
BANJARBARU – Ahli waris pemilik Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 9206 atas nama Sakirun, keberatan dengan sita eksekusi yang dilakukan pihak Pengadilan Negeri (PN) Banjarbaru diatas lahan miliknya.
Menurut Hamdan Taufik SH MH, selaku kuasa hukum pemilik Sertifikat SHM 9206, sita eksekusi yang dilakukan pihak PN Banjarbaru banyak terdapat kejanggalan sehingga sita eksekusi yang dilakukan pihak PN Banjarbaru, Rabu (15/10) sempat terjadi ketegangan.
Hamdan Thaufik, SH melayangkan protes keras karena menilai langkah eksekusi yang dijalankan Pengadilan Negeri (PN) Banjarbaru penuh kejanggalan dan tidak sah secara hukum.
Menurutnya terdapat perbedaan mencolok antara amar putusan dengan kondisi lapangan. Putusan pengadilan menyebutkan luas objek sengketa 42 x 250 meter, sementara tanah kliennya hanya berukuran 50 x 150 meter.
“Kan pihak PN Banjarbaru menjalankan putusan dengan melakukan eksekusi sesuai putusan, otomatis tanah dan bangunan milik pihak lain di sekitar juga ikut tereksekusi. Ini jelas keliru,” ujarnya.
Ia juga mempersoalkan dasar eksekusi yang masih menggunakan nama mantan Wali Kota Banjarbaru, Aditya Mufti Ariffin.
“Seharusnya permohonan dilakukan oleh Wali kota aktif, Hj Erna Lisa Halabi. Kami beranggapan eksekusi ini tidak sah. Bahkan bisa disebut eksekusi paling aneh,” tegas Hamdan.
Hamdan menambahkan, eksekusi semestinya tidak hanya dijalankan secara paksa, tetapi juga harus memenuhi unsur kebenaran, etika hukum, moral dan rasa keadilan.
Ia menyinggung sejarah panjang perkara ini sejak terbitnya SK Wali Kota Banjarbaru Rudi Resnawan Nomor 42.A Tahun 2003 terkait penetapan lokasi perumahan pegawai.
“Pembangunan rumah pegawai tidak masuk kategori kepentingan umum sebagaimana dimaksud Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012. Jadi sejak awal prosesnya sudah keliru,” paparnya.
Bahkan, Hamdan menuding adanya kejanggalan dalam jual beli tanah yang melibatkan perantara tanpa bertemu langsung pemilik sah sehingga menyalahi asas jual beli tanah yang harus dilakukan terang dan tunai. Ia juga menyebut adanya potensi keterangan palsu dari saksi pihak Pemko saat persidangan.
“Dalam perkara ini kami melihat abuse of power. Sertifikat sah atas nama klien kami justru dinyatakan cacat hukum oleh PN Banjarbaru, padahal seharusnya kewenangan ada di PTUN,” kata Hamdan.
Meski protes dilayangkan, eksekusi tetap berjalan. PN Banjarbaru memasang plang di lokasi dengan dasar penetapan perkara Nomor 14/Pdt.Eks/2023/PN Bjb, Nomor 43/Pdt.G/2019/PN Bjb, Nomor 40/PDT/2020/PT BJM dan Nomor 2856 K/Pdt/2021, tertanggal 15 Oktober 2025.
Sementara itu Panitera PN Banjarbaru, Fahrul menambahkan meski amar putusan mencatat luas 250 meter, eksekusi dijalankan hanya pada 150 meter sesuai pernyataan tidak keberatan dari wali kota.
“Sisanya bersifat non-eksekutif. Kalau ada pihak yang keberatan, silakan ajukan gugatan baru,” ucapnya.
Terpisah Bidang Hukum Pemko Banjarbaru, Andrie mengatakan eksekusi yang dilakukan telah sesuai sebagaimana yang dimohon pihak Pemkot Banjarbaru.
“Surat pengajuan memang atas nama wali kota sebelumnya karena gugatan diajukan sejak 2002. Dalam hukum perdata, pergantian kepala daerah tidak menghapus putusan. Putusan tetap sah,” jelasnya.
Kepala BPN Banjarbaru, Suhaimi yang dikonfirmasi melalui handphone menegaskan pihaknya hanya mendampingi jalannya eksekusi.
“Kalau ada sisa lahan dari putusan yang tidak dieksekusi, itu bisa menjadi dasar Pemko untuk mengajukan gugatan baru,” katanya singkat.
Suhaimi menjelaskan bahwa dasar gugatan yang dilakukan pihak Pemkot Banjarbaru atas alashak tanah. ris/ani