Oleh : Devi (Aktivis Muslimah)
Di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, peran perempuan dalam kepemimpinan semakin menonjol. Secara jumlah tahun 2025, ada setidaknya 28 wanita yang menjabat sebagai kepala negara atau pemerintahan di 23 negara di dunia terjadi peningkatan 40% setelah satu dasawarna. Hal ini menunjukkan peningkatan signifikan dalam kepemimpinan perempuan secara global menuju kesetaraan gender di ranah politik.. Di level daerah, 43 perempuan atau 9 %menjadi bagian dari 481 kepala daerah (gubernur/bupati/wali kota) periode 2025. Fakta ini menunjukkan bahwa secara kapasitas, perempuan mampu memimpin, berprestasi, dan bersaing dengan laki-laki di ranah publik.Kesetaraan gender terjadi di ranah politik
Sistem sekuler nyatanya membuka pintu yang besar bagi perempuan untuk memimpin namun hal tersebut justru membuat perempuan kehilangan identitas dirinya sebagai seorang perempuan. Keberadaan perempuan dalam level tertinggi sebagai pemimpin atau bekerja disektor public dilatarbelakangi pemahaman feminis yang digaungkan sistem sekuler untuk mendorong perempuan berada digarda terdepan untuk memperjuangkan hak-haknya dan terlibat dalam pembangunan.Nyatanya peningkatan angka perempuan menjadi pemimpin tidak berkontribusi terhadap terpenuhinya hak-hak perempuan atau berkurangnya permasalahan kehidupan. Angka kemiskinan tetap tinggi terjadi pada sekitar 8,47 persen atau 23,85 juta orang.Angka kekerasan dan pelecehan seksual terus meningkat tercatat ada 3.166 kasus pada tahun 2024.
Islam menjelaskan dengan sangat terperinci terkait kepemimpinan perempuan beserta dalil-dalilnya. Tidak ada satu dalil pun yang mengaitkan kepemimpinan perempuan ini dengan kapasitas atau mampu tidaknya seorang perempuan dalam posisi tersebut. Islam memberikan penjelasan tentang aktivitas kepemimpinan yang tidak boleh digeluti atau tidak diperkenankan bagi perempuan, yaitu aktivitas yang termasuk dalam lingkup kekuasaan atau pengaturan urusan umat yang dilakukan secara langsung dan menyeluruh, Misalnya dalam sistem Islam, jabatan penguasa mencakup khalifah (kepala negara), muawwin tafwidh (pembantu khalifah dalam urusan pemerintahan), wali (kepala wilayah/gubernur), dan amil (kepala daerah).
Ada sejumlah dalil yang menjadi argumentasi tentang haramnya perempuan berkecimpung dalam aktivitas kekuasaan.Antara lain pertama, hadis Rasulullah úý yang diriwayatkan oleh Abu Bakrah,:
“Tidak akan pernah menang suatu kaum yang menyerahkan urusan (kekuasaannya) kepada perempuan.” (HR Bukhari).
Perempuan sebagai pemimpin rumah tangga suami dan anak-anaknya mengandung pengertian bahwa peran kepemimpinan yang utama bagi perempuan adalah merawat, mengasuh, mendidik, dan memelihara anak-anaknya agar kelak menjadi orang yang mulia di hadapan Allah. Ia pun berperan membina, mengatur, dan menyelesaikan urusan rumah tangga agar memberikan ketenteraman dan kenyamanan bagi anggota-anggota keluarga yang lain.
Dengan perannya itulah, ia memberikan sumbangan besar kepada negara dan masyarakat. Ia telah mendidik dan memelihara generasi umat agar tumbuh menjadi individu-individu yang saleh dan muslih di tengah masyarakat. Bisa dikatakan bahwa kepemimpinan perempuan berperan melahirkan pemimpin-pemimpin lainnya di tengah umat.Sebagai bagian dari masyarakat, kaum perempuan pun tidak bisa diabaikan begitu saja. Perempuan maupun laki-laki memiliki peran yang sama dalam menentukan corak kehidupan masyarakat pada masa mendatang. Di samping itu, sesungguhnya Islam telah memberikan ruang yang leluasa bagi perempuan untuk berkiprah di tengah masyarakat, seperti kebolehan untuk terlibat dalam beberapa muamalah, melakukan amar makruf nahi mungkar, serta memperhatikan urusan umat (beraktivitas politik) yang hukumnya memang wajib, dan lain-lain.
Ketika perempuan tidak diperkenankan berkecimpung dalam aktivitas kekuasaan, bukan berarti pula perempuan tidak berperan dalam memajukan atau membangun bangsanya. Islam bahkan mewajibkan perempuan memperhatikan urusan umatnya. Ini karena sebagai bagian dari masyarakat, perempuan memiliki kewajiban yang sama dengan laki-laki untuk membawa umat kepada peradaban mulia, peradaban yang menjadikan aturan Allah, Al-Khaliq Al-Mudabbir, sebagai landasan dalam kehidupan individu, bermasyarakat, maupun bernegara. Wallahualam bissawab.