Mata Banua Online
Kamis, Oktober 16, 2025
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper
Mata Banua Online
No Result
View All Result

Lonely in The Crowd: Dalam Cengkeraman Sistem Sekuler

by Mata Banua
15 Oktober 2025
in Opini
0

Oleh: Nor Aniyah, S.Pd (Penulis, Pemerhati Masalah Sosial dan Generasi.)

Fenomena kesepian di tengah keramaian menjadi realitas sosial yang mencuat di era digital. Dunia seakan begitu ramai dengan hadirnya media sosial, dari Facebook, Instagram, hingga TikTok. Namun ironisnya, semakin aktif seseorang di ruang maya justru semakin kosong di dunia nyata. Riset mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta menunjukkan bagaimana konten TikTok membuat penggunanya kesepian meski berada dalam keramaian maya. Menurut kajian hiperrealitas, representasi digital sering dianggap lebih nyata dibanding realitas itu sendiri. Akibatnya emosi yang diciptakan media bisa jauh lebih kuat pengaruhnya terhadap kesehatan mental dan relasi sosial seseorang (detik.com).

Berita Lainnya

Beras 5 Kg Tak Sesuai Takaran

Jembatan Strategis Atau Target Pengaruh? Barat, Brics, dan Posisi Prabowo

15 Oktober 2025
Beras 5 Kg Tak Sesuai Takaran

Keracunan Massal Makanan Bergizi Gratis

15 Oktober 2025

Realitas ini bukan sekadar masalah literasi digital atau manajemen gawai. Akar persoalan jauh lebih dalam. Dalam sistem sekuler liberal, media sosial dijadikan bagian dari industri kapitalis yang memproduksi konten tanpa peduli pada dampak sosial. Logika utamanya bukan membangun kualitas manusia, melainkan mengejar klik, like, dan keuntungan. Maka bertebaranlah konten instan yang memicu dopamin sesaat tetapi melemahkan ketahanan jiwa dalam jangka panjang.

Generasi muda, khususnya Gen Z, menjadi kelompok yang paling terdampak. Identitas, pergaulan, bahkan harga diri kerap diukur melalui eksistensi maya. Jumlah pengikut dan komentar menjadi tolok ukur kebahagiaan sekaligus pengakuan sosial. Padahal semua itu hanyalah bayangan semu. Tidak sedikit anak muda yang akhirnya rentan terhadap kesepian, insecure, hingga masalah kesehatan mental. Mereka tampak aktif dan penuh warna di media sosial, tetapi di dunia nyata terjebak dalam keterasingan.

Kesepian ini tidak berhenti pada persoalan individu. Ia berdampak luas pada masyarakat. Orang-orang yang terbiasa berlama-lama dengan layar kehilangan kemampuan berinteraksi secara sehat di kehidupan nyata. Bahkan hubungan keluarga kian renggang, masing-masing sibuk dengan gawainya tanpa benar-benar hadir untuk satu sama lain. Masyarakat pun berubah menjadi kumpulan individu yang hidup bersama secara fisik, tetapi jauh secara emosional.

Fenomena ini jelas merugikan umat. Generasi muda yang seharusnya memiliki energi besar untuk berkarya justru terkunci dalam lingkaran kesepian. Mereka kehilangan sensitivitas terhadap problematika umat. Bagaimana mungkin lahir kepedulian terhadap kemiskinan, ketidakadilan, atau penindasan, jika energi mereka terkuras hanya untuk mengejar validasi maya. Maka yang lahir adalah generasi lemah, tidak berdaya menghadapi tantangan kehidupan nyata, dan terjebak dalam dunia hiperrealitas.

Persoalan ini tidak akan selesai dengan sekadar kampanye literasi digital atau ajakan mengatur waktu. Selama akar masalahnya masih dalam kerangka sekuler liberal, media sosial akan terus menjadi alat kapitalis yang merusak. Karena itu umat harus berani keluar dari jebakan sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan. Islam harus kembali dijadikan identitas utama umat dalam menghadapi perkembangan teknologi. Islam bukan hanya ritual, melainkan sistem kehidupan yang mengatur interaksi sosial, orientasi berpikir, hingga pemanfaatan media.

Dalam pandangan Islam, kehidupan sosial dibangun atas asas ukhuwah, amar makruf nahi mungkar, dan tolong-menolong dalam kebaikan. Media sosial seharusnya digunakan untuk memperkuat persaudaraan, menebarkan ilmu, dan menyuarakan kebenaran. Jika Islam dijadikan standar, interaksi di dunia maya akan memperkokoh iman, bukan memperdalam jurang kesepian.

Di sinilah peran negara menjadi sangat penting. Negara sekuler liberal hanya memfasilitasi industri kapitalis agar terus berkembang tanpa peduli dampaknya. Padahal dalam Islam, negara adalah institusi yang bertanggung jawab menjaga kemaslahatan umat. Pemanfaatan teknologi digital diarahkan agar masyarakat produktif dan berkontribusi menyelesaikan problem umat. Negara wajib mengontrol konten yang merusak akhlak, serta mendorong lahirnya ekosistem digital yang sehat dan mendidik.

Solusi Islam bersifat komprehensif. Pertama, akidah menjadi fondasi utama. Dengan akidah yang kokoh, seorang muslim tidak akan mencari pengakuan semu karena standar harga dirinya berasal dari ketakwaan, bukan jumlah pengikut. Kedua, Islam membangun masyarakat dengan ikatan ukhuwah nyata melalui kewajiban saling menasihati, menghadiri majelis ilmu, dan menghidupkan masjid sebagai pusat kehidupan. Ketiga, negara dalam sistem Islam berperan mengawasi konten digital agar tidak merusak akhlak dan memastikan media digunakan untuk dakwah, pendidikan, serta pembangunan peradaban.

Fenomena “lonely in the crowd” sesungguhnya adalah cermin kegagalan sistem sekuler liberal dalam mengelola kehidupan masyarakat. Ia melahirkan generasi yang tampak sibuk tetapi kosong, ramai di layar tetapi sunyi di dunia nyata. Jalan keluar hanya mungkin jika umat kembali menjadikan Islam sebagai solusi. Dengan Islam, media sosial tidak lagi menjadi alat yang menjerumuskan, tetapi sarana dakwah, ilmu, dan penguat ikatan sosial.

Allah SWT berfirman: “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh serta saling menasihati dalam kebenaran dan saling menasihati dalam kesabaran.”(QS: Al-‘Ashr (103): 1–3).

Kesepian di tengah keramaian bukanlah fenomena alamiah, melainkan buah dari sistem yang salah arah. Sekulerisme liberal telah menjerumuskan manusia dalam dunia maya yang semu, melemahkan potensi besar generasi muda, dan menjauhkan mereka dari fitrah sosialnya. Hanya dengan kembali kepada Islam umat bisa keluar dari lingkaran ini. Saatnya menjadikan Islam sebagai identitas utama, agar generasi tidak lagi menjadi korban industri kapitalis, tetapi tampil sebagai generasi produktif, peduli terhadap umat, dan siap menghadapi tantangan zaman.[]

 

Mata Banua Online

© 2025 PT. Cahaya Media Utama

  • S0P Perlindungan Wartawan
  • Pedoman Media Siber
  • Redaksi

No Result
View All Result
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper