Mata Banua Online
Selasa, Oktober 14, 2025
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper
Mata Banua Online
No Result
View All Result

Maklumat Hatta dan Amanat yang Tertinggal

by Mata Banua
13 Oktober 2025
in Opini
0
D:\2025\Oktober 2025\14 Oktober 2025\8\8\Ahmad Mukhallish Aqidi Hasmar.jpg
Ahmad Mukhallish Aqidi Hasmar

Setiap 16 Oktober, Indonesia mengenang lahirnya lembaga yang disebut rumah aspirasi rakyat. Hari itu ditetapkan sebagai Hari Parlemen Indonesia, merujuk pada Maklumat Wakil Presiden Nomor X Tahun 1945 yang ditandatangani Mohammad Hatta. Melalui maklumat itu, kekuasaan legislatif yang semula berada di tangan Presiden dialihkan kepada Komite Nasional Indonesia Pusat, cikal bakal DPR. Sebuah langkah sederhana dengan makna yang jauh melampaui teksnya. Hatta sedang menegaskan satu hal: kekuasaan harus berbagi, karena rakyat tidak diciptakan untuk sekadar menyaksikan.

Delapan puluh tahun berlalu, suara rakyat masih bergema, meski kadang terdengar sayup. Gedung parlemen berdiri kokoh, rapat-rapat berlangsung teratur, mikrofon menyala dengan rapi, namun gema kepercayaan publik mulai redup. Survei dari berbagai lembaga menunjukkan DPR sering menempati posisi rendah dalam tingkat kepercayaan publik. Rakyat mendengar janji keterbukaan, tetapi sulit menemukan pintu yang betul-betul terbuka.

Berita Lainnya

Beras 5 Kg Tak Sesuai Takaran

Purbaya Yudhi Sadewa dan Dialektika Baru Politik Ekonomi Indonesia

13 Oktober 2025
D:\2025\Oktober 2025\13 Oktober 2025\8\Opini Senin\master opini.jpg

Tragedi Era Digital

12 Oktober 2025

Mungkin gedungnya masih megah, hanya saja jaraknya terasa makin jauh.

Maklumat Hatta dulu menjadi simbol bahwa kekuasaan perlu dikontrol agar tetap waras. Kini, simbol itu tampak lebih sering diperingati daripada dijalankan. Undang-undang disusun cepat, pembahasan berlangsung singkat, dan ruang partisipasi publik sering kali hanya formalitas. Dalam logika kekuasaan, kecepatan sering dianggap bukti kinerja, padahal kadang hanyalah cara agar kritik tak sempat tiba.

Komisi X DPR pernah mengakui bahwa ruang aspirasi bagi generasi muda masih terbatas. Sebuah pengakuan yang terdengar jujur, meski terasa seperti seseorang yang sadar sedang tertinggal kereta, namun enggan berlari mengejar. Ada fenomena yang mencuat bahwa keterlibatan anak muda kerap berhenti di undangan seminar, bukan di ruang keputusan. Maka tak heran bila sebagian Gen Z memilih jalan sendiri. Mereka tumbuh dalam demokrasi yang berisik, namun lebih mempercayai percakapan di dunia maya daripada pidato di ruang sidang.

Generasi ini tidak kehilangan minat terhadap politik, hanya tidak ingin terjebak dalam drama yang sama. Survei IMGR yang dimuat IDN Times menunjukkan bahwa Gen Z dan milenial cenderung enggan berpolitik secara formal dan lebih memilih bentuk partisipasi yang luwes. Mereka menulis, mengedukasi, membuat video pendek yang menggugah, dan menandatangani petisi daring. Dalam tangan mereka, politik menjelma menjadi tindakan sehari-hari yang cair, spontan, dan tak membutuhkan panggung resmi.

Fenomena ini menghadirkan ironi yang indah. Demokrasi yang dulu diperjuangkan melalui rapat kini bergerak lewat unggahan. Jika pada 1945 rakyat menunggu giliran bicara, kini mereka menciptakan panggung sendiri. Parlemen mungkin kehilangan daya dengar, tetapi rakyat menemukan cara baru untuk berbicara. Sinyal dan nalar menjadi dua alat perjuangan baru, dan siapa pun yang ingin tetap relevan harus belajar mendengar dari layar ponsel, bukan hanya dari podium.

Namun ruang digital pun memiliki jebakannya sendiri. Ia dipenuhi kebisingan dan banjir informasi, kadang terlalu cepat untuk merenung. Dalam kekacauan itu, generasi muda belajar memilah fakta dari opini, belajar menahan diri agar marah tidak berubah menjadi benci. Mereka belajar menjadi warga yang bukan hanya pandai menuntut, tetapi juga berani berpikir.

Amanat Maklumat Hatta masih bernafas di sela-sela semua itu. Demokrasi sejati tidak hidup dari prosedur, melainkan dari kesediaan untuk mendengar. Parlemen yang ingin dipercaya perlu menurunkan volumenya sendiri agar suara rakyat terdengar jelas. Kepercayaan tidak lahir dari baliho, melainkan dari kejujuran menjalankan mandat.

Generasi muda Indonesia sedang membuktikan bahwa idealisme belum punah. Mereka menulis, meneliti, membuat gerakan kecil yang konsisten, dan mengubah ruang maya menjadi forum kebangsaan baru. Satir menjadi cara mereka mengingatkan, tawa menjadi bahasa perlawanan yang tidak keras kepala, dan ironi menjadi alat untuk menagih janji. Mungkin gaya mereka berbeda, namun semangatnya sama: mengembalikan ruh demokrasi yang pernah Hatta impikan.

Masih ada secercah terang di ujung lelah ini. Di tengah keletihan politik, ada generasi yang tetap mau percaya, meski dengan caranya sendiri. Mereka menuntut ruang yang lebih jujur, lebih terbuka, dan lebih manusiawi. Bila negara berani mendengar mereka, barangkali kepercayaan publik bisa tumbuh lagi, pelan namun pasti.

Delapan dekade lalu, Hatta membuka jalan agar rakyat memiliki suara. Kini, generasi muda melanjutkan langkah itu melalui layar, tulisan, dan aksi-aksi kecil yang sering luput dari sorotan. Selama masih ada anak muda yang mau bersuara dengan nurani, amanat Maklumat Hatta belum tertinggal. Ia sedang dilanjutkan, diam-diam, di tangan generasi yang tak pernah kehilangan harapan untuk negeri ini.

 

Mata Banua Online

© 2025 PT. Cahaya Media Utama

  • S0P Perlindungan Wartawan
  • Pedoman Media Siber
  • Redaksi

No Result
View All Result
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper