasi.
Kedua, sinergi antara pemerintah dan lembaga akademik dalam mendesain kebijakan. Universitas dan pusat kajian memiliki kapasitas metodologis dan analisis data yang dapat memperkuat validitas kebijakan sejak tahap perumusan. Sebagaimana diamanatkan PP 13/2019 tentang Laporan dan Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, evaluasi kinerja harus berbasis indikator terukur dan objektif. Keterlibatan akademisi memastikan bahwa kebijakan lahir dari basis empiris yang kredibel, bukan asumsi atau tekanan politik sesaat.
Ketiga, penguatan koordinasi pengawasan kelembagaan. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 2025 tentang Perencanaan Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah menekankan sinkronisasi pengawasan antara provinsi dan kabupaten/kota untuk mencegah tumpang tindih atau kekosongan pengawasan (Permendagri 2/2025). Koordinasi yang baik tidak hanya mendeteksi masalah, tetapi lebih penting lagi, mengidentifikasi peluang perbaikan struktural.
Efektivitas sistem terkoordinasi telah terbukti di sektor perpajakan. Direktorat Jenderal Pajak melaporkan bahwa hingga triwulan II tahun 2025, kerjasama pengawasan dengan pemerintah daerah menghasilkan realisasi penerimaan yang signifikan (DJP, 15 Oktober 2025). Ini adalah bukti empiris bahwa ketika berbagai pihak bekerja dalam kerangka sistemik yang sama, hasil yang dicapai jauh lebih optimal dibanding kerja parsial.
Audit Sistemik bukan instrumen kecurigaan terhadap birokrasi. Ia adalah investasi untuk memperkuat kapasitas institusi dalam melayani publik. Dengan membangun sistem yang preventif dan berbasis bukti, kita menciptakan politik yang dewasa, di mana kritik dipandang sebagai bahan perbaikan, bukan ancaman. Ini adalah jalan menuju masa depan di mana setiap kebijakan yang dibuat dapat menjamin dampaknya bagi kesejahteraan dan keadilan, dari daerah hingga nasional. Negara yang kuat tidak dibangun dari ketiadaan masalah, tetapi dari kemampuan kita mengelola dan memperbaiki sistem secara berkelanjutan. Dan itu dimulai dari keberanian kita untuk berpindah dari pendekatan reaktif ke preventif, dari mencari kesalahan ke membangun solusi.

