Mata Banua Online
Rabu, Oktober 15, 2025
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper
Mata Banua Online
No Result
View All Result

Bobby Nasution dan Politik Primordialisme

by Mata Banua
14 Oktober 2025
in Opini
0
D:\2025\Oktober 2025\15 Oktober 2025\8\8\Wira Dika Orizha Piliang.jpg
Wira Dika Orizha Piliang (Peneliti Imparsial)

Ketika bangsa ini tengah berjuang menjaga harmoni sosial dan persatuan nasional pascatragedi Bulan Agustus, sejumlah elite daerah justru sibuk mempertontonkan ego primordialisme. Sikap Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution, yang melarang kendaraan Acehuntuk masuk ke wilayah Sumatera Utara, adalah potret ironi dari krisis kedewasaan politik lokal. Di tengah derasnya arus integrasi nasional, Bobby justru menampilkan wajah kekuasaan yang sempit, impulsif, dan tidak mencerminkan semangat Pancasila sebagaimana mestinya.

Konflik antara Aceh dan Sumatera Utara belakangan ini memperlihatkan bagaimana ego kedaerahan masih menjadi masalah serius. Jika tidak diimbangi dengan kedewasaan dalam berpolitik, bisa menjelma menjadi bara yang mengancam kohesi sosial.Dari sengketa perebutan pulau diperbatasan, hingga larangan kendaraan berpelat BL (Aceh) masuk ke wilayah Sumatera Utara. Situasi ini mengungkapkan betapa rapuhnya politik lokal kita. Di tengah suasana yang seharusnya menuntut ketenangan dan empati, Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution, justru tampil dengan pernyataan yang reaktif, dan seolah sedang bermain api dengan isu sensitif yang menyangkut harga diri dua wilayah.

Berita Lainnya

D:\2025\Oktober 2025\15 Oktober 2025\8\8\foto opini.jpg

Pelayanan Kesehatan Ramah Anak, Mampukah Mewujudkan Generasi Sehat dan Kuat Dalam Peradaban kapitalisme?

14 Oktober 2025
D:\2025\Oktober 2025\14 Oktober 2025\8\8\Ahmad Mukhallish Aqidi Hasmar.jpg

Maklumat Hatta dan Amanat yang Tertinggal

13 Oktober 2025

Dibalik konflik administratif antara dua provinsi, tersimpan lapisan yang lebih dalam, yaitu primordialisme kedaerahan. Ego identitas daerah, baik etnis, catatan historis, maupun makna simbolik, masih menjadi sumber utama gesekan antar-wilayah di Indonesia. Dalam konteks Aceh dan Sumatera Utara, keduanya memiliki sejarah yang panjang. Aceh memiliki sejarah politik yang khas, dengan semangat otonomi dan martabat lokal yang kuat pasca konflik dan perdamaian Helsinki. Sementara Sumatera Utara memandang dirinya sebagai pusat aktivitas ekonomi di kawasan barat Indonesia, dengan karakter masyarakat yang lugas dan kompetitif.

Ketika dua identitas besar ini bersinggungan tanpa kendali komunikasi yang bijak, maka gesekan dapat membesar menjadi konflik psikologis antar-daerah.Donald Horowitz—seorang Ilmuwan Politik dari Amerika Serikat, menegaskan bahwa primordialisme seringkali menjadi pemicu ketegangan ketika elite politik menggunakan perbedaan identitas untuk memperkuat basis dukungan. Dalam banyak kasus, elit daerah cenderung mempermainkan sentimen lokal untuk membangun legitimasi politik. Sayangnya fenomena itu kini muncul kembali di Sumatera Utara, ironisnya Bobby sebagai salah satu aktor yang justru memelihara ketegangan, dalam posisinya sebagai pejabat publik.

Praktik Niretika Pejabat Publik

Sebagai kepala daerah, Bobby semestinya menjadi figur yang memelihara hubungan lintas wilayah. Namun sikapnya terhadap kendaraan berpelat Aceh memperlihatkan betapa mudahnya ego kekuasaan menyingkirkan kebijaksanaan. Alih-alih mengedepankan komunikasi dan diplomasi antar-provinsi, ia justru memperkuat persepsi eksklusivitas wilayah, seolah Sumatera Utara dan Aceh adalah dua negara berdaulat yang saling mencurigai.Dalam kajian resolusi konflik, reaksi semacam ini tergolong eskalatif. Artinya pemimpin lebih mempertebal jabatan politiknya, dan bukan mencari titik temu.

Apa yang kemudian diperlihatkan oleh Bobby Nasution cenderung mengedepankan politik simbolis. Tindakan pemimpin politik yang acapkali bukan menunjukkan solusi substantif, melainkan pertunjukan simbolik untuk mencitrakan ketegasan. Larangan pelat BL Aceh tidak lain adalah panggung kecil politik kekuasaan, tempat seorang gubernur berusaha tampil gagah di mata konstituen, meski dengan mengorbankan harmoni sosial. Sikap tersebut dapat memperburuk hubungan masyarakat antar dua provinsi yang terlibat, dan dapat menimbulkan masalah disintegrasi bangsa.

Otonomi daerah yang lahir dari semangat desentralisasi, justru melahirkan raja-raja kecil yang sibuk membangun pagar identitas. Hal ini merupakan ironi, otonomi yang seharusnya memperkuat politik lokal, kini berkamuflase sebagai wadah dalam memfasilitasi ego politik seseorang. Sikap primordialisme yang dulu menjadi perekat komunitas, kini berubah menjadi alat kompetisi kekuasaan antar-daerah. Dalam kasus Aceh dan Sumatera Utara, ego identitas diperkuat oleh gengsi historis dan kebanggaan regional, yang kemudian diperuncing oleh perilaku elite yang tidak bijaksana. Lagi-lagi, permasalahan terletak pada sikap yang tidak pantas diperlihatkan oleh seorang tokoh publik.

Sebagai kepala daerah muda, Bobby Nasution semestinya mampu menjadi representasi generasi politik baru yang rasional dan berpandangan nasionalisme. Namun sikapnya justru memperlihatkan betapa mentalitas feodal modern masih menguasai ruang birokrasi. Bobby bereaksi bukan sebagai negarawan, melainkan sebagai pemuda yang tersinggung oleh urusan simbolik. Praktik semacam ini mestinya tidak boleh ada lagi dalam panggung perpolitikan nasional. Tuntutan untuk bertarung melalui gagasan, pudar seketika dengan tingkah laku pejabat daerah yang tidak semestinya. Penulis harus berani berkata jujur, bahwa Sumatera Utara mestinya malu memiliki pimpinan daerah dengan sikap semacam ini.

Kegagalan Membaca Pancasila

Dalam perspektif nilai pancasila, tindakan diskriminatif terhadap warga daerah lain, jelas mencederai semangat persatuan. Pancasila menuntut kepemimpinan yang berpijak pada kemanusiaan dan persaudaraan, bukan chauvinisme wilayah. Sikap gubernur Sumatera Utara yang menebar batas bukan hanya gagal secara etika birokrasi, tapi juga menandakan lemahnya internalisasi nilai kebangsaan di level daerah.Sikap Bobby memperlihatkan ketidaksiapan kepala daerah dalam memahami arti Pancasila secara substantif. Mereka sibuk untuk menjadi orang kuat di wilayahnya, tapi lupa menjadi bagian dari bangsa dan republik.

Lebih lanjut, Sikap Bobby adalah contoh klasikketika struktur kekuasaan bertumbuh, tapi kualitas moral kepemimpinan justru merosot. Ia mempraktikkan kekuasaan administratif, tapi gagal menampilkan kepemimpinan moral.

Ketegasan tanpa kebijaksanaan berubah menjadi otoritarianisme kecil.Seorang pemimpin politik harusnya mampu menenangkan suasana, bukan malah memanaskan tensi sosial. Sebab praktik politik yang baik bukanlah tentang siapa yang lebih keras, melainkan siapa yang lebih bijak. Dalam konteks ini Bobby bukan sedang menunjukkan peran kepemimpinan, melainkan ketidakmatangan politik yang justru mengkhawatirkan.

Perilaku ini memperlihatkan lemahnya praktikpolitik representasi di tingkat lokal. Kepala daerah yang harusnya menjadi simbol negara di wilayahnya, bukan personifikasi dari ego pribadi. Dalam konteks ini, Bobby tampak lebih sibuk menunjukkan kekuasaan, daripada menunaikan tanggung jawab sosial-politik terhadap masyarakatnya.Fenomena ini menunjukkan betapa moralitas politik publik belum tumbuh seiring kemajuan demokrasi elektoral. Pemimpin seperti Bobby mungkin lahir dari mekanisme demokrasi, tapi gagal memahami etikanya. Demokrasi lokal tanpa moral politik hanya akan melahirkan penguasa narsistik.

Pada akhrinya, konflik Aceh dan Sumatera Utara ini bukan sekadar soal pelat kendaraan atau batas pulau semata. Ini merupakan cermin dari kegagalan sebagian elite lokal dalam memahami makna kebangsaan dalam bingkai otonomi. Ketika kepala daerah memperlakukan wilayahnya seperti arena bermain kekuasaan, rakyatlah yang akhirnya menanggung akibatnya.Kedewasaan politik bukan diukur dari suara yang lantang, melainkan dari kemampuan menjaga tenang. Selama masih ada kepala daerah yang menjadikan isu sosial sebagai mainan politik, maka perdamaian sosial akan tetap rapuh, bahkan di jalan raya sekalipun. Bung Bobby, anda mesti berbenah!

 

Mata Banua Online

© 2025 PT. Cahaya Media Utama

  • S0P Perlindungan Wartawan
  • Pedoman Media Siber
  • Redaksi

No Result
View All Result
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper