
JAKARTA – Pemerintah memastikan harga jual eceran (HJE) rokok tidak naik pada 2026. Kebijakan ini diambil untuk menjaga daya beli masyarakat yang belum sepenuhnya pulih pascapandemi serta menekan potensi peredaran rokok ilegal.
“Belum ada kebijakan sepert itu (kenaikan HJE). Seharusnya tidak perlu, karena kalau cukai tidak naik tapi harga dinaikkan, sama saja menipu. Anda nanti menganggap saya tukang kibul,” ujar Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa di Kantor Bea Cukai.
Purbaya menegaskan, harga rokok tidak seharusnya naik selama tarif cukai hasil tembakau (CHT) tetap. Ia menilai, menaikkan harga tanpa dasar kebijakan fiskal hanya akan menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah.
Ia menjelaskan, kestabilan harga penting untuk mencegah meluasnya peredaran rokok ilegal. “Selisih antara produk legal dan ilegal akan semakin besar. Kalau selisihny makin besar, barang-barang ilegal justru akan makin banyak beredar,” katanya.
Keputusan tidak menaikkan tarif cukai rokok tahun depan juga menjadi upaya pemerintah menjag keseimbangan antara penerimaan negara dan daya beli masyarakat. Pemerintah menilai langkah ini lebih realistis di tengah pemulihan ekonomi yang belum merata.
Kebijakan ini diharapkan mampu menjaga stabilitas pasar dan menghindari beban tambahan bagi konsumen berpenghasilan rendah. Namun, di sisi lain, pemerintah tetap perlu memastikan kebijakan tersebut tidak mengendurkan komitmen pengendalian konsumsi rokok. Namun demikian, Purbaya Yudhi Sadewa terus memperketat pengawsan terhadap peredaran rokok ilegal yang dinilai merugikan negara dan mengganggu industri hasil tembakau resmi. Hingga September 2025, jumlah rokok ilegal yang dimusnahkan meningkat 37 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengatakan, meski jumlah penindakan menurun, volume barang yang disita justru naik signifikan.
“Rokok ilegal, jumlah penindakannya tahun ini adalah 13.484 kali penindakan, lebih rendah dibandingkan tahun lalu (15.201). Namun, kalau lihat jumlah batang yag dicegat atau disita, meningkat dari 596 juta batang per September 2024 menjadi 816 juta batang per September 2025,” ujar Suahasil dalam konferensi pers APBN Kita Edisi Oktober 2025 di Jakarta.
Menurutnya, sebagian besar barang sitaan, sekitar 72,9 persen, merupakan jenis sigaret kretek mesin (SKM). Kondisi ini menandakan masih besarnya potensi kebocoan penerimaan negara akibat rokok ilegal. “Dan ini berarti kita kehilangan cukai di sini,” tutur Suahasil.
Kemenkeu mencatat, realisasi penerimaan cukaihasil tembakau (CHT) hingga September 2025 mengalami penurunan sebesar 2,9 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Meski demikian, secara keseluruhan penerimaan cukai tetap tumbuh 4,6 persen menjadi Rp163,3 triliun, atau setara 66,9 persen dari target APBN.
Penurunan CHT tersebut, menurut Suahasil, menjadi pengingat pentingnya penegakan hukum dan kesadaran industri terhada regulasi. rep/mb06