Oleh: Sumiati, ST
Pemerhati Sosial dan Masyarakat
Kasus keracunan massal siswa akibat program Makan Bergizi Gratis (MBG) di sejumlah daerah menjadi perhatian serius di Kalimantan Selatan. Wakil Ketua Komisi IV DPRD Kalsel, H Gusti Iskandar Sukma Alamsyah, mengingatkan pelaksana seperti SPPG dan BGN untuk lebih teliti dalam pengawasan mutu, proses memasak, dan penyimpanan bahan pangan. Ia juga menekankan pentingnya mitigasi sejak dini karena program ini menyasar anak-anak yang rentan. Guru diminta tidak dilibatkan dalam pembagian makanan agar kegiatan belajar tidak terganggu. BPOM pun didorong lebih aktif mengawasi bahan pangan, termasuk masa kedaluwarsa dan kandungan berbahaya. Semua pihak diminta menjaga keamanan dan kualitas makanan demi keselamatan peserta didik. (jejakrekam.com, 01/10/2025)
Namun, jika ditelaah lebih dalam, peristiwa ini tidak bisa hanya dipandang sebagai persoalan teknis atau kelalaian di lapangan. Kasus tersebut mencerminkan adanya kegagalan sistemik dalam tata kelola publik yang berbasis pada sistem sekuler kapitalis. Dalam sistem ini, pemenuhan kebutuhan mendasar seperti gizi anak sekolah sering kali diposisikan sebagai proyek politik dan ekonomi, bukan amanah negara terhadap rakyat. Orientasi utama lebih kepada efisiensi anggaran dan pencitraan keberhasilan, bukan keselamatan jiwa dan kualitas layanan. Akibatnya, prinsip kehati-hatian, tanggung jawab moral, dan mutu pelayanan sering dikorbankan. Maka, evaluasi yang dilakukan tidak cukup berhenti pada pelaksana teknis, tetapi harus menyentuh akar masalah, yaitu paradigma keliru dalam pengelolaan pelayanan publik.
Lebih jauh, negara dalam sistem ini hanya berperan sebagai regulator pasif, bukan penjamin langsung keamanan pangan rakyat. Pemisahan nilai agama dari kebijakan publik menyebabkan keputusan lebih banyak didasarkan pada perhitungan untung-rugi ketimbang halal-haram atau maslahat-kerusakan. Rantai pasok pangan diserahkan pada swasta dan mekanisme pasar yang berorientasi laba, sehingga kualitas bahan dan keamanan makanan menjadi nomor sekian. Birokrasi yang terbentuk pun lebih berfokus pada tender dan proyek, membuka peluang praktik mark-up, kolusi, dan pengawasan setengah hati. Keberhasilan program hanya dinilai dari jumlah siswa penerima, bukan dari mutu makanan yang mereka konsumsi.
Oleh karena itu, akar persoalan tidak cukup diselesaikan dengan perbaikan teknis atau pergantian pelaksana, melainkan dengan perubahan paradigma secara menyeluruh. Dalam Islam, urusan rakyat adalah amanah besar yang harus dijalankan berdasarkan ketakwaan dan tanggung jawab di hadapan Allah. Negara wajib memastikan setiap tahapan—dari bahan, proses pengolahan, hingga distribusi—berjalan sesuai dengan syariat dan kemaslahatan umat. Solusi sejati terletak pada penerapan sistem Islam yang menjadikan keselamatan, gizi, dan kesejahteraan rakyat sebagai tujuan utama, bukan sebagai komoditas yang diperdagangkan dalam proyek politik atau ekonomi.
Dari kasus ini memperlihatkan betapa rapuhnya sistem sekuler kapitalis dalam menjamin keamanan dan kesejahteraan rakyat. Sistem ini menempatkan pengelolaan pangan publik dalam logika proyek ekonomi dan politik, bukan sebagai amanah negara terhadap rakyat.
Akibatnya, orientasi profit, efisiensi semu, dan kepentingan politis lebih menonjol dibanding keselamatan jiwa manusia. Dalam kerangka kapitalisme, negara berperan sebatas regulator, sementara urusan pengawasan dan penyediaan pangan diserahkan kepada mekanisme pasar. Inilah akar dari berbagai penyimpangan—mulai dari lemahnya kontrol mutu, rantai pasok yang tak standar, hingga pengabaian terhadap aspek keamanan pangan—yang akhirnya mencelakai generasi muda.
Dalam pandangan Islam, persoalan seperti ini bukan hanya soal teknis, tetapi merupakan pelanggaran terhadap tujuan syariat, khususnya dalam menjaga jiwa dan keturunan. Islam memandang pengurusan rakyat sebagai amanah besar yang wajib dijalankan negara secara langsung dan bertanggung jawab. Dalam sistem Khilafah, negara tidak hanya memastikan rakyat memperoleh pangan bergizi, tetapi juga menjamin kehalalan, keamanan, dan kebersihannya sejak dari sumber bahan hingga penyajian. Rasulullah bersabda, “Imam (pemimpin) adalah pengurus dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang diurusnya” (HR. al-Bukhari dan Muslim). Prinsip ini menjadikan negara bukan sekadar penyedia layanan, tetapi pelindung nyata terhadap kehidupan rakyat.
Negara dalam sistem Islam memiliki Baitul Mal sebagai lembaga pembiayaan publik yang menjamin kebutuhan dasar rakyat, termasuk pangan, tanpa terjebak dalam komersialisasi dan korupsi. Dana Baitul Mal dikelola dengan prinsip amanah dan akuntabilitas syar’i, sedangkan lembaga pengawasan pangan dijalankan oleh aparat yang memiliki integritas tinggi dan bekerja dengan standar halal-thayyib. Setiap bentuk kelalaian yang menyebabkan keracunan atau kematian rakyat akan dikenai sanksi tegas sesuai hukum syariah, sebagaimana sabda Rasulullah úý, “Tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh saling membahayakan” (HR. Ibn Majah). Dengan demikian, sistem Islam tidak hanya memperbaiki mekanisme, tetapi menegakkan tanggung jawab moral dan hukum dalam setiap kebijakan publik.
Maka, solusi tuntas atas tragedi MBG dan berbagai persoalan pangan publik tidak akan lahir dari tambal sulam teknis dalam sistem sekuler kapitalis, tetapi melalui penerapan sistem Islam yang kaffah. Hanya dengan kembali kepada hukum Allah lah, pengelolaan pangan dapat menjadi ibadah dan jaminan perlindungan terhadap jiwa manusia.
Sistem Khilafah membangun tata kelola yang terintegrasi antara kebijakan, pengawasan, dan pendidikan moral—di mana setiap jiwa dianggap amanah yang harus dijaga sebaik-baiknya. Sebagaimana firman Allah SWT, “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan alasan yang benar” (QS. Al-Isra’: 33). Prinsip inilah yang memastikan bahwa keselamatan generasi bukan sekadar slogan, melainkan kewajiban yang dijalankan secara nyata dalam setiap kebijakan negara yang berlandaskan syariah. Wallahu’alam bishawwab