
Pembangunan kesehatan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang bertujuan meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan masyarakat untuk hidup sehat, sehingga pada akhirnya seluruh penduduk dapat menikmati derajat kesehatan yang optimal. Pada era sekarang, tantangan di bidang kesehatan semakin kompleks seiring dengan perubahan pola penyakit, pertumbuhan penduduk, kesenjangan akses layanan, serta tuntutan kualitas pelayanan yang semakin tinggi.
Permasalahan utama yang dihadapi antara lain masih tingginya angka kematian ibu (AKI), serta kesenjangan status gizi yang ditandai dengan adanya beban ganda berupa gizi buruk dan obesitas, munculnya kembali penyakit menular lama, serta meningkatnya kasus penyakit tidak menular yang kini menjadi penyebab kematian utama di Indonesia. Di sisi lain, perubahan iklim, degradasi lingkungan, dan perkembangan teknologi juga membawa konsekuensi baru yang harus diantisipasi oleh sistem kesehatan nasional.
Angka Kematian Ibu (AKI) didefinisikan sebagai jumlah kematian perempuan yang disebabkan oleh kehamilan, proses persalinan, maupun masa nifas. Berdasarkan laporan World Health Organization (WHO) tahun 2020, angka kematian ibu di tingkat global tercatat sebesar 223 per 100.000 kelahiran hidup. Pada periode tersebut, WHO juga mengungkapkan bahwa setiap dua menit terjadi satu kasus kematian ibu hamil. Jika dihitung per hari, sekitar 800 perempuan meninggal dunia akibat komplikasi kehamilan dan persalinan yang sebenarnya dapat dicegah. Untuk mencapai target global AKI di bawah 70 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2030, WHO menekankan perlunya penurunan tahunan rata-rata sebesar 11,6 persen.
Di Indonesia, tren AKI masih menunjukkan angka yang mengkhawatirkan. Data Maternal Perinatal Death Notification (MPDN) dari Kementerian Kesehatan mencatat pada tahun 2023 terdapat 4.129 kematian ibu, meningkat dibanding tahun 2022 yang berjumlah 4.005 kasus. Pada Januari 2023, AKI Indonesia mencapai 305 per 100.000 kelahiran hidup, menempatkan Indonesia di posisi kedua tertinggi di kawasan ASEAN. Padahal, sesuai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), target nasional pada tahun 2024 adalah menurunkan AKI menjadi 183 per 100.000 kelahiran hidup. Angka ini pun masih jauh di atas target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yang menetapkan ambang batas di bawah 70 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2030, sehingga diperlukan upaya lebih serius dan terintegrasi untuk mencapainya.
Jika melihat situasi di Jawa Tengah, kondisi AKI relatif lebih baik dibandingkan rata-rata nasional. Provinsi ini mencatat angka 183 per 100.000 kelahiran hidup, sesuai dengan target RPJMN. Namun, tantangan tetap ada, terutama di beberapa kabupaten dengan jumlah kasus kematian ibu yang tinggi. Dua wilayah yang menjadi sorotan adalah Kabupaten Brebes dan Kabupaten Grobogan. Di Grobogan, tren penurunan memang terlihat cukup signifikan, dari 84 kasus pada tahun 2021, turun menjadi 23 kasus pada tahun 2022, 22 kasus pada 2023, dan kembali menurun menjadi 12 kasus pada tahun 2024. Meski demikian, angka tersebut tetap menjadi peringatan bahwa kematian ibu masih terjadi dan butuh intervensi yang lebih menyeluruh agar penurunan dapat dipertahankan secara berkelanjutan.
Kondisi ini memperlihatkan bahwa mutu pelayanan kesehatan ibu dan anak, ketersediaan tenaga kesehatan terlatih, serta pemerataan akses layanan masih menjadi pekerjaan rumah besar. Pada saat yang sama, angka persalinan yang ditangani tenaga kesehatan terlatih memang menunjukkan tren peningkatan. Di Jawa Barat misalnya, persalinan oleh tenaga kesehatan mencapai 94,93 persen pada tahun 2024, meningkat dari sekitar 91,98 persen pada tahun sebelumnya. Meski demikian, masih ada daerah yang menghadapi tantangan karena sebagian masyarakat tetap menggunakan jasa tenaga non-medis, seperti dukun beranak, walaupun persentasenya semakin kecil.
Tenaga Kesehatan Kompeten
Keberadaan tenaga kesehatan yang kompeten menjadi faktor penentu dalam upaya meningkatkan kualitas layanan. Kompetensi di sini tidak hanya sebatas kemampuan teknis atau keterampilan klinis, tetapi juga mencakup aspek etika, komunikasi, manajemen, hingga penggunaan teknologi digital dalam pelayanan. Pemerintah bersama lembaga profesi kesehatan kini terus mendorong peningkatan kapasitas tenaga kesehatan melalui pelatihan, uji kompetensi nasional, akreditasi, serta penguatan kurikulum pendidikan tinggi kesehatan. Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia (KTKI) bahkan telah menyelenggarakan berbagai kegiatan penguatan kompetensi bagi 16 jenis tenaga kesehatan di wilayah Indonesia Timur dengan metode daring maupun luring. Upaya ini bertujuan mengatasi ketidakmerataan mutu tenaga kesehatan, terutama antara wilayah Jawa dan luar Jawa.
Meski begitu, data Kementerian Kesehatan pada tahun 2023 mengungkapkan bahwa dari sekitar dua juta tenaga kesehatan di Indonesia, hanya 9,3 persen yang secara rutin mengikuti pelatihan terakreditasi dan berkelanjutan. Fakta ini menunjukkan adanya kesenjangan besar antara kebutuhan dan realitas di lapangan. Pelatihan berbasis digital yang kini mulai berkembang menjadi salah satu solusi menjangkau tenaga kesehatan di daerah terpencil. Hingga pertengahan 2025, misalnya, Halodoc Academy telah menjangkau lebih dari 55.000 peserta pelatihan dengan sistem sertifikasi yang diakui, terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional (SIKN). Model pelatihan semacam ini perlu diperluas agar semakin banyak tenaga kesehatan di pelosok yang memperoleh kesempatan mengembangkan kompetensi tanpa terkendala jarak dan biaya.
Tantangan lain yang muncul adalah belum optimalnya sinkronisasi regulasi dan kebijakan antar lembaga. Uji Kompetensi Nasional (UKOMNAS) misalnya, masih menghadapi persoalan teknis dan hukum, terutama setelah diberlakukannya Undang-Undang Kesehatan yang baru. Diperlukan Standar Prosedur Operasional yang lebih jelas serta penguatan regulasi agar mekanisme uji kompetensi benar-benar menjamin mutu lulusan tenaga medis dan tenaga kesehatan. Pemerintah telah berkomitmen mendorong standar kompetensi dan akreditasi sebagai bagian dari kebijakan pembangunan sumber daya manusia kesehatan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional.
Pemerataan Akses Pelatihan
Hambatan yang perlu segera diatasi meliputi ketidakmerataan akses pelatihan, kualitas lulusan tenaga kesehatan yang belum sepenuhnya memenuhi standar global, serta keterbatasan sarana dan prasarana di daerah tertentu. Masih banyak rumah sakit dan puskesmas yang menghadapi kendala peralatan, transportasi rujukan, hingga kekurangan dokter spesialis. Kondisi ini berimplikasi pada tingginya risiko kematian ibu, bayi, dan balita, terutama di wilayah dengan fasilitas kesehatan terbatas. Selain itu, koordinasi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, institusi pendidikan, dan organisasi profesi perlu lebih diperkuat agar tidak terjadi tumpang tindih kebijakan maupun program.
Namun, di balik tantangan tersebut, terbuka pula peluang yang besar. Digitalisasi, telemedicine, dan pelatihan berbasis teknologi membuka jalan baru untuk pemerataan akses kompetensi. Regulasi yang semakin kuat memberi dasar hukum yang lebih kokoh bagi peningkatan mutu tenaga kesehatan. Kolaborasi lintas sektor, baik dengan masyarakat, dunia usaha, maupun organisasi masyarakat sipil, bisa memperkuat dukungan bagi program kesehatan. Di samping itu, adanya pemanfaatan data real-time dalam sistem informasi kesehatan memungkinkan identifikasi cepat terhadap wilayah rawan dan kebutuhan intervensi, sehingga strategi yang diambil lebih tepat sasaran.
Untuk memastikan tenaga kesehatan benar-benar mampu menjawab tantangan zaman, ada beberapa langkah strategis yang dapat ditempuh. Pertama, memperluas akses pelatihan terakreditasi melalui kombinasi metode tatap muka dan digital, dengan prioritas bagi tenaga kesehatan di wilayah terpencil. Kedua, meningkatkan alokasi anggaran untuk pengembangan sumber daya manusia kesehatan, termasuk beasiswa, sertifikasi, serta pelatihan berkelanjutan. Ketiga, mempercepat pemberlakuan regulasi terkait uji kompetensi dan standar kompetensi agar ada kepastian hukum dan mutu. Keempat, memperkuat sistem supervisi dan evaluasi layanan kesehatan dengan melibatkan audit klinis, pelaporan insiden maternal dan neonatal, serta penggunaan teknologi informasi untuk monitoring kinerja. Kelima, memperkuat kemitraan dengan masyarakat melalui edukasi kesehatan agar masyarakat lebih sadar untuk selalu memilih layanan dari tenaga kesehatan terlatih.
Kesadaran bahwa pelayanan kesehatan yang prima bukan diukur dari klaim aparatur, melainkan dari kepuasan masyarakat, harus menjadi semangat bagi seluruh tenaga kesehatan. Dengan demikian, setiap tenaga kesehatan di strata apapun harus senantiasa mengembangkan potensi diri dan berkomitmen memberikan layanan terbaik. Pengakuan atas kualitas pelayanan datang dari masyarakat sebagai pengguna jasa, sehingga pelayanan prima yang konsisten akan berkontribusi besar terhadap citra positif profesi kesehatan dan keberhasilan pembangunan kesehatan secara keseluruhan.
Menatap masa depan, peningkatan kompetensi tenaga kesehatan tidak bisa dianggap sebagai pilihan, melainkan suatu keharusan. Tanpa tenaga kesehatan yang kompeten dan berintegritas, target besar seperti penurunan AKI, pencapaian SDGs, hingga transformasi sistem kesehatan nasional tidak akan tercapai. Karena itu, komitmen pemerintah pusat dan daerah, dukungan dunia pendidikan, peran organisasi profesi, serta partisipasi aktif masyarakat perlu terus diperkokoh. Hanya dengan tenaga kesehatan yang profesional, terampil, dan berjiwa melayani, Indonesia dapat mewujudkan sistem kesehatan yang adil, merata, dan berkualitas, sehingga derajat kesehatan masyarakat benar-benar meningkat sesuai harapan pembangunan nasional.

