
Mungkin Anda pernah terjebak macet di jalan raya, lalu tiba-tiba dari belakang muncul bunyi “tot tot” memekakkan telinga disusul sorotan lampu “wuk wuk” yang menyilaukan mata. Maka Anda akan merasa betapa kecilnya posisi kita sebagai warga biasa di hadapan privilese jalan raya. Kita yang taat antre dan sabar ketika lampu merah, tiba-tiba dianggap tidak penting dan harus minggir, karena sebuah kendaraan dengan strobo dan sirene merasa lebih penting daripada semua orang yang ada di jalan yang sama.
Keresahan kecil inilah yang melahirkan sebuah gerakan netizen di media sosial, namanya Stop Tot Tot Wuk Wuk yang viral beberapa hari belakangan.Stop Tot Tot Wuk Wuk adalah gerakan protes terhadap penggunaan sirene, lampu strobo, dan rotator yang dianggap berlebihan dan tidak sesuai peruntukannya, khususnya oleh kendaraan pejabat, pengawalan, atau kendaraan non-darurat. Istilah “tot tot” dan “wuk wuk” sendiri adalah onomatope atau bunyi tiruan untuk klakson panjang/sirene/strobo, yang menjadi simbol dari kebisingan dan ketidaknyamanan yang dirasakan publik pengguna jalan raya.
Sebagian besar kita merasa terganggu ketika kendaraan dengan strobo/rotator/sirene berusaha menerobos kemacetan atau memaksa meminta sisi jalan, padahal tidak dalam kondisi darurat. Ada persepsi yang sama pada publik bahwa fasilitas seperti sirene dan strobo kadang disalahgunakan sebagai alat untuk menunjukkan status atau wibawa, bukan benar-benar untuk kepentingan prioritas lalu lintas.
Atas keluhan netizen dan viralnya tagar Stop Tot Tot Wuk Wuk, Kepolisian RI akhirnya merespons cepat. Salah satunya membekukan sementaraizin penggunaan sirene dan strobo oleh kendaraan pejabat atau pengawalan, kecuali dalam kondisi mendesak dan darurat. Menurut Korps Lalu Lintas Polri, dengan adanya pembekuan sementara, Polri akan melakukan evaluasi aturan agar ke depan penggunaannya sesuai dengan peruntukan dan tidak disalahgunakan, terutama untuk kepentingan pribadi pihak tertentu.
Senjata Viralitas
Menariknya, gerakan ini lahir dari keluhan netizen yang awalnya hanya bercanda menirukan bunyi sirene itu, tetapi kemudian kita tersadar bahwa yang dikeluhkan bukan sekadar kebisingan, melainkan melawan sebuah budaya privilese. Akhirnya, apa yang dimulai sebagai olok-olok di TikTok, X, dan Instagram berubah menjadi desakan politik yang bahkan memaksa Polri dan para pejabat ikut bereaksi.
Fenomena ini menarik, sebab semakin memperlihatkan wajah baru masyarakat sipil (civil society) di era digital, di mana sebelumnya sudah banyak gerakan serupa yang lahir dari keresahan di dunia maya. Berawaldari meme receh, kemudian bertransformasi menjadi isu kebijakan publik.Kini cukup dengan suara serentak di media sosial, perubahan bisa terjadi dalam hitungan hari. Di era digital, civil society menemukan senjata baru yang disebut dengan viralitas.
Harus diakui memang bahwa di negeri ini, sirine dan strobo bukan sekadar alat lalu lintas, tetapi menjelma menjadisimbol kekuasaan. Seperti tandu raja yang disertai gong dan terompet agar rakyat minggir, dengan versi yang modern. Tetapi lewat gerakan Stop Tot Tot Wuk Wuk, simbol itu berusaha dilucuti. Dalam istilah filsufPierre Bourdieu, terjadi dekonstruksi simbolik, saat kekuasaan kehilangan kharisma ketika simbolnya dijadikan bahan candaan netizen.
Civil Society 2.0
Fenomena ini semakin menunjukkan evolusi civil society. Dulu gerakan civil society tradisional melihat siapa basis massanya, siapa anggotanya, atau apa struktur organisasinya. Kinicivil society2.0,tatkala viralitas menggantikan organisasi, serta legitimasinya bukan dari struktur tapi dari jumlah share, retweet, dan komentar. Gerakannya tanpa struktur, cukup dengan kuota internet dan kreativitas, tapi punya data tekan yang kuat.
Stop Tot Tot Wuk Wuk sesungguhnya adalah bentuk politics of everyday life. Tidak lahir dari isu besar seperti pemilu, korupsi, atau skandal politisi. Tetapi politik yang lahir dari keseharian, dan justru itulah lebih otentik, lebih jujur, dan lebih mempersatukan.Tapi, satu hal yang perlu menjadi catatan penting adalah civil society digital ini cenderung reaktif dan jangka pendek. Hari ini bisa viral, lalu besok bisa hilang besok dan trending topic berganti.
Tantangannya adalah bagaimana energi aktivisme digital netizen bisa dihubungkan dengan gerakan offline yang lebih sistemik. Jangan sampai kritik pada sirene hanya berhenti di soal kebisingan, padahal akar masalah sesungguhnya adalah budaya privilese pejabat yang lebih luas.
Jika kita tarik lebih jauh, apa yang menjadi persoalan adalah soal keadilan ruang publik. Jalan raya sejatinya adalahruang publik yang paling demokratis karena semua orang berhak menggunakannya dengan aturan yang sama. Namun ketika ada yang merasa lebih berhak melaju cepat hanya karena jabatan atau status simbolik, maka prinsip itu tercabik dan nurani kita tidak bisa menerima.
Gerakan ini harusnya menjadi cermin yang memperlihatkan bagaimana rakyat melawan privilese dan menuntut keadilan dengan cara yang sederhana: bersuara bersama di dunia maya, sebab no viral no justice.