Mata Banua Online
Kamis, Oktober 16, 2025
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper
Mata Banua Online
No Result
View All Result

2.039 Kios Curang Hanyalah Puncak Gunung Es: Bongkar Korupsi Sistemik di Distribusi Pupuk Subsidi!

by Mata Banua
16 Oktober 2025
in Opini
0

Oleh: Deza Putra Adelyen

Mahasiswa Ilmu Politik, Universitas Andalas

Berita Lainnya

D:\2025\Oktober 2025\17 Oktober 2025\8\8\Hadi Rahman.jpg

Mendengarkan Suara Masyarakat

16 Oktober 2025
Beras 5 Kg Tak Sesuai Takaran

Lonely in The Crowd: Dalam Cengkeraman Sistem Sekuler

15 Oktober 2025

Ketika Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman mengumumkan pencabutan izin 2.039 kios pupuk bersubsidi yang menjual di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) pada 13 Oktober 2025 lalu, banyak yang bertepuk tangan. Langkah tegas, kata mereka. Namun, mari kita berhenti sejenak dari euforia penegakan hukum ini. Angka 2.039 bukanlah prestasi. Ini adalah pengakuan telanjang bahwa negara baru sadar setelah petani dirugikan hingga Rp600 miliar per tahun. Ini bukan kemenangan, ini adalah alarm darurat dari sebuah sistem yang telah membusuk dari dalam.

Skandal ini bukan sekadar cerita tentang oknum nakal atau pedagang rakus. Ini adalah etalase dari kegagalan tata kelola negara yang sistemik. Ini adalah potret nyata bagaimana subsidi rakyat, yang dibiayai dari pajak kita semua, dibajak oleh jejaring kekuasaan yang bermain di ruang gelap birokrasi. Dan yang paling menyakitkan, petani—kelompok yang paling rentan—menjadi korban paling nyata dari permainan kotor ini.

Ini adalah konsekuensi logis dari sistem yang dirancang gagal. Subsidi pupuk, yang seharusnya menjadi instrumen kedaulatan pangan, telah bermetamorfosis menjadi komoditas politik yang diperebutkan. Siapa yang berhak jadi distributor? Siapa yang mengelola kios di tingkat desa? Pertanyaan ini tidak dijawab dengan kriteria kompetensi atau integritas, melainkan dengan pertanyaan lain yang lebih jujur: siapa yang loyal saat pemilu? Siapa kerabat pejabat lokal? Siapa yang punya kedekatan dengan elite partai?

Jaringan tim sukses, kroni penguasa, dan keluarga pejabat tiba-tiba menjelma menjadi “pengusaha” pupuk. Mereka tidak membangun bisnis di atas keringat dan kerja keras, melainkan di atas fondasi relasi kuasa dan balas jasa politik. Kios-kios ini berdiri bukan untuk melayani petani, tapi untuk melayani kepentingan segelintir elite yang haus akan keuntungan. Inilah yang disebut politik klientelisme, hubungan patron-klien yang mengubah kebijakan publik menjadi alat untuk mempertahankan kekuasaan. Petani dijadikan sandera politik. Mereka dipaksa bergantung pada sistem distribusi yang busuk, sementara hak mereka untuk mendapatkan pupuk bersubsidi dengan harga terjangkau dirampas secara sistematis.

Terungkapnya 2.039 kios sekaligus menunjukkan betapa lemahnya kapasitas negara dalam melakukan pengawasan. Ini bukan soal satu atau dua oknum yang lolos dari radar. Ini adalah 2.039 titik kegagalan dalam sistem yang seharusnya berfungsi melindungi rakyat. Birokrasi yang panjang dan berbelit dari pusat hingga daerah tidak berfungsi sebagai mekanisme kontrol, melainkan justru menciptakan banyak “pos” bagi para pemburu rente. Di setiap lapisan, ada celah untuk memanipulasi data, mengurangi volume, atau menjual ke pihak yang tidak berhak dengan harga pasar. Negara, dalam hal ini, telah kehilangan otoritasnya. Yang berkuasa bukan lagi sistem hukum, melainkan jejaring informal yang bermain di zona abu-abu.

Pertanyaannya kemudian: ke mana aparat pengawas selama ini? Ke mana inspektorat? Ke mana mekanisme kontrol internal yang seharusnya bekerja? Jawabannya pahit, mereka mungkin ikut bermain, atau mereka sengaja dibuat buta oleh sistem yang dirancang untuk gagal. Desentralisasi kekuasaan yang digaungkan sebagai jalan mendekatkan pelayanan kepada rakyat, dalam kasus ini justru melahirkan ribuan raja kecil di daerah. Elite lokal memiliki otonomi untuk “mengatur” alokasi dan distribusi pupuk di wilayahnya. Ketika pengawasan dari pusat tumpul dan partisipasi masyarakat sipil dilemahkan, yang terjadi adalah pembajakan kebijakan secara masif. Program yang dirancang di Jakarta untuk kesejahteraan petani, dibelokkan di daerah untuk kepentingan segelintir elite dan kroni-kroninya.

Anatomi Korupsi: Dari Subsidi Jadi Komoditas Politik

Mari kita bedah anatomi korupsi ini dengan lebih jernih. Subsidi pupuk, pada dasarnya, adalah bentuk kontrak sosial antara negara dan rakyat. Rakyat membayar pajak, negara memberikan perlindungan dan pelayanan. Namun, kontrak ini telah dikhianati. Subsidi yang seharusnya menjadi hak petani, diperdagangkan seperti barang dagangan politik.

Dalam kajian ilmu politik, fenomena ini disebut rent-seeking, praktik di mana individu atau kelompok berusaha mendapatkan keuntungan ekonomi melalui manipulasi kebijakan publik, bukan melalui produktivitas atau inovasi. Para elite politik dan kroni-kroninya tidak menciptakan nilai tambah apa pun. Mereka hanya menyelipkan diri di antara negara dan petani, mengambil keuntungan dari celah sistem yang mereka ciptakan sendiri.

Mekanisme penunjukan distributor dan pengecer pupuk sarat dengan nuansa balas jasa politik. Izin distribusi bukan diberikan kepada yang paling kompeten, melainkan kepada yang paling loyal. Ini bukan sekadar dugaan, tapi pola yang berulang di berbagai daerah. Setelah pemilu, tiba-tiba muncul wajah-wajah baru di bisnis pupuk. Mereka yang kemarin menjadi tim sukses, hari ini menjadi pengusaha pupuk. Kebetulan? Tidak mungkin. Ini adalah sistem patronase yang bekerja secara sistematis.

Lebih parah lagi, ketika sistem pengawasan justru menjadi bagian dari masalah. Aparat yang seharusnya mengawasi, justru ikut menikmati pesta korupsi ini. Mereka menerima suap untuk menutup mata, atau bahkan aktif memfasilitasi praktik curang ini. Hasilnya? Negara kehilangan kapasitas untuk mengontrol kebijakan publiknya sendiri. Petani, yang seharusnya dilindungi, justru dirugikan. Data dari Kementerian Pertanian menunjukkan kerugian petani mencapai Rp600 miliar per tahun. Ini bukan angka kecil. Ini adalah pencurian masif terhadap hak rakyat.

Yang lebih mengkhawatirkan, praktik ini tidak hanya merugikan petani secara ekonomi. Ini juga membunuh kepercayaan rakyat terhadap negara. Ketika petani kesulitan mendapatkan pupuk bersubsidi, ketika mereka harus membayar lebih mahal, ketika mereka melihat kios-kios curang beroperasi tanpa sanksi, apa yang mereka pikirkan? Mereka berpikir negara tidak berpihak kepada mereka. Mereka berpikir negara telah diambil alih oleh para elite korup. Dan mereka tidak salah.

Kelangkaan pupuk dan mahalnya harga adalah bentuk nyata dari pengkhianatan negara terhadap warga negaranya sendiri. Ini adalah pelanggaran kontrak sosial. Ketika petani kesulitan membeli pupuk bersubsidi, produksi pangan menurun. Ketika produksi menurun, harga pangan naik. Dan siapa yang paling terdampak? Rakyat kecil juga. Jadi, korupsi pupuk ini bukan hanya merugikan petani, tapi juga mengancam ketahanan pangan nasional dan membebani seluruh rakyat Indonesia. Inilah ironi dari republik yang konon merdeka ini. Rakyat dibebani oleh korupsi yang dilakukan oleh elite yang seharusnya melayani mereka.

Reformasi Total, Bukan Sekadar Penindakan

Menteri Pertanian boleh berteriak lantang akan mencabut izin dan memidanakan pelaku. Namun, tanpa reformasi struktural, ini hanya akan memotong ranting sementara akarnya terus menjalar. Tahun depan, mungkin akan ada 3.000 kios baru yang curang. Lalu apa? Kita cabut lagi? Begitu seterusnya? Ini bukan solusi. Ini hanya panggung sandiwara yang menghibur tanpa menyelesaikan masalah.

Solusinya bukan sekadar penegakan hukum yang reaktif. Kita butuh reformasi politik yang fundamental.

Pertama, revolusi digitalisasi distribusi. Hapus semua celah negosiasi dan diskresi manusiawi. Bangun sistem digital terintegrasi dari produsen hingga NIK petani penerima. Data alokasi, pengiriman, dan penerimaan harus bisa diakses secara real-time oleh publik. Transparansi adalah musuh utama korupsi. Ketika semua proses tercatat dan terbuka, ruang untuk manipulasi akan menyempit drastis. Teknologi sudah tersedia. Yang kurang adalah political will untuk mengimplementasikannya.

Kedua, depolitisasi penunjukan distributor dan kios. Audit total mekanisme penunjukan distributor dan pengecer. Libatkan lembaga independen dan perwakilan petani dalam proses verifikasi. Hentikan praktik menjadikan izin distribusi sebagai kue politik yang dibagi-bagikan kepada kroni. Kriteria harus jelas dan terukur, kapasitas, integritas, dan komitmen melayani petani, bukan kedekatan dengan elite politik. Proses seleksi harus terbuka dan dapat diaudit oleh publik.

Ketiga, perkuat pengawasan berbasis masyarakat. Jangan hanya mengandalkan aparat yang sudah terbukti gagal atau bahkan ikut korup. Berikan peran formal dan perlindungan hukum bagi kelompok tani, aktivis lokal, dan jurnalis untuk menjadi pengawas dalam proses distribusi di level paling bawah. Mereka adalah mata dan telinga rakyat yang paling dekat dengan masalah. Berdayakan mereka dengan kewenangan untuk melaporkan pelanggaran tanpa takut akan intimidasi atau pembalasan.

Keempat, dan ini yang paling krusial, penegakan hukum tanpa pandang bulu. Jangan hanya kios yang dicabut izinnya. Usut siapa dalang di balik jaringan ini. Siapa pejabat yang melindungi? Siapa yang menerima suap? Siapa yang menutup mata? Tanpa menghukum berat pelaku di tingkat atas, efek jera tidak akan pernah tercipta. Korupsi ini adalah kejahatan terorganisir yang melibatkan banyak aktor di berbagai level. Mengungkap dan menghukum mereka adalah prasyarat mutlak untuk reformasi yang sesungguhnya.

Pada akhirnya, skandal 2.039 kios ini adalah cermin retak dari republik kita. Ini bukan lagi soal pupuk atau HET. Ini soal apakah negara ini masih berfungsi untuk rakyatnya atau hanya untuk segelintir elite pemburu rente. Ini soal apakah kita masih punya kedaulatan atas kebijakan publik kita sendiri, atau kita sudah menyerahkannya kepada jejaring kekuasaan yang korup.

Membongkar gunung es korupsi pupuk ini adalah pertaruhan kita untuk merebut kembali kedaulatan rakyat. Jika kita gagal, jangan salahkan petani jika mereka tidak lagi percaya pada negara. Jangan salahkan rakyat jika mereka tidak lagi percaya pada demokrasi. Karena apa gunanya demokrasi jika hasilnya hanya melahirkan elite korup yang memangsa rakyatnya sendiri?

Saatnya kita memilih: terus bermain di permukaan dengan penindakan sporadis, atau berani membongkar akar masalah dengan reformasi total. Pilihan ada di tangan kita semua. Dan petani sedang menunggu. Mereka tidak butuh janji. Mereka butuh keadilan. Dan keadilan itu harus datang sekarang, bukan besok, bukan lusa, tapi sekarang.

 

Mata Banua Online

© 2025 PT. Cahaya Media Utama

  • S0P Perlindungan Wartawan
  • Pedoman Media Siber
  • Redaksi

No Result
View All Result
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper