
Dalam satu dekade terakhir, dinamika ekonomi global bergerak dengan cepat dan penuh ketidakpastian. Krisis energi, ketegangan geopolitik, disrupsi rantai pasok, hingga percepatan transformasi digital dan transisi hijau menjadi faktor yang terus memengaruhi stabilitas ekonomi dunia. Laporan Dana Moneter Internasional (IMF) tahun 2025 memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global hanya berkisar 3–3,2 persen, dengan banyak negara maju masih menghadapi perlambatan produktivitas.
Eropa, misalnya, masih berhadapan dengan inflasi dan tekanan biaya energi, sementara Amerika Serikat menghadapi tantangan kestabilan fiskal dan politik. Di sisi lain, Asia terus menunjukkan ketahanan dan bahkan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi baru berkat tingginya konsumsi domestik, basis produksi yang kuat, serta penetrasi digital yang luas.
Indonesia termasuk negara yang relatif resilien dengan pertumbuhan sekitar 5 persen (BPS, 2024). Namun, capaian ini tidak berarti tanpa tantangan. Ketergantungan pada impor pangan dan energi, kesenjangan kualitas sumber daya manusia, serta tingkat pengangguran terbuka yang masih berada di atas 5 persen, menunjukkan bahwa pekerjaan rumah masih banyak. Pertumbuhan yang lebih berkualitas, inklusif, dan berkelanjutan menjadi kebutuhan mendesak.
Pertumbuhan ekonomi berkualitas berarti harus memperkuat ekonomi domestik dan sektor primer yang berkaitan langsung dengan rakyat serta berdampak pada kesejahteraan rakyat. Hal itu demi meminimalkan kemiskinan dan pengangguran. Pertumbuhan ekonomi Indonesia seyogianya tak lagi bertumpu pada eksploitasi yang berbasis pada sektor sumber daya alam (SDA). Oleh karena itu, kemajuan ekonomi harus lebih bertumpu pada investasi tinggi untuk peningkatan bidang research and development (R&D) atau inovasi untuk mendongkrak nilai tambah.
Ke depan, mewujudkan inovasi yang membuat akses pemasaran dan distribusi ke pasar yang potensial, penguasaan dan adopsi teknologi baru untuk inovasi, inovasi produk secara keseluruhan dengan gagasan bersifat kreasi baru yang memperbarui, memperkenalkan, mengembangkan strategi, menghasilkan, menampilkan, dan menciptakan ide kreatif suatu produk baru serta mendesain program untuk produk baru, semuanya merupakan kunci daya saing wirausaha.
Memperkuat Wirausaha
Dalam menghadapi dinamika global tersebut, wirausaha hadir bukan sekadar pelengkap, melainkan motor utama transformasi ekonomi. Wirausaha berperan ganda, yakni membuka lapangan kerja baru dan menjadi agen perubahan yang membawa masyarakat keluar dari lingkaran kemiskinan. Dengan berinovasi, wirausaha mampu meningkatkan nilai tambah produk dan layanan, sekaligus memperkuat daya saing bangsa.
Namun, wirausaha tidak bisa tumbuh sendiri tanpa dukungan ekosistem yang kuat. Pemerintah, lembaga pendidikan tinggi, sektor swasta, dan komunitas masyarakat perlu membangun kolaborasi yang membuka akses permodalan, pasar, teknologi, serta pendidikan kewirausahaan. Langkah ini penting agar kreativitas dan inovasi tidak berhenti di laboratorium atau ruang kelas, tetapi benar-benar hadir di pasar dan bermanfaat nyata bagi masyarakat luas.
Seperti ditegaskan Michael Porter, inovasi bukan hanya soal menemukan hal baru, melainkan tentang bagaimana teknologi memberi dampak nyata pada keunggulan bersaing. Dalam konteks kekinian, penerapan kecerdasan buatan (AI), Internet of Things (IoT), bioteknologi, hingga energi terbarukan menjadi pengubah permainan (game changer) dalam dunia usaha.
Inovasi
Selain itu, incremental innovation atau inovasi bertahap tetap relevan untuk meningkatkan kualitas produk dan efisiensi. Tetapi, dalam era digital ini, disruptive innovation semakin penting: e-commerce, fintech, dan model bisnis berbasis platform digital telah membuka akses pasar dan permodalan bagi jutaan pelaku UMKM di Indonesia.
Contoh nyata dapat dilihat dari wirausaha pangan lokal yang menggabungkan kearifan tradisional dengan teknologi modern, atau startup kesehatan digital yang memperluas akses layanan medis melalui aplikasi daring. Inovasi-inovasi ini tidak hanya memperkuat daya saing individu, tetapi juga mendukung ketahanan ekonomi nasional.
Salah satu kendala utama wirausaha kecil di Indonesia adalah terbatasnya akses pada hasil riset dan teknologi. Banyak inovasi lahir di lembaga pendidikan dan penelitian, namun belum sepenuhnya sampai ke pelaku usaha. Padahal, jika transfer teknologi dapat dilakukan dengan cepat, murah, dan inklusif, daya saing wirausaha akan meningkat signifikan.
Untuk itu, inkubator bisnis, program technopreneurship, dan akselerator UMKM harus terus diperkuat. Perguruan tinggi dan lembaga riset perlu lebih aktif dalam menghubungkan inovasi dengan dunia usaha. Pemerintah juga perlu membuka kanal pendanaan riset yang diarahkan pada kebutuhan praktis masyarakat dan pelaku usaha kecil.
Dulu Tony Davila, Marc J Epstein, dan Robert Shelton memperkenalkan teknik incremental innovation, yakni inovasi bertahap yang menjadikan wirausaha mampu meningkatkan kualitas, menganalisis keuangan, meneliti pasar untuk memahami kebutuhan calon pelanggan, dan menguasai rantai suplai. Pendekatan ini selaras dengan gagasan Peter Drucker bahwa visi dan fokus diperlukan untuk menetapkan prioritas pembangunan, khususnya peningkatan kesejahteraan rakyat.
Michael Porter pun menegaskan bahwa setiap kegiatan nilai yang dijalankan wirausaha merupakan manifestasi dari teknologi, dan perubahan teknologi akan memengaruhi struktur persaingan. Karena itu, tanpa inovasi yang mampu mewujudkan ide kreatif menjadi realitas, dana dan energi yang dikeluarkan hanya akan sia-sia.
Oleh karena itu, wirausaha perlu diberi akses murah dan mudah terhadap hasil riset serta inovasi dari lembaga-lembaga penelitian yang dibiayai anggaran negara. Dengan begitu, produk yang dihasilkan tidak hanya berkualitas, tetapi juga memiliki nilai tambah tinggi. Ke depan, akses yang terbuka terhadap inovasi akan mendorong wirausaha lebih agresif dalam memacu daya saing.
Jika ini terwujud, pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak hanya stabil secara angka, tetapi juga berkualitas, berkelanjutan, dan benar-benar dirasakan manfaatnya oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Semoga

