Mata Banua Online
Senin, November 10, 2025
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper
Mata Banua Online
No Result
View All Result

Makan Bergizi Gratis vs Kualitas Pendidikan: Mengukur Proporsi yang Tepat

by Mata Banua
1 Oktober 2025
in Opini
0
D:\2025\Oktober 2025\2 Oktober 2025\8\Opini terbit Kamis\Dzika Fajar Alfian Ramadhani.jpg
Dzika Fajar Alfian Ramadhani (Pengajar sekolah swasta di Yogyakarta)

Masih ingatkah dengan janji kampanye pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka pada Pemilu 2024? Salah satu program yang sangat populer kala itu adalah program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dijanjikan dapat dinikmati oleh seluruh anak Indonesia. Pada kondisi Indonesia saat itu, janji tersebut terdengar tidak masuk akal dan belum pernah ada presedennya. Pasalnya, program ini membutuhkan biaya yang sangat besar dan berpotensi membebani alokasi anggaran negara.

Namun, kenyataannya kini program tersebut benar-benar dijalankan dan bahkan sudah diimplementasikan secara masif di seluruh pelosok Indonesia. Fakta ini tentu menimbulkan beragam respons, mulai dari dukungan penuh karena dianggap pro-rakyat, hingga keraguan karena khawatir mengorbankan pos pembangunan lain yang sama pentingnya.

Berita Lainnya

D:\2025\November 2025\10 November 2025\8\master opini.jpg

Krisis Moral Generasi, Cermin Gagalnya Pendidikan Sistem Kapitalis Sekuler

9 November 2025
Beras 5 Kg Tak Sesuai Takaran

Angka Bunuh Diri Anak Sekolah Meningkat, Kegagalan Sistem Pendidikan Sekuler

9 November 2025

Anggaran pendidikan dalam RUU APBN 2026 tercatat sebagai yang terbesar sepanjang sejarah, dengan nilai mencapai Rp757,8 triliun. Jika dibandingkan dengan outlook 2025, dana pendidikan pada 2026 mengalami kenaikan sebesar 9,8 persen dari Rp690,1 triliun. Angka yang fantastis ini seharusnya memberi harapan baru bagi peningkatan mutu pendidikan nasional, baik dari segi kesejahteraan guru, kualitas pembelajaran, maupun pemerataan akses pendidikan.

Namun, realitasnya menunjukkan bahwa porsi terbesar justru dialokasikan untuk menyukseskan program MBG. Tak tanggung-tanggung, program ini menyedot hampir separuh atau sekitar 44,2 persen dari total dana pendidikan yang tercantum dalam APBN 2026. Proporsi yang begitu besar tentu mengundang pertanyaan: apakah kebijakan ini sudah tepat sasaran, atau justru berpotensi menggeser prioritas utama dunia pendidikan yang seharusnya berfokus pada peningkatan kualitas sumber daya manusia?

Skala Prioritas dan Dilema Kebijakan Pendidikan Nasional

Di sisi lain, anggaran dalam RUU APBN 2026 yang memprioritaskan program Makan Bergizi Gratis (MBG) dengan porsi 44,2 persen seakan menegaskan bahwa pemerintah lebih fokus pada pemenuhan kebutuhan konsumsi ketimbang pembangunan pendidikan yang bersifat fundamental. Memang, pemenuhan gizi anak merupakan langkah penting untuk mendukung tumbuh kembang mereka. Akan tetapi, jika proporsinya terlalu dominan, kebijakan ini berisiko menyingkirkan kebutuhan esensial lain yang lebih berkaitan langsung dengan kualitas pendidikan. Besarnya dana pendidikan semestinya diarahkan secara seimbang, tidak hanya pada program populis, tetapi juga pada aspek yang menyentuh inti permasalahan pendidikan nasional.

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa hingga kini banyak persoalan mendasar di sektor pendidikan yang belum tertangani secara serius. Minimnya sarana fisik sekolah, rendahnya kualitas tenaga pendidik, serta kesejahteraan guru yang masih jauh dari kata layak, menjadi problem klasik yang terus berulang. Belum lagi prestasi siswa Indonesia yang masih tertinggal dibanding negara lain, ditambah pemerataan pendidikan yang belum tercapai secara adil antara kota dan desa. Semua ini menunjukkan bahwa pembangunan pendidikan kita masih menghadapi tantangan struktural yang kompleks, jauh melampaui sekadar urusan pemberian makanan bergizi.

Selain itu, relevansi pendidikan dengan kebutuhan dunia kerja juga masih rendah, sementara biaya pendidikan di berbagai jenjang terus menjadi beban berat bagi masyarakat. Jika persoalan-persoalan krusial ini dibiarkan tanpa prioritas penanganan, maka tambahan anggaran pendidikan sebesar apa pun tidak akan memberi dampak signifikan terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk meninjau kembali skala prioritas kebijakan pendidikan, agar program yang dijalankan benar-benar menyentuh akar masalah dan mampu mencetak generasi yang tidak hanya sehat secara fisik, tetapi juga unggul.

Ironi MBG: Niat Baik yang Menimbulkan Masalah Baru

Berdasarkan data yang dipublikasikan oleh Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), tercatat sebanyak 8.649 anak menjadi korban keracunan dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) per 27 September 2025. Ini bukan sekadar angka statistik, melainkan potret nyata dari generasi penerus bangsa yang seharusnya mendapat perlindungan penuh. Lonjakan kasus yang drastis dalam dua pekan terakhir, dengan sebaran di berbagai daerah, menunjukkan bahwa program ini belum berjalan sesuai harapan. Artinya, pemerintah harus segera melakukan evaluasi menyeluruh, sebab proyek sebesar ini tidak boleh dijalankan secara tergesa-gesa dan ugal-ugalan. Gelombang keracunan massal di sejumlah sekolah penerima MBG menjadi ironi pahit: niat baik untuk meningkatkan gizi anak justru melahirkan risiko kesehatan sekaligus krisis kepercayaan publik.

Munculnya kasus keracunan massal ini memperlihatkan dengan jelas bahwa implementasi program MBG masih jauh dari sempurna. Tantangan logistik, mulai dari proses distribusi bahan pangan, standar penyimpanan, hingga pengolahan makanan, mengindikasikan bahwa rantai pasok belum sepenuhnya terjamin aman dan higienis. Dari sisi anggaran, alokasi dana yang begitu besar ternyata tidak sebanding dengan kualitas pengawasan di lapangan, sehingga membuka ruang bagi praktik inefisiensi, kelalaian, bahkan potensi penyelewengan. Transparansi pelaksanaan program juga masih dipertanyakan, sebab mekanisme kontrol publik terhadap penyedia jasa katering maupun kualitas makanan yang disajikan belum berjalan optimal.

Kasus keracunan ini seharusnya menjadi alarm keras bagi pemerintah untuk membenahi tata kelola program secara fundamental. Pengawasan yang lebih ketat, keterlibatan masyarakat dan orang tua, serta peningkatan kapasitas penyedia layanan makanan mutlak diperlukan agar kasus serupa tidak terulang. Program MBG memang lahir dari gagasan mulia, tetapi jika tidak disertai dengan sistem pengawasan yang kuat, ia berpotensi kehilangan legitimasi di mata masyarakat. Pada akhirnya, keberhasilan program ini tidak hanya diukur dari banyaknya anak yang mendapat makanan, melainkan juga dari jaminan keamanan, kualitas, dan dampak positif yang benar-benar dirasakan oleh peserta didik sebagai generasi penerus bangsa.

Belajar dari Jepang

Kita dapat melihat bagaimana program makan sekolah tidak sekadar dipahami sebagai pemberian konsumsi, melainkan juga sebagai bagian integral dari pendidikan itu sendiri. Sejak awal abad ke-20, Jepang telah mengenal sistem kyûshoku atau makan siang sekolah yang dirancang dengan standar higienis tinggi, tenaga nutrisionis profesional, serta menu yang disusun sesuai kebutuhan gizi anak. Lebih dari itu, kyûshoku menjadi sarana pendidikan gizi di mana anak-anak diajarkan tentang asal-usul bahan pangan, pentingnya keseimbangan nutrisi, hingga pembentukan budaya makan sehat (Otsuka, 2014, Journal of School Health). Hal yang menarik, siswa ikut terlibat dalam proses distribusi makanan sehingga tumbuh rasa tanggung jawab bersama. Kesegaran bahan pangan juga dijaga dengan ketat, dengan menu sederhana seperti nasi, ikan panggang, sup miso, dan sayuran segar yang diprioritaskan ketimbang sajian kompleks yang berisiko cepat basi. Sistem ini membuktikan bahwa program makan bergizi dapat berhasil apabila dipadukan dengan pendidikan, kedisiplinan, dan tata kelola yang transparan.

Kesimpulannya, meninjau kembali skala prioritas pendidikan menjadi langkah yang sangat krusial. Program Makan Bergizi Gratis (MBG) seharusnya dipandang sebagai pelengkap yang mendukung keberhasilan pendidikan, bukan menggantikan prioritas utama seperti peningkatan mutu guru, penguatan sarana prasarana, dan pemerataan akses belajar. Meskipun anggaran pendidikan 2026 mencapai rekor tertinggi sebesar Rp757,8 triliun, hampir separuhnya terserap untuk MBG, menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah pembangunan pendidikan benar-benar menempatkan permasalahan fundamental sebagai prioritas utama? Dengan berbagai persoalan mendesak yang masih adamulai dari kualitas pembelajaran yang rendah, disparitas antarwilayah, hingga kesejahteraan guru yang belum meratapemerintah perlu menata ulang skala prioritas dan memastikan MBG dijalankan secara proporsional, efektif, dan berkelanjutan. Dengan begitu, program ini tidak hanya menghadirkan gizi bagi anak-anak, tetapi juga memberi kontribusi nyata terhadap tujuan inti pembangunan pendidikan nasional.

 

Mata Banua Online

© 2025 PT. Cahaya Media Utama

  • S0P Perlindungan Wartawan
  • Pedoman Media Siber
  • Redaksi

No Result
View All Result
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper