
Oleh : Nabila Anisya Charisty
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) kembali menjadi bahan pembahasan di ruang publik, menyusul merebaknya laporan kasus keracunan makanan di beberapa daerah
Memasuki September, sedikitnya ada 14 kasus keracunan dilaporkan dari berbagai daerah. Terbaru, pada Rabu (24/9) di Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat lebih dari 1.000 orang menjadi korban keracunan seusai mengonsumsi MBG. Kejadian tersebut menjadi salah satu kasus yang terbesar selama program MBG berlangsung.
Ternyata, yang menjadi penyebab utama sebagai pemicu kasus keracunan makanan adalah hidangan yang diberikan kepada siswa-siswi itu tidak lagi layak konsumsi, berdasarkan hasil pemeriksaan Laboratorium Kesehatan.
Temuan tersebut menguatkan dugaan bahwa proses pengolahan hingga distribusi menu MBG yang pelaksanaan dimulai pada Januari 2025 itu, masih menghadapi berbagai kendala.
Seorang ahli gizi, Mochammad Rizal, kepada ANTARA menjelaskan bahwa faktor seperti jarak distribusi yang terlalu jauh, sarana pengangkutan tanpa pengatur suhu, serta jumlah porsi masak yang sangat besar berkontribusi terhadap penurunan kualitas makanan.
Menurut Rizal, yang kini tengah menempuh studi S3 Ilmu Gizi Internasional di Cornell University, New York, Amerika Serikat, menjaga kualitas makanan bagi anak-anak tidak bisa dianggap sepele. Waktu antara makanan matang hingga sampai di tangan siswa tidak boleh terlalu panjang, sebab berpotensi menurunkan mutu makanan. Makanan yang terlalu lama disimpan berisiko cepat basi atau terpapar bakteri. Kondisi ini kerap terjadi karena jarak dapur ke sekolah terlalu jauh, sementara kendaraan pengangkut belum memiliki fasilitas pengatur suhu. Akibatnya, makanan yang sampai ke meja siswa tidak selalu dalam kondisi terbaik atau rentan terkontaminasi bakteri selama perjalanan.
“Jika makanan panas langsung ditutup, risikonya cepat basi. Namun bila dibiarkan terlalu lama dalam kondisi terbuka, potensi bakteri dan virus menempel juga semakin besar,” kata Rizal.
Situasi inilah yang menurutnya menuntut adanya sistem yang lebih rapi, tidak hanya mengandalkan tenaga di dapur, tetapi juga menyangkut koordinasi antarbagian, mulai dari proses memasak, distribusi, hingga pengawasan mutu. Tanpa tata kelola yang jelas, risiko penurunan kualitas makanan akan terus berulang.
Idealnya, sistem MBG dirancang dengan pembagian tugas yang proporsional, perhitungan rasio SDM yang memadai, serta pelatihan berjenjang agar organisasi dapur lebih terstruktur. Dengan demikian, standar keamanan pangan bisa diterapkan secara konsisten, dan tujuan mulia program MBG untuk menghadirkan makanan bergizi sekaligus aman bagi anak-anak dapat benar-benar terwujud.
Selain itu, keterbatasan jumlah tenaga ahli gizi juga harus menjadi perhatian. Di sejumlah daerah, satu orang ahli gizi harus mengawasi ribuan porsi makanan setiap harinya. Menurut Rizal, beban ini jelas tidak sebanding dengan kompleksitas tugas yang harus dijalankan.
“Peran ahli gizi itu tidak hanya sekadar menyusun menu, tetapi juga memastikan bahan yang dipilih sesuai standar, mengawasi proses memasak, hingga mengontrol distribusi makanan. Semua itu mustahil dilakukan secara optimal tanpa dukungan tim yang memadai,” ujarnya.
Karena itu, langkah berikutnya yang perlu mendapat perhatian adalah rasio kebutuhan SDM. Saat ini jumlah ahli gizi yang terlibat masih sangat terbatas jika dibandingkan dengan banyaknya porsi yang harus diproduksi setiap hari. Padahal, peran mereka sangat krusial bukan hanya dalam merancang menu, tetapi juga memastikan standar gizi dan keamanan pangan benar-benar diterapkan.
Keterbatasan inilah yang membuat kualitas penerapan gizi seimbang di lapangan masih beragam. Rizal menilai, dari pengamatannya terhadap berbagai pemberitaan maupun percakapan di media sosial, sebagian sekolah memang sudah berusaha menerapkan konsep gizi seimbang, tapi sebagian besar lainnya belum.
“Tantangannya macam-macam. Ada yang terkendala anggaran per porsi yang sangat minim, ada juga yang terbatas akses terhadap bahan pangan di wilayah tertentu. Jadi memang tidak bisa disamaratakan kondisinya di semua daerah,” jelasnya.
Padahal, prinsip gizi seimbang menuntut adanya komposisi yang tepat: karbohidrat, sayur, protein, hingga buah-buahan, dengan pilihan bahan makanan yang sebaiknya minim olahan atau non–ultra processed food. Porsi pun tidak bisa disamakan, sebab kebutuhan anak SD, SMP, dan SMA jelas berbeda.
“Ini juga menjadi tantangan besar, bagaimana cara memorsikan makanan dalam jumlah massal dengan kebutuhan porsi yang berbeda-beda. Karena itu harus ada standar porsi yang jelas,” tambah pria yang pernah menjadi ahli gizi Timnas sepak bola tersebut.
Namun, tantangan MBG tidak hanya berhenti pada soal anggaran, akses pangan, atau standar porsi. Di lapangan, banyak siswa justru kurang berselera dengan menu yang disajikan. Tidak jarang, mereka meminta untuk mengganti menu dengan makanan yang lebih sesuai dengan selera mereka.
Rizal melihat hal ini sebagai masalah kebiasaan makan yang masih jauh dari pola sehat.
“Anak-anak kita rata-rata terbiasa dengan jajanan atau makanan instan. Kalau tiba-tiba diberikan menu sehat terus-menerus, risikonya mereka tidak mau makan, lalu akhirnya terbuang,” jelasnya.
Karena itu, menurut Rizal, pada tahap awal program MBG sebaiknya tidak terlalu kaku dalam menegakkan standar menu. Yang terpenting, makanan tetap aman, bergizi, dan mengandung komponen utama yang dibutuhkan anak. Perubahan menuju pola makan sehat bisa dilakukan bertahap, seiring dengan program edukasi gizi dan intervensi lain yang lebih menyeluruh.
Menu olahan rumahan bisa menjadi jembatan yang efektif. Selain lebih mudah diterima anak-anak, hidangan jenis ini juga relatif sehat dan memenuhi unsur gizi seimbang.
“Kita bisa mulai dari menu sederhana yang biasa mereka temui di rumah, seperti sayur asem, sop, cap cay, tumis sayur, tahu tempe, pepes, ayam bakar, ikan bumbu kuning, atau nasi bakar,” ujar pria yang bergabung dengan organisasi profesi gizi yang bergerak di bidang olahraga dan kebugaran itu.
Dengan pendekatan seperti itu, anak-anak tidak merasa asing dengan makanan yang disajikan, sementara perlahan-lahan mereka juga bisa dibiasakan dengan variasi menu sehat lainnya. Strategi ini dinilai lebih realistis untuk mengurangi potensi food waste, sekaligus tetap mengarahkan pola makan siswa ke arah yang lebih baik. ant