Mata Banua Online
Minggu, November 9, 2025
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper
Mata Banua Online
No Result
View All Result

Setahun Prabowo dan Militerisasi Sipil

by Mata Banua
21 Oktober 2025
in Opini
0
D:\2025\Oktober 2025\22 Oktober 2025\8\8\Wira Dika Orizha Piliang.jpg
Wira Dika Orizha Piliang (Peneliti Imparsial)

20 Oktober 2025 menandai satu tahun perjalanan Pemerintahan Prabowo-Gibran yang kian memperlihatkan wajah baru otoritarianisme. Tidak ada pelarangan partai atau pembubaran media, tetapi kontrol terhadap ruang sipil semakin ketat melalui mekanisme politik dan regulasi yang membungkam suara publik. Penekanan stabilitas nasional, dan narasi pembangunan berdaulat dijalankan dengan legitimasi tinggi, namun minim partisipasi publik. Rezim tampak stabil di permukaan, tetapi rapuh secara demokratis. Semua keputusan mengalir dari atas ke bawah, sementara suara rakyat kian kehilangan ruang.Demokrasi tanpa penyeimbang adalah demokrasi tanpa napas, ia hanya hidup di atas kertas.

Demokrasi hari ini tidak lagi menjadi kompas utama arah bernegara. Kebebasan sipil yang kian menyempit, kritik terhadap pemerintah dibungkam lewat stigma anti-nasional, dan kekuasaan yang terkonsentrasi pada satu poros.Institusi yang seharusnya menjadi penyeimbang kekuasaan—parlemen, media, dan masyarakat sipilsemakin kehilangan taringnya. Koalisi partai yang gemuk semakin mengukuhkan parlemen hanya berperan sebagai pengesah kebijakan, dan fungsi pengawasan kian bias adanya. Media makin berhati-hati menulis kritik terhadap pemerintah. Sementara organisasi masyarakat sipil menghadapi tekanan administratif dan politik yang menghambat kebebasan bersuara.

Berita Lainnya

D:\2025\November 2025\7 November 2025\8\8\master opini jumat.jpg

Masjid Ali bin Abi Thalib, Cerminan Kesederhanaan di Kota Nabi

6 November 2025
D:\2025\November 2025\7 November 2025\8\8\Sasbarnudiin.jpg

Kolaborasi Membentuk Pola Kenyamanan Bermasyarakat

6 November 2025

27 Tahun sudah era reformasi berlalu, namun alur perbaikan iklim demokrasi kian menemui jalan buntu, bahkan diambang kemunduran. Kebebasan berekspresi kian dibatasi, dan kritik politik distigmatisasi sebagai ancaman terhadap stabilitas.Masyarakat sipil ditekan secara halus, dan publik mulai terbuai dengan bujuk rayu penguasa, bahwa kekuasaan kuat adalah syarat kemajuan.Alexis de Tocqueville, filosof demokrasi asal Prancis pernah menulis bahwa bahaya terbesar bagi demokrasi bukanlah tirani terbuka, melainkan ketika rakyat secara sukarela menyerahkan kebebasannya demi kenyamanan dan stabilitas. Kini kata-kata itu menemukan gaungnya dalam realitas politik nasional.

Arus Militerisasi Sipil

Dalam satu tahun pertama ini, publik mulai bisa membaca arah dan karakter kekuasaan yang sedang terjadi. Kekuasaan justru mengorbankan semangat demokrasi dan supremasi sipil.Narasi stabilitas nasional menjadi mantra utama rezim Prabowo-Gibran. Akan tetapi, dibalik kata-kata yang terdengar meyakinkan itu terselip tanda-tanda kemunduran demokrasi. Perlahan namun pasti, militer kembali diperluas perannya ke ranah sipil, dan kekuasaan semakin terkonsentrasi tanpa penyeimbang yang memadai. Demokrasi yang seharusnya tumbuh melalui partisipasi dan kebebasan warganya, justru kian tereduksi menjadi prosedur tanpa substansi.

Reformasi 1998 telah mengamanatkan penghapusan dwifungsi ABRI, dan sejak saat itu semangat supremasi sipil dimulai. Cahaya terang menuju iklim demokrasi yang membaik tersebut, kini seakan kembali memasuki lorong kegelapan. Melalui Undang-undang No.3 Tahun 2025 Tentang Tentara Nasional Indonesia, penugasan perwira aktif ke kementerian dan lembaga sipil kini menjadi praktik yang wajar. Akibatnya militer kembali hadir dalam urusan non-pertahanan, mulai dari keamanan pangan, pengelolaan logistik nasional, hingga pendidikan karakter di sekolah. Seolah-olah, tidak ada urusan negara yang bisa diselesaikan jika tidak melibatkan militer di dalamnya.

Robert Dahl, seorang ilmuwan politik dan filosof demokrasi pernah mengatakan bahwa demokrasi hanya akan hidup, jika kekuasaan tersebar. Ketika suatu institusi yang tumbuh atas budaya arogansinya mengambil alih peran sipil, yang hilang bukan sekadar keseimbangan, tetapi juga ruang bagi masyarakat sipil untuk berpartisipasi menentukan arah negara.Negara yang terlalu bergantung pada kekuatan militer untuk mengatur kehidupan sipil, lambat laun akan kehilangan sifat demokrasinya. Tanpa distribusi kekuasaan yang sehat, rakyat kehilangan kendali atas negara, dan negara kehilangan moralitasnya. Pada titik ini, demokrasi jelas diambang karam.

Gejala Totalitarianisme

Setahun pemerintahan Prabowo-Gibran perlu diiringi dengan refleksi mendalam. Mungkin akan terdengar menyakitkan, bahwa demokrasi kita hari ini, baik disadari atau tidak oleh penguasa, sedang berada dalam persimpangan bahaya.Sebuah kekuasaan yang di atas kertas tampak tampil stabil dan menampilkan wajah nasionalis, namun menyimpan gejala kembalinya pola kekuasaan tunggal, yang kemudian dapat mengancam kebebasan sipil. Wajah kekuasaan berwujud demokratis, menyelimuti dengan sempurna gejala kekuasaan semi-militeristik.

Kekuasaan hari ini terus menggaungkanihwal stabilitas nasional, namun ia hadir bersama pengekangan ruang berekspresi. Supremasi sipil terus dikawal, tapipelibatan militer dalam urusan sipil, dan penyingkiran kelompok-kelompok kritis dari ruang publik terus terjadi. Demokrasi prosedural dipaksa terus berjalan, tetapi semangatnya menurun. Pemilihan umum dilaksanakan semeriah mungkin, namun oposisi dibungkam tak berdaya. Kebebasan pers masih ada, tapi ia tumbuh dengan rasa takut. Masyarakat sipil tetap bekerja sebagaimana mestinya, tapi dengan batas-batas regulasi yang menyekatnya. Bahkan perlawanan sipil masih terus hidup, tapi urung didengarkan penguasa.

Kondisi di atas mengingatkan kita pada apa yang pernah diperingatkan olehHannah Arendt, seorang filosof politik asal Jerman, bahwa totalitarianisme tidak selalu muncul dari kekerasan fisik, melainkan dari konsentrasi kekuasaan yang membuat warga berhenti berpikir dan merasa tidak lagi memiliki peran dalam politik.Dalam konteks realitas politik di Indonesia hari ini, kekuasaan yang terkonsentrasi pada satu figur dan institusi, dan tumbuh tanpa pengimbang yang efektif adalah bentuk baru dari totalitarianisme halus. Ia tidak menindas dengan kekerasan, tapi membungkam dengan normalisasi dan doktrin kepatuhan.

Demokrasi tanpa kritik adalah demokrasi yang berjalan dengan mata tertutup. Dalam jangka panjang, logika kepatuhan akan melahirkan generasi dengan doktrin komando, bukan lagi dengan landasan kebebasan berpikir.Jika situasi ini terus dibiarkan, kita mungkin tidak akan hidup di bawah rezim otoriter dalam arti klasik. Lebih buruk dari itu, dalam masyarakat totalitarian yang lembut, di mana semua tunduk pada satu narasi, satu kepemimpinan, dan hanya satu cara berpikir. Menumbuhkan kesadaran kolektif, dan terus menjaga ruang demokratis, mutlak untuk dilakukan.

Pada akhirnya, sejarah telah mencatat bahwa reformasi 1998 pernah berjuang keras menyingkirkan bayang-bayang dwifungsi militer. Dua dekade kemudian, tanpa suara senjata fungsi itu kembali bukan lewat kudeta, tetapi lewat legalitas dan loyalitas yang tumbuh atas doktrin kekuasaan. Demokrasi Indonesia tidak runtuh secara tiba-tiba–ia perlahan menua karena kehilangan daya kritik dan keberanian warganya. Satu tahun pemerintahan Prabowo-Gibran bukan sekadar catatan politik, melainkan peringatan bahwa demokrasi bisa mati hanya dengan senyum dan parade prajurit militer, dan bukan lagi melalui konfrontasi senjata.

 

Mata Banua Online

© 2025 PT. Cahaya Media Utama

  • S0P Perlindungan Wartawan
  • Pedoman Media Siber
  • Redaksi

No Result
View All Result
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper