Oleh : Ummu Aqilla F.M., S. Pd.
Pendidikan merupakan hak dasar setiap warga negara dan menjadi salah satu indikator utama kemajuan sebuah bangsa. Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk memperluas akses dan meningkatkan mutu pendidikan, salah satunya melalui kebijakan Merdeka Belajar.
Di tengah gencarnya semangat Merdeka Belajar yang digaungkan pemerintah ini, ternyata fenomena putus sekolah masih menjadi luka lama yang belum sepenuhnya sembuh di dunia pendidikan Indonesia. Meskipun data menunjukkan adanya penurunan secara bertahap, namun kenyataan di lapangan tetap memperlihatkan bahwa sebagian anak Indonesia masih harus menghentikan pendidikan mereka sebelum menamatkan jenjang sekolah.
Kepala Disdikbud Kalsel, Galuh Tantri Naridra juga menyebut berdasarkan data sementara, terdapat sekitar 60 ribu anak di Kalsel yang mengalami putus sekolah. Diantara alasan siswa putus sekolah adalah mereka lebih memilih bekerja, karena pernikahan dini, kemiskinan, kenakalan remaja, kasus bullying, keterbatasan infrastruktur pendidikan, serta perpindahan ke jalur pendidikan nonformal.
Pemerintah provinsi Kalimantan Selatan telah mengambil langkah untuk meminimalisir angka putus sekolah ini, salah satunya dengan menyalurkan Bantuan Siswa Kurang Mampu (BSKM) untuk 10.030 pelajar SMA/SMK dengan alokasi sekitar Rp11 miliar serta membuka program seperti “Sekolah Rakyat” untuk menjangkau anak dari keluarga sangat miskin.
Putus sekolah sebenarnya bukan sekadar soal statistik, tetapi kisah nyata anak-anak bangsa yang kehilangan kesempatan untuk bermimpi tanpa batas. Di sejumlah daerah terpencil, banyak siswa terpaksa berhenti sekolah karena keterbatasan ekonomi, akses transportasi, dan fasilitas belajar yang minim. Di wilayah perkotaan, alasan putus sekolah justru lebih kompleks—mulai dari kejenuhan belajar, tekanan sosial, hingga kurangnya dukungan dari lingkungan keluarga.
Merdeka Belajar yang digaungkan pemerintah sebenarnya hadir dengan konsep menekankan kebebasan berpikir, berkreasi, dan berinovasi. serta memberi ruang bagi setiap anak agar dapat belajar sesuai potensinya. Prinsip utama Merdeka Belajar adalah memberikan kebebasan belajar bagi peserta didik, serta keleluasaan bagi pendidik untuk berinovasi dalam proses pembelajaran. Namun, bagi sebagian peserta didik, “kemerdekaan” itu belum terasa. Anak-anak dari keluarga miskin sering kali masih menghadapi kendala biaya dan fasilitas. Sementara itu, di beberapa sekolah, guru belum sepenuhnya memahami esensi Merdeka Belajar, bahwa pembelajaran bukan hanya soal nilai akademik, melainkan juga tumbuhnya karakter, minat, dan makna hidup, atau masih terjebak dalam pola lama: monoton, menekan, dan tidak berpihak pada siswa.Era Merdeka Belajar sejatinya membuka peluang besar untuk meniadakan putus sekolah, namun nyatanya angka putus sekolah masih terjadi. Inilah potret buram Pendidikan saat ini di era kapitalistik.
Beda jauh dengan Islam, dimana dalam pemerintahan Islam, pendidikan bukan sekadar layanan publik, tapi ia adalah amanahbagi negara yang wajib dipenuhi tanpa syarat. Setiap warga negara punya hak yang sama dalam Pendidikan, tanpa melihat status sosial keluarga apakah kaya atau miskin.
Hal ini dikarenakan semua pembiayaan kebutuhan dasar rakyat diambil dari Baitul mal, termasuk pendidikan gratis berkualitas dari jenjang Sekolah Dasar sampai jenjang tertinggi. Hal ini mungkin dalam Islam, dikarenakan sumber baitul mal yang begitu banyak seperti harta fa’i, harta ghanimah, dari kepemilikan umum seperti tambang, hutan dan lainnya.
Pemerintahan dalam Islam menawarkan model tata kelola pendidikan yang dijamin oleh negara bukan sekadar program sesaat. Dengan itu, bukan hanya angka putus sekolah yang tidak akan ada lagi, tapi masa depan generasi pun akan lebih cerah dan berdaya. Wallahu’alambishshawab.