
Mendengarkan berarti kegiatan menggunakan telinga untuk menangkap pesan dalam bentuk suara atau bunyi. Ini adalah salah satu keterampilan (skill) dan aspek penting dalam berkomunikasi. Komunikasi sederhananya bertukar pemikiran, gagasan, fakta, perasaan atau kesan antara dua orang atau lebih (Bonaraja Purba dkk, 2020). Bayangkan saja kalau semuanya ingin menjadi pembicara atau komunikator, tidak ada yang mendengarkan atau sebagai komunikan, maka komunikasi tidak akan berjalan baik.
Dalam konteks pelayanan publik, mendengarkan berdimensi luas. Pelaksana pelayanan publik yang sungguh-sungguh membangun kemampuan mendengarkan diyakini akan berdampak pada perbaikan dan perubahan positif terhadap kualitas pelayanannya. Namun tentu tidak semudah itu, dengan rajin mendengarkan pelayanan publik lantas berkualitas. Ada syarat-syaratnya atau hal-hal yang patut jadi atensi untuk mewujud nyata.
Pertama, pesan atau informasi yang ingin ditangkap harus jelas. Bersumber dari masyarakat sebagai pengguna (user) pelayanan publik, bukan dari penguasa atau pelaksana pelayanan publik. Masyarakat bersuara dalam bentuk penyampaian aspirasi, keluhan, pengaduan, atau laporan. Ini merupakan hak bagi masyarakat yang diatur dan dilindungi dalam ketentuan perundang-undangan. Dalam konteks pelaksanaan fungsi dan tugas Ombudsman Republik Indonesia (RI), laporan disampaikan oleh setiap orang yang telah menjadi korban maladministrasi atau penyimpangan terhadap tata kelola pelayanan publik yang baik dan benar, dimana yang bersangkutan menderita kerugian baik materiil maupun immateriil.
Kedua, media untuk mendengarkan sekaligus saluran berkomunikasi wajib tersedia dan berfungsi dengan baik. Berdasarkan Undang-Undang (UU) RI Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik, sarana menampung keluhan atau pengaduan, antara lain berupa telepon, pesan layanan singkat (sms/wa), laman (website), pos-el (email), dan kotak pengaduan. Ini adalah kanal-kanal yang diperlukan agar masyarakat bisa menyampaikan secara langsung, tidak langsung maupun elektronik. Lebih dari itu tentu akan lebih baik.
Satu kanal lainnya yang bisa digunakan masyarakat yaitu aplikasi LAPOR! atau Layanan Aspirasi dan Pengaduan Online Rakyat yang dapat diakses melalui tautan www.lapor.go.id. Aplikasi LAPOR! merupakan bagian dari Sistem Pengelolaan Pengaduan Pelayanan Publik Nasional atau SP4N yang dikembangkan untuk mengelola pengaduan pelayanan publik tingkat nasional secara terintegrasi, berkelanjutan dan berjenjang pada setiap penyelenggara. Aplikasi ini sudah beroperasi cukup lama dan terhubung dengan 34 Kementerian, 101 Lembaga, 34 Pemerintah Provinsi, 98 Pemerintah Kota dan 412 Pemerintah Kabupaten se Indonesia.
Pemanfaatan SP4N-LAPOR! sebagai sistem laporan yang berbasis digital cukup populer. Sejak tahun 2012, total laporan yang diterima sebanyak 2.517.562, dengan rata-rata jumlah laporan per hari sekitar 603. Adapun topik laporan paling banyak meliputi kepegawaian, ketenteraman/ketertiban umum, infrastruktur jalan, website judol serta administrasi kependudukan dan pencatatan sipil. Khusus tahun 2024, jumlah laporan yang diterima melalui SP4N-LAPOR! berjumlah 211.058 dimana dua Pemerintah Daerah (Pemda) di Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) masuk 20 besar penerima laporan terbanyak secara nasional, yaitu Pemerintah Kabupaten Hulu Sungai Tengah (3.128) dan Pemerintah Provinsi Kalsel (872).
Operasional SP4N-LAPOR! dikelola oleh lima kementerian/lembaga, termasuk Ombudsman RI sebagai pengawas pelayanan publik untuk memastikan respons dan tindak lanjut penyelenggara pelayanan publik atas setiap laporan yang masuk. Dalam hal ini, ketika laporan lebih dari 60 hari kerja belum ada tindak lanjut dan telah mendapat persetujuan pelapor, maka laporan yang awalnya diterima via SP4N-LAPOR! akan beralih ke aplikasi internal Ombudsman RI untuk diproses ke tahap pemeriksaan.
Yang tidak kalah populernya dan bahkan semakin berpengaruh dewasa ini adalah pemanfaatan media sosial. Instansi pemerintah maupun Badan Usaha Milik Negara/Daerah (BUMN/D) yang melaksanakan pelayanan publik harus mengupayakan pengembangan media sosial. Pengguna utama pelayanan publik saat ini berasal dari Kaum Milenial dan Gen Z yang jumlahnya mencapai 53,81% dari total penduduk Indonesia sekitar ± 270 juta jiwa. Sementara mereka membawa nilai, perilaku dan preferensi yang sangat berbeda dari generasi-generasi sebelumnya. Mereka inginnya cepat dan tidak mau repot, melek teknologi serta akrab dengan gawai dan media sosial dalam keseharian (Yuswohady dkk, 2019).
Membangun media sosial untuk mendengarkan atau merekam suara masyarakat merupakan kebutuhan dan suatu keniscayaan. Media seperti Facebook, YouTube, Instagram, WhatsApp, X/Twitter dan TikTok menggaungkan beragam aspirasi, keluhan serta pengaduan masyarakat setiap hari, bahkan setiap menit dan jam. Instansi secara kelembagaan maupun personal mesti adaptif terhadap hal tersebut, kalau tidak ingin ketinggalan dan lebih jauh lagi kehilangan kepercayaan dari masyarakat. Oleh karenanya, media yang dipilih wajib aktif, terpublikasi, rajin diperbarui serta responsif, dengan didukung pengelola yang mumpuni.
Penulis berpikir bahwa papan atau dinding aspirasi juga bisa jadi alternatif kanal bersuara bagi masyarakat. Instansi penyelenggara pelayanan publik sediakan bahan kertas, karton atau kain berwarna putih, dilekatkan pada papan, dinding atau media lainnya, kemudian diletakkan, bersama alat tulis, di kantor, taman atau area publik lainnya yang mudah dilihat dan diakses masyarakat. Papan aspirasi menawarkan kemudahan, keterbukaan, tanpa ada biaya dimana masyarakat dapat menumpahkan saran, unek-unek dan kritikan di ruang publik, sehingga menjadi atensi bersama, khususnya instansi itu sendiri dan para pemangku kebijakan.
Ketiga, respons dan tindak lanjut atas berbagai suara masyarakat. Meskipun pesannya sudah jelas serta medianya telah tersedia dan berfungsi, apabila itu semua hanya formalitas, maka tidak akan berarti apa-apa dan bermakna banyak dalam perbaikan pelayanan publik. Apa yang disuarakan masyarakat menguap begitu saja, memudar dan kemudian menghilang seiring berjalannya waktu. Mungkin didengarkan, tetapi nihil eksekusi dan perubahan, sehingga menimbulkan sikap apatis dan ketidakpercayaan di kalangan masyarakat.
Penguasa dan instansi penyelenggara pelayanan publik harus punya sensitivitas, tingkat kepekaan yang tinggi. Peduli dan tidak boleh abai karena pengabaian kewajiban hukum merupakan perbuatan maladministrasi. Apa yang disampaikan masyarakat, sesudah didengarkan, sepatutnya menjadi bahan bakar yang mendorong perubahan kebijakan dan perbaikan kinerja pelayanan publik. Artinya suara tersebut berdampak nyata dan dirasakan manfaatnya oleh pengguna layanan serta masyarakat pada umumnya.